BAB KEENAM : ALASAN UNTUK HIDUP (part 2)

1453 Kata
Malam semakin larut. Agung dan Dimas telah kembali ke rumah mereka masing - masing setelah selesai dengan pembicaraan mereka dengan Rangga. Sedangkan Rangga memilih untuk menghabiskan waktunya duduk sendirian di barisan kursi ruang tunggu yang sudah sepi malam itu. Semua yang dikatakan oleh Agung tadi padanya, berputar - putar terus dalam pikirannya seakan memintanya untuk segera menyusun mereka bersama dalam satu puzzle. Setelah mendengar cerita kesaksian Danisa yang menjadi korban selamat, Rangga menjadi semakin yakin orang yang waktu itu ia kejar sampai dirinya jadi seperti ini adalah benar pelakunya. Dipikirnya, hal yang sangat jarang terjadi dirinya bertemu dengan pelaku secara tidak sengaja, apalagi identitas pelaku yang statusnya masih belum diketahui waktu itu. Tetapi keajaiban itu tidak berarti apa - apa baginya kecuali kesialan karena telah membuatnya jadi seperti ini. “Apa yang kau lakukan disini?” , tanya Sean yang tiba - tiba muncul dari dinding kaca ruang unit gawat darurat. Rangga menoleh, “Darimana saja kau?” , tanya Rangga balik, alih - alih menjawab. Sean mengambil tempat duduk yang berjarak dua kursi di sebelah Rangga, “Tadi ada drama seru di ruang VVIP.” , bibir Sean berkedut mengingat kejadian yang ia lihat tadi di ruang VVIP yang ia maksud, “Kehidupan orang - orang kaya benar - benar lucu.” , katanya. Kali ini ia tidak menahan tawanya. Menurut Sean, salah satu hal menarik dari menjadi roh adalah menonton secara langsung drama kehidupan orang lain. Mungkin ini terdengar remeh, namun Sean mengakui sepenuhnya, melakukan hal seperti ini benar - benar seru. Yah, Sean tahu hal yang dilakukannya adalah pelanggaran privasi dan tidak sopan, mau bagaimana lagi, ia tidak tahu apa lagi yang harus ia lakukan untuk menghabiskan waktu ketika dirinya tidak bisa tidur ataupun makan saat menjadi roh. “Kau ini, apa tidak ada kesibukan lain?” Sean menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, “Tidak ada. Aku ini sungguh menyedihkan. Saat masih hidup, aku ingin mati agar diriku tidak lagi merasa bosan. Tetapi yang aku dapatkan malah kebosanan yang tiada akhir. Aku tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk mati.” Rangga mengerutkan dahinya. Ia yakin Sean tidak main - main dengan kata - katanya. Semuanya terdengar serius dan kejujuran dari hati. “Mengapa kau begitu ingin mati? Padahal kau masih muda.” , tanya Rangga. Sean paham bahwa pertanyaan barusan adalah murni berasal dari rasa keingintahuan Rangga. Tetapi bagaimana pun terdengar seperti pertanyaan yang meledek pemikiranya. Ia tersenyum miris, “Apa ada alasan untukku tetap hidup?” , tanyanya penuh penekanan dan menoleh dengan wajah ‘aku tidak memiliki harapan apapun untuk hidup’ pada Rangga yang duduk beberapa kursi di sampingnya. Sungguh, bukan itu balasan yang Rangga harapkan sebelumnya. Hanya dengan menatap wajah Sean yang sudah menggambarkan seluruh perasaan yang ia rasakan, Rangga bisa mengerti bahwa Sean bersungguh - sungguh atas ucapannya dan betapa ia telah lelah untuk hidup. Karena tidak ingin tatapan Sean yang menekannya untuk segera memberi jawaban untuk dirinya sebab ia sudah haus akan itu sejak lama, mengidahkan pemikiran rasionalnya, Rangga mengalihkan pandangannya kembali ke depan beberapa saat untuk menimbang jawaban apa yang sebaiknya ia berikan pada seseorang yang tidak dapat melihat harapan seperti Sean. “Yah,” , ujar Rangga kembali menoleh pada Sean yang masih menatapnya, “Kau tahu, masih ada banyak hal yang bisa kau lakukan dengan hidupmu. Masih banyak hal bagus yang bisa kau nikmati saat hidup dan kau tidak bisa merasakannya jika kau mati.” “Contohnya?” , tanya Sean meminta jawaban yang lebih spesifik. “Kau masih muda dan kau terlihat pintar. Kuliah?” “Tidak tertarik.” , jawab Sean tanpa pikir panjang. “Bermain game online?” “Tidak berminat.” “Loh? Tidak biasanya seorang laki - laki tidak menyukai game, apalagi game online.” “Yah, aku memang tidak biasa.” Rangga berpikir lebih keras lagi, “Menikah? Bagaimana? Kau tidak ingin menikah?” Tanpa ragu, Sean menggeleng, “Urusan yang paling merepotkan adalah menjalin hubungan dengan wanita. Jujur saja, aku lebih suka seperti jika itu menyangkut soal wanita. Kita bisa melihat mereka sepenuhnya tanpa ketahuan.” , ujar Sean blak - blakan bicara apa adanya. Sifat Sean yang blak - blakan apa adanya, begitu lucu menurut pandangan Rangga. Benar - benar menunjukkan sifat remaja muda yang pernah penuh gairah sebelumnya. Senyum geli langsung muncul di wajah Rangga mendengar pendapat Sean yang nyeleneh namun masuk akal, “Benar juga, hahaha.” , insting Rangga sebagai laki - laki tidak bisa tidak sependapat dengan Sean. “Jujur saja, aku tidak bisa hidup hanya dengan alasan harus memikirkan perasaan orang lain yang ditinggalkan jika aku mati. Mereka sendiri tidak memikirkan perasaanku. Mengapa aku harus memikirkan perasaan orang lain saat mereka tidak memikirkan perasaanku? Hidup ini begitu egois.” Rangga diam mendengarkan. Ia yakin dirinya akan lebih memahami Sean jika ia mendengarkan lebih banyak. “Bahkan orang yang paling dekat denganku, yang kukira akan memahamiku, tetapi kenyataanya mereka sama sekali tidak pernah mengerti aku. Mereka melihatku dengan kacamata mereka sendiri. Mengapa mereka tidak mencoba melihat dan menerimaku apa adanya? Jadi aku tidak perlu menderita seperti ini.” Menurut tebakan Rangga, personifikasi dari yang Sean utarakan adalah tentang kedua orangtuanya atau mungkin seluruh keluarganya yang menuntut Sean untuk menjadi seperti yang mereka inginkan dan ekspetasikan. Semua beban yang mereka letakkan pada bahu Sean tanpa mereka ketahui telah membuat Sean kehilangan dirinya. “Kalau begitu kau harus hidup.” , balas Rangga. Sean menatap tidak percaya pada Rangga. Rasanya baru beberapa saat yang lalu ia memberitahukan betapa dirinya ingin mati. Tetapi mengapa Rangga malah menyuruhnya untuk hidup? Menyuruhnya kembali pada neraka itu? “Kau harus hidup untuk dirimu sendiri. Jangan pedulikan bagaimana keinginan orang lain padamu, hanya perhatikan dirimu. Kau yang menjalani hidupmu, kau juga yang memegang kendali atas itu.” , tambah Rangga. Sean kembali mengalihkan pandangannya samar ke depan. Ia berdecih miris. “Mudah sekali mengatakannya..” , gumam Sean pelan. “Tapi!” , Rangga menekankan kalimatnya dengan sengaja untuk menarik perhatian Sean, “Jika kau benar - benar tidak ingin hidup dan ingin melewatkan masa - masa terindah dalam hidupmu, hiduplah. Hiduplah agar kau bisa membunuh dirimu dengan benar kali ini. Kau tidak bisa membunuh dirimu selama menjadi roh, bukan? Kalau begitu kembali hiduplah. Agar kau benar - benar bisa merasakan mati.” , jelasnya dengan tegas. Rangga tahu yang ia katakan bukanlah hal yang benar karena telah mendorong dan mendukung orang lain untuk melakukan bunuh diri. Tetapi ia tidak memiliki cara lain untuk memunculkan hasrat untuk hidup pada Sean. Dan benar saja, Sean terdiam mendengar apa yang Rangga katakan. Terlihat beberapa bulir air mata sudah berkumpul pada pelupuk matanya bersiap untuk terjun bebas dari sana saat bendungan rapuh tersebut sudah tidak tahan lagi untuk menahannya. “Kau pasti sudah melewati masa - masa yang sulit. Kerja bagus kau bertahan hingga saat ini.” , tambah Rangga dengan senyum tulusnya memberi semangat. Saat itu juga bendungan air mata pada mata Sean tidak kuat lagi menahan semua air yang berkumpul. Sean menunduk dan beralih kembali ke depan agar Rangga tidak melihat bulir - bulir air matanya yang berjatuhan. Walaupun begitu Sean tertawa. Ia tidak menyangka ada seseorang yang benar - benar membuka sepenuhnya luka yang ada di dalam hatinya dan mencoba memberi semua luka itu obat menyakitkan. Rangga tahu bahwa air mata Sean berjatuhan karena ucapannya, namun, ia justru merasa lega. Sebab, itu artinya dirinya berhasil menyentuh Sean dan semua perkataannya adalah yang selama ini Sean ingin dengar dari orang lain. Saat itu juga Rangga merasa lega karena ia dipertemukan dengan Sean yang sedang benar - benar membutuhkan bantuan orang lain dalam segi mental dan batinnya. Sean mengusap air matanya dan menarik nafas panjang sambil mendongakkan kepalanya tegak kembali. Ia menerima saran Rangga dan mulai timbul ada keinginan untuk kembali hidup. Tentu saja agar ia bisa mati. Ia senang akhirnya ia bisa menemukan jalan untuk mati walaupun itu artinya ia harus kembali pada kehidupannya yang sebelumnya. Rangga bisa melihat api kecil yang mulai menyala dalam diri Sean. Terlihat perlahan sudah mulai bangkit kembali. Mereka sama - sama terdiam sambl menyandarkan tubuh mereka pada punggung kursi dan terhanyut dalam pikiran mereka masing - masing. Saat itu televisi dengan layar lebar dan tipis yang tergantung tepat di atas ruang tunggu menampilkan berita tentang kecelakaan yang dialami Rangga. “Oh? Sepertinya kau masuk berita. Selamat ya, kau terkenal sekarang.” , ujar Sean yang terdengar jelas seperti sebuah sarkasan alih - alih sebuah pujian. Ujung bibir kanan Rangga naik sedikit menunjukkan betapa miris dirinya yang masuk televisi bukan karena prestasinya melainkan karena kemalangannya. Saat itu juga ia teringat pada Adelia. Ia yakin Adelia pasti juga melihat berita ini. Namun, yang lebih membuatnya penasaran adalah apakah Adelia bisa menyadari bahwa yang dalam berita itu adalah dirinya dan bagaimana reaksinya saat itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN