BAB KEENAM : ALASAN UNTUK HIDUP (part 3)

1346 Kata
Hari - hari berlalu dan beberapa hari belakangan ini Adelia sedikit tenang karena Raya tidak menunjukkan gejala - gejala yang gawat dan rajin meminum obatnya. Hanya saja, dikarenakan kondisi jantung Raya yang memang semakin memburuk seiring berjalannya waktu dan tidak ada jalan lain untuk menyembuhkannya kecuali memasangkan jantung yang baru, akhir - akhir ini Raya mudah sekali kelelahan. Adelia memaklumi hal itu dan berusaha keras untuk tidak terpengaruh. Bagaimana pun fokusnya sekarang adalah Raya mendapatkan jantung baru. Setiap harinya, tanpa lelah Adelia terus berdoa pada yang Maha Kuasa untuk segera mempertemukannya segera dengan jantung baru untuk Raya. Walaupun ia sadar betul bahwa tanpa sadar, ia baru saja mengharapkan kematian seseorang untuk keselamatan putrinya. Dalam doanya pun Adelia menyatakan diri siap untuk menanggung dosa yang akan diterimanya karena telah egois dengan mengharapkan kematian seseorang yang bahkan tidak ia ketahui identitasnya karena aturan hukum dalam transplantasi donor organ. Tidak pernah sekalipun dalam waktu luangnya, Adelia tidak terpikrkan tentang putrinya. Saat ia tidak bisa tidur yang ia lakukan adalah terus berdoa akan kematian seseorang yang bisa memberikan jantungnya untuk putrinya. Begitu pun saat ia sedang mandi, makan, dan juga saat berada di dalam bus saat perjalanan berangkat maupun pulang bekerja. Dan hari ini, sepertinya doa yang tak pernah absen diucapkan setiap harinya oleh Adelia akhirnya terjawab. Di tengah kesibukannya melayani tanpa henti pelanggan di restoran pasta tempatnya bekerja yang ramai didatangi pengunjung, ponsel Adelia yang tergeletak di meja kasir bersama dengan ponsel - ponsel rekannya yang lain bergetar tidak ada hentinya. “Meja berapa, mas?” , tanya wanita bertubuh gemuk yang melayani bagian pembayaran pada pria muda yang datang bersama pasangannya yang terlihat jelas lebih muda beberapa tahun karena parasnya yang masih seperti seorang remaja. Wanita yang menjadi pasangannya itu terus - terusan menggandeng tangan pria tersebut dengan begitu dekat, seperti sedang memeluk tangan si pria. “Meja empat belas.” , jawab pria muda itu singkat, “Iya sebentar ya, sayang, aku bayar ini dulu.” , katanya lembut beralih pada wanita yang memeluk tangannya manja. Rekan kerja Adelia yang adalah kasir yang berjaga, tidak tahan untuk tidak mengumpat dalam hatinya karena merasa iri. Namun ia tidak menunjukkan wajah sebalnya dan terus mempertahankan senyumnya seramah mungkin. “fettuccine alfredo pasta satu porsi dan spaghetti marinara satu porsi, benar?” , tanyanya memastikan pesanan yang tertera dalam catatan pesanan sama dengan yang mereka pesan. “Iya.” “Semuanya jadi dua ratus lima puluh ribu.” “Ayo mas, cepatlah. Kita akan terlambat nanti!” , rengek wanita di samping pria tersebut dengan begitu manja sambil mengguncang - guncangkan tangan si pria. Melihat itu, rekan Adelia benar - benar harus menahan ekspresi wajahnya agar tidak menunjukkan secara langsung kejengahannya melihat tingkah wanita di depannya. “Iya, ini aku juga baru akan membayar. Bersabarlah sedikit.” , balas pria itu lembu, Dengan kesabarannya akan perlakuan wanita di sampingnya, si pria mengambil dompet dari saku belakang celananya dan mengeluarkan sebuah kartu berwarna biru dengan susah payah sebab tangannya yang tidak berhenti bergerak diguncang - guncangkan oleh wanita di sampingnya yang begitu manja dan tidak sabar. “Disini melayani pembayaran kartu kredit, kan?” , katanya dan memberikan kartu berwarna biru di tangannya pada kasir. “Iya, mas.” , dengan kedua tangannya kasir rekan kerja Adelia menerima kartu itu dengan sopan dan hati - hati seakan - akan kartu tersebut adalah sesuatu yang rapuh dan segera memprosesnya, “Silahkan masukkan pinnya, mas.” , katanya memberikan sebuah alat yang digunakan untuk pembayaran dengan kartu kredit. “Ini, mas. Terima kasih sudah datang dan silahkan berkunjung kembali.” , tambahnya sebelum pria muda tersebut pergi bersama dengan wanita yang terus - terusan menempel padanya. Setelah benar - benar pergi, rekan Adelia itu langsung mendudukan dirinya dengan kasar pada kursi yang tersedia untuknya. Ia masih merasa begitu risih sekaligus sangat iri pada pelanggan yang baru saja pergi tadi. Ia bertanya - tanya pada dirinya sendiri mengapa dirinya tidak bisa seberuntung itu untuk mendapatkan pria yang begitu lembut dan sabar seperti tadi. Padahal, katanya, dirinya ratusan kali lebih baik dari wanita yang bersama dengannya tadi. Ia menyayangkan pria tersebut yang malah harus bertemu dan jatuh ke dalam pelukan wanita kekanakan tadi dan bukan bertemu dengan dirinya. Sudah cukup sebal dengan nasibnya yang seperti ini, ponsel Adelia yang sejak tadi terus bergetar tanpa henti karena panggilan masuk dari nomor yang sama terus - terusan menambah rasa sebal dalam hatinya. Ia membawa kursi kebesarannya yang terdapat empat buah roda masing - masing satu di keempat kaki - kaki kursinya, bergeser ke meja di sampingnya untuk melihat lebih dekat sapa yang menelpon Adelia tanpa henti seperti ini. Keningnya mengerut saat membaca nama kontak yang tertera pada layar ponsel Adelia. Merasa itu adalah panggilan penting, ia langsung membawa ponsel Adelia dan menghampiri Adelia yang berada di gudang belakang tengah mengawasi dan memilah bahan makanan yang baru datang. Ia membenturkan pelan ponsel Adelia pada lengan Adelia yang fokus membaca daftar bahan makanan yang diangkut oleh jasa pengirim dan memeriksa jika ada yang terlewat, “Ponselmu terus berdering. Sepertinya panggilan penting.” , katanya dengan datar. Adelia berbalik dan menerima ponselnya yang langsung berhenti bergetar saat sudah berada di tangannya. Tertera ada delapan panggilan tidak terjawab dan saat dibuka olehnya, ternyata semua panggilan itu dari dokter yang menangani Adelia. Matanya langsung membulat dan saat itu sebuah panggilan kembali masuk berasal dari orang yang sama. Segera ia menggeser dial untuk menjawab panggilan itu tanpa ragu. “Maafkan aku, dokter. Aku sedang bekerja, jadi aku tidak tahu--” “Datanglah segera bersama dengan Raya. Ada jantung yang tersedia dan banyak rumah sakit yang memperebutkan jantung itu. Aku sudah berhasil mengamankannya untuk Raya, ibu segeralah kemari untuk beberapa pemeriksaan lebih lanjut agar Raya segera menerima jantung ini.” , jelas dokter dari seberang panggilan menyela Adelia dengan mendesak. Adelia begitu terkejut dan tidak menyangka hari baik seperti ini akan datang lebih cepat dari yang ia duga. Tanpa sadar air mata sudah banyak berkumpul di pelupuk matanya karena senangnya, “B-baik, a-aku akan segera kesana. Terima kasih banyak, dokter, terima kasih!” , ujar Adelia terharu senang. Rekan Adelia yang masih belum beranjak dari tempatnya sejak tadi, merasa semakin heran dengan tingkah Adelia. Ia penasaran apa yang membuatnya begitu senang dan ditelpon oleh dokter dengan tiada hentinya seperti tadi. “Sepertinya ada hal bagus yang terjadi hari ini.” , celetuknya berharap Adelia mau memberitahunya pasal apa yang baru saja terjadi hingga membuat Adelia begitu senang sampai meneteskan air matanya. Alih - alih menjawab, Adelia melompat dan memeluk rekannya itu dengan erat, “Terima kasih! Terima kasih banyak!” , katanya dengan begitu kegirangan walaupun air mata terus mengalir dari matanya. Rekan Adelia yang tidak mendapatkan jawaban yang ia inginkan, malah semakin bingung dengan apa yang terjadi ditambah tingkah Adelia. Satu hal yang pasti, ia yakin hal bagus pasti telah terjadi pada Adelia. Ia merasa itu sudah cukup dan ia hanya perlu ikut berbahagia. Segera Adelia bergegas menghadap atasannya untuk meminta ijin pulang lebih awal. Tidak seperti pada rekannya, pada atasannya Adelia lebih terbuka. Ia menjelaskan secara singkat dan jelas bagaimana situasi yang sedang dihadapinya. Oleh karena kejelasan alasan yang Adelia berikan, atasannya tidak memiliki pilihan lain selain mengijinkannya tanpa mengurangi gajinya. Setelah mendapatkan ijin, Adelia langsung mengambil tas dan baju gantinya tanpa mengganti seragam restoran tempatnya bekerja terlebih dahulu, bergegas segera menuju rumah sakit dengan begitu terburu - buru. Dari pintu belakang restoran tempatnya bekerja, ia berlari menuju tempat pemberhentian bus untuk mengejar bus yang sedang menurunkan dan menaikkan penumpang. Ia harus bergegas karena busnya tidak akan berlama - lama disana. Dengan sekuat tenaga, Adelia berlari dan langsung melompat naik tepat beberapa saat sebelum pintu bus tersebut tertutup. Ia berdiam diri beberapa saat di depan pintu yang sudah tertutup untuk mengatur nafasnya yang tersengal. Hal itu menarik perhatian beberapa penumpang lainnya yang ada di dalam bus, namun, Adelia memilih untuk mengabaikannya. Bus kembali melaju dan dengan sigap Adelia berpegangan pada tiang bus agar tidak terjatuh akibat guncangan yang ada. Kejadian ini mengingatkannya pada salah satu kejadian saat dirinya dulu saat masih duduk di sekolah. Itu adalah pertama kalinya ia bertemu dengan Rangga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN