BAB KEENAM : ALASAN UNTUK HIDUP (part 4)

1541 Kata
Flashback on Pagi itu Adelia yang masih dengan seragam abu - abunya berdiri dengan takut - takut saat bibinya memarahinya dikarenakan seekor kucing masuk ke dapur berhasil menggondol dua ekor ikan yang baru saja hendak diolah oleh bibinya. Adelia dimarahi bukan karena kucing yang masuk adalah kucing peliharaan miliknya, melainkan karena Adelia yang membuka pintu dapur dengan alasan ingin membiarkan cahaya matahari masuk dan udara segar bisa masuk menggantikan udara sisa semalam. Adelia merupakan seorang yatim piatu dikarenakan kedua orangtuanya yang meninggal sejak ia baru lulus sekolah dasar. Kecelakaan pesawat yang sangat jarang terjadi, hari itu berhasil merenggut kedua orangtua Adelia begitu saja saat hendak mengurus kepindahan mereka di pulau Jawa. Adelia yang sebelumnya begitu bersemangat menanti - nanti kepindahan mereka dari tempat tinggal mereka sekarang, semuanya berubah menjadi mimpi buruk hanya dalam semalam. Kejadian tragis itu menyisakan dirinya sendiri yang kemudian tinggal bersama neneknya yang sejak awal tinggal bersamanya. Adelia tidak tahu pasti ia harus bersyukur karena tidak jadi ikut bersama kedua orangtuanya sehingga ia terhindar dari peristiwa naas itu, atau harus menyesal karena tidak ikut bersama kedua orangtuanya sehingga ia tidak akan kesepian seperti sekarang ini. Neneknya yang sudah berumur, tidak bisa ia andalkan untuk membimbingnya selama ia melewati masa remajanya. Untuk mendengar suara orang lain yang berbicara padanya saja neneknya sudah kesulitan. Daripada ia yang diasuh oleh neneknya, kenyataannya lebih seperti neneknya yang diasuh olehnya. Peninggalan dari kedua orangtuanya tidaklah banyak. Tidak cukup banyak untuk menghidupi dirinya dan juga neneknya hingga ia masuk kuliah. Ayahnya Adelia yang hanya seorang karyawan di sebuah perusahaan swasta selama beberapa tahun terakhir, masih belum cukup lama untuk mendapatkan uang pensiun. Adelia pun tidak bisa menuntut untuk memberikan kompensasi asuransi dari perusahaan ayahnya bekerja karena kecelakaan yang terjadi tidak terjadi saat jam kerja. Satu - satunya yang kedua orangtuanya tinggalkan untuknya adalah rumah tempat tinggalnya saat ini yang berdiri di atas tanah seluas empat dua ratus empat puluh meter persegi. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan hariannya ia harus mencari sendiri sebab tidak mungkin ia mengandalkan neneknya yang sudah berumur itu untuk membantunya menyokong semua kebutuhannya sehari - hari. Beruntung, ia memiliki seorang bibi yang membuka toko bahan makanan di pasar. Setiap harinya, setiap pulang sekolah, Adelia bekerja membantu bibinya melayani pelanggan. Tidak hanya itu, ia juga diijinkan untuk sarapan di rumah bibinya. Oleh karena itu, tidak jarang bibinya menjadi lebih mudah emosi sejak kepergian kedua orangtuanya. Adelia mengerti bibinya seperti itu pasti karena terbebani harus mengurus dirinya dan juga neneknya. Setidaknya Adelia bisa meringankan bebannya dengan bantu - bantu di toko bersama dengan anak dari bibinya yang adalah sepupunya bernama Dira. Ia begitu pendiam. Sangat kontras dengan ibunya yang suka marah - marah dan sangat bawel. Mungkin Dira menuruni sifat ayahnya yang memang pendiam atau lebih terlihat tidak peduli, pikir Adelia. “Lihat apa yang telah terjadi akibat perbuatanmu! Lalu bagaimana kita akan membagi dua ikan yang tersisa ini untuk kita semua?! Apa kau bisa bertanggung jawab soal ini?!” , bentak bibinya sambil menunjuk - nunjuk Adelia. “Maaf, bi.” , jawab Adelia masih menundukkan kepalanya tidak berani menunjukkan wajahnya. Adelia yang tidak pernah diajari untuk mengomel oleh orangtuanya, tidak berani walaupun hanya untuk menatap bibinya. Dari nada bicaranya saja, Adelia sudah yakin wajah bibinya yang sudah tidak begitu cantik, terlihat berkali - kali lipat lebih menyeramkan dari biasanya. Omelan tentang ikan yang dibawa kabur kucing liar yang masuk itu terus berlangsung selama kurang lebih sepuluh menit. Hasil dari omelan panjang itu adalah bangunnya Dira lebih awal dari biasanya. Hari ini ia bangun sepuluh menit lebih awal dari biasanya. Ia berlalu melewati Adelia yang masih berdiri di dapur mendengarkan semua celotehan ibunya menuju kamar mandi sambil menutup telinganya, menunjukkan betapa bising omelan ibunya itu. “Dira! Bagus kamu bangun lebih awal!” , ujar bibi di sela - sela omelannya saat melihat putra satu - satunya itu berlalu melewatinya dengan masa bodoh. Tanpa menjawab apa - apa, ia langsung masuk ke kamar mandi yang berada di samping Adelia begitu saja. Adelia melirik pergerakan Dira hingga mata mereka bertemu saat Dira hendak menutup pintu kamar mandi sambil menatapnya datar seolah menyuruhnya untuk bertahan dengan omelan pagi ini. Berkat omelan dan celotehan tiada hentinya pagi ini, Adelia harus berlari - lari mengejar bus untuk pergi ke sekolahnya. Tidak seperti Dira yang tidak perlu mengkhawatirkan soal akan terlambat atau tidak. Sebab ia sudah memiliki kendaraan miliknya sendiri. Sebenarnya Adelia bisa saja ikut menumpang dengan Dira. Namun, ia merasa tidak enak jika harus merepotkan Dira untuk hal itu padahal dirinya sudah merepotkan bibinya untuk merawat dirinya dan juga neneknya. Oleh sebab itu, Adelia tetap bersikukuh akan pergi ke sekolah dengan kendaraan umum walaupun itu akan memakan lebih banyak waktu dan juga tenaga. Jarak dari rumahnya ke pemberhentian bus terdekat lumayan jauh. Hari - hari biasanya, Adelia membutuhkan waktu kurang lebih lima belas menit berjalan kaki untuk sampai ke tempat pemberhentian bus terdekat yang bisa ia jangkau. Matahari semakin meninggi dengan perlahan, panas sinarnya semakin terasa dan memacu Adelia untuk berlari dengan cepat. Sambil memeluk tasnya, Adelia berlari secepat yang ia bisa. Setelah berbelok di jalan besar, ia bisa melihat bus yang akan ia naiki baru saja sampai dan pintunya terbuka. Semua orang tahu jika bus hanya akan berhenti kurang dari satu menit dan akan langsung menutup pintunya, kembali melaju melanjutkan perjalanannya menuju pemberhentian bus selanjutnya. “Tunggu! Tunggu aku!” , teriak Adelia melupakan rasa malunya berteriak di publik. Ia tidak ingin menunggu lima belas menit untuk bus selanjutnya ataupun menanggung resiko dihukum berdiri terjemur di tengah lapangan jika dirinya terlambat, ia lebih memilih untuk menjadi perhatian sesaat karena teriakannya. Toh, orang - orang akan melupakan kejadian itu segera. Semua penumpang yang sudah menunggu lebih awal di tempat pemberhentian bus segera naik begitu pintu bus terbuka. Rata - rata mereka adalah pria dan wanita pekerja, juga siswa siswi yang bersekolah. Di antara mereka ada Rangga remaja yang saat itu masih agak kurus. Dengan sebuah buku novel dengan sampul yang tertulis Hukum Pidana Perdata di tangannya, ia masih duduk di kursi tunggu sementara penumpang lainnya sudah berdiri bersiap untuk naik. Ia beranjak berdiri saat antrinnya sudah sepi dan sejak awal ia memang berniat untuk menajdi yang terakhir naik. Matanya tidak lepas dari buku di tangannya saat beranjak berdiri ikut antri di belakang dua orang yang akan naik. Ia benar - benar melepaskan matanya dari buku saat sudah gilirannya untuk naik. Ketika ia masuk ke dalam bus, dilihatnya semua kursi sudah penuh terisi dan beberapa orang sudah berdiri sambil berpegangan pada cincin pegangan yang tergantung di atas mereka. Dari kaca jendela bus, Rangga bisa melihat Adelia masih dengan rambut panjangnya yang diikat kuncir kuda berlari - lari dan meminta busnya untuk berhenti. “Maaf, pak, tunggu sebentar.” , ujar Rangga pada supir bus yang baru saja hendak menutup pintu dan memajukan persnelingnya. Benar saja, beberapa detik kemudian Adelia naik dengan rambut yang sudah awut - awutan dan nafasnya ynag tersengal - sengal, “T-terima kasih, pak!” , sahut Adelia pada supir dan supir yang cuek itu tidak mengidahkan ucapan Adelia dan langsung naik. Adelia memilih untuk tidak tersinggung karena hal itu dan masuk lebih dalam berniat untuk berdiri di bagian tengah bus. Baru selangkah ia melangkah, dirinya berpapasan dengan Rangga yang berdiri tepat di depannya menghalangi pandangan dan juga jalannya. Adelia mendongak untuk melihat siapa yang berdiri di depannya, ia sedikit terkejut mengetahui itu adalah teman sekelasnya yang belum pernah ia sapa ataupun bicara dengannya. Dengan canggung Adelia bergeser berharap celah di samping Rangga muat untuk dirinya lewat. Belum sempat Adelia pindah tempat, busnya sudah melaju dan membuat semua penumpang yang ada di dalam bus sedikit berguncang. Adelia yang belum sempat berpegangan pada apapun di dalam bus karena tangannya masih memeluk tasnya, hampir saja terjengkang ke belakang jika saja Rangga tidak menangkap tangannya saat itu juga, dan Adelia kembali berguncang ke depan saat bus sudah melaju dengan stabil hingga ia bersandar tepat pada d**a Rangga. Untuk beberapa saat mereka hanya saling memandang dengan canggung tanpa ada yang bergerak menjauh. Untuk beberapa saat, Adelia terpana dengan wajah Rangga dan aroma parfum Rangga yang begitu menyegarkan dalam penciumannya dengan jarak sedekat itu. Begitu juga dengan Rangga yang terdiam melihat anak - anak rambut Adelia yang dengan acak menempel pada wajah Adelia. Mereka begitu menggemaskan, pikir Rangga. “M-maaf!” , kata Adelia yang langsung mundur menjauh dan Rangga pun langsung melepaskan tangannya dari tangan Adelia. Karena merasa malu, Adelia berjalan masuk lebih dalam dan memilih berdiri dekat kursi belakang agar ia tidak terlalu dekat dengan Rangga yang berdiri dekat kursi depan. Rangga berusaha mengalihkan perhatiannya dengan melihat pada pemandangan di luar kaca jendela yang ada di hadapannya. Jantungnya benar - benar berdegup kencang saat ini karena gugup memikirkan betapa dekatnya wajah mereka tadi. Bahkan, Rangga masih ingat ia bisa melihat pantulan wajahnya pada manik Adelia tadi. Tak jauh dari tempat pemberhentian bus, tepatnya di seberang jalan, Dira terlihat tengah duduk di atas motornya seperti sedang menunggu orang lain. Ia sudah siap dengan helm dan jaketnya yang ia resleting sepenuhnya. Sesekali ia melihat ke arah pemberhentian bus di seberangnya. Dari tempatnya sekarang, ia bisa melihat Adelia yang berlari - lari agar tidak tertinggal bus. Tepat setelah bus yang dinaiki Adelia melaju pergi, saat itu juga ia menghidupkan mesin motor beat hitam miliknya dan melaju pergi dari sana. Flashback off
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN