Matahari sore itu masih terik sama seperti saat siang hari sebelumnya. Raya yang diminta untuk tidak banyak beraktivitas fisik oleh ibunya, menghabiskan sore itu untuk menggambar dan mewarnai dengan krayon - krayon warna dan juga pensil warna miliknya yang sekarang sudah berserakan di ruang tengah, tempat ia biasa tidur bersama ibunya.
Bagi beberapa orang, menggambar dan mewarnai gambar adalah kegiatan yang menyenangkan untuk menghabiskan waktu. Tetapi, bagi beberapa orang lainnya, kedua hal yang berkaitan itu adalah kegiatan yang begitu membosankan. Perbedaan ini bisa terlihat dari Raya yang masih asyik mewarnai gambarnya ditemani dengan Lilo. Di belakangnya, tidak jauh dari mereka, bu Indira tertidur menyamping dengan krayon di tangannya. Bisa diketahui bahwa kegiatan menggambar dan mewarnai ini terasa membosankan bagi bu Indira, tetapi berlaku sebaliknya untuk Raya yang terlihat menikmati aktifitas ini.
Dengan sabar, Raya menggoreskan krayon warna biru yang ia gunakan untuk mewarnai langit pada kertas gambarnya. Setelah selesai dengan warna biru pada langit dalam gambarnya, ia meletakkan asal krayon berwarna biru yang telah selesai ia gunakan dan mengambil krayon berwarna hijau lumut sebagai gantinya. Warna itu ia gunakan untuk mewarnai pakaian yang digunakan pada karakter laki - laki yang ada dalam gambarnya. Warna itu sama dengan warna jaket Rangga yang terakhir kali Rangga kenakan saat kecelakaan dan juga menjadi pakaian yang ia kenakan selama menjadi roh. Rupanya, laki - laki yang ia gambar itu adalah benar Rangga yang ia lihat hari itu saat di rumah sakit.
Senandung kecil keluar dari bibir kecil Raya selagi ia mewarnai gambarnya. Lilo yang selalu setia menemaninya, duduk dengan nyaman sambil memperhatikan bagaimana cara Raya mewarnai. Kesabaran dan kesetiaan Lilo begitu besar. Terbukti, bu Indira sudah tertidur lelap saat menunggu Raya sementara ia masih terus menunggu menemani Raya sambil berjemur di bawah terik matahari sore yang masuk menembus kaca jendela yang terbuka. Hal itu disebabkan Lilo yang sudah menganggap Raya adalah teman bermainnya. Bagaimana tidak, mereka menghabiskan masa kecil mereka bersama - sama. Tidak jarang Lilo menjadi pengasuh Raya, sebab ia selalu mengajak Raya untuk bermalas - malasan dan tidak banyak bergerak. Itu adalah hal yang baik, mengingat keadaan Raya saat ini.
Di tengah kedamaian yang sederhana itu, tiba - tiba saja ponsel milik bu Indira berdering, mengejutkan Raya dan juga Lilo. Mereka langsung beranjak berdiri mencari sumber suara dan menemukan ponsel yang berdering itu tergeletak di atas meja makan. Segera Raya meregangkan tangannya berusaha meraih ponsel yang berada tepat di tengah meja itu dapat dijangkaunya tanpa harus naik ke atas kursi, sementara Lilo menunggu di bawah sambil melihat ke atas menanti - nanti sahabat karibnya itu berhasil meraih benda yang berbunyi.
Dapat! Akhirnya ponsel tersebut berhasil ia raih. Raya melihat sejenak nama yang tertera pada layar untuk memastikan ia bisa menjawabnya atau harus diberikan langsung pada bu Indira yang ia anggap sebagai neneknya. Walaupun Raya tidak diikutsertakan pada sekolah formal karena kondisi kesehatannya, bukan berarti ia tidak bisa membaca dan menulis. Ibunya yang begitu menyayangi dan peduli padanya, mengajarkannya membaca dan juga berhitung. Di umurnya yang menginjak tujuh tahun pada tahun ini, Raya sudah lancar membaca dan juga berhitung. Setiap ada waktu luang, Adelia selalu menyempatkan diri untuk membaca buku cerita bersama dengan putrinya.
“Oh! Ini bunda!” , katanya setelah membaca nama ‘Adelia’ di layar ponsel milik bu Indira.
Ia pun langsung menggeser dial berwarna hijau untuk menjawab panggilan tersebut, “Halo? Bunda?” , katanya begitu ia menempelkan ponsel itu ke telinganya.
“Halo? Raya? Hai sayang~” , sahut Adelia dengan lembut begitu mengetahui yang menjawab panggilannya adalah putri cantiknya. Selalu, panggilan sayang yang lembut dari Adelia selalu berhasil membuat Raya tersenyum senang.
“Raya, dimana nenek?” , tanya Adelia langsung ke intinya.
Raya menoleh pada bu Indira yang masih terlelap dengan posisi yang sama sejak awal.
“Raya, bisa tolong berikan ponsel nenek pada nenek? Bunda mau bicara dengan nenek.” , lanjut Adelia belum sempat Raya memberitahunya bahwa bu Indira sedang tidur.
Permintaan tolong dari Adelia terdengar seperti perintah bagi Raya. Segera, ia menghampiri bu Indira yang masih terlelap dan mengguncang tubuh bu Indira pelan untuk membangunkannya. Dan benar saja, dua kali guncangan saja sudah berhasil membuat bu Indira membuka matanya dengan wajah terkejut.
“Nenek, ini bunda ingin bicara dengan nenek.” , ujar Raya sambil memberikan ponsel milik bu Indira yang masih terhubung panggilan dengan Adelia.
“Uh?” , bu Indira baru terbangun dari tidur nyenyaknya, ia belum sepenuhnya kembali pada kesadarannya. Walaupun begitu ia tetap menerima ponselnya dan matanya menyipit mencoba membaca nama kontak yang tertera pada layarnya.
“Oh, iya, Del? Ada apa nak?” , jawabnya segera setelah mengetahui yang menelponnya adalah Adelia.
“Halo, bu. Bisakah pergi rumah sakit dengan Raya sekarang?” , balas Adelia dengan tergesa - gesa.
Mendengar nada bicara Adelia yang begitu tergesa - gesa membuat bu Indira khawatir, “Rumah sakit? Ada apa? Apa kau terluka?”
“Tidak bu.” , Adelia memberi jeda sebentar lantaran dirinya yang tidak bisa tidak menahan rasa senangnya, “Mereka menemukan jantung untuk Raya.”
Kebahagiaan yang Adelia rasakan langsung menular pada bu Indira begitu mendengar kabar baik itu, “Benarkah?!”
“Iya, bu. Baru saja dokternya menelponku. Aku tidak menyangka hari ini akan datang juga.” , tanpa sadar air mata Adelia sudah berkumpul di pelupuk matanya disebabkan kebahagiaan yang begitu besar ini.
“Baiklah, ibu akan segera kesana dengan Raya. Kita bertemu disana. Kau berhati - hatilah di jalan.”
“Ada apa, nek?” , tanya Raya penasaran.
Bu Indira tersenyum senang pada Raya, “Ayo. Kita harus menemui Bunda di rumah sakit.”
“Rumah sakit? Bunda sedang sakit?”
“Tidak, nak. Mereka sudah mendapatkan jantung baru untuk Raya.”
Tidak hanya Adelia dan bu Indira yang senang mendengar kabar baik itu, Raya yang sudah menanti hari ini sejak lama, tidak bisa menahan kegirangannya. Sebab, ia sudah memahami jika ia mendapatkan jantung baru itu artinya ia akan bisa berlari - lari dengan bebas dan akan diikutsertakan sekolah formal seperti anak - anak lain seusianya.
“Benarkah, nek?! Yeayyyy!~” , ujar Raya melompat - lompat kegirangan.
Bu Indira terkekeh senang melihat betapa senangnya Raya, “Sudah, sudah. Jangan melompat - lompat seperti itu. Nanti jam di tanganmu akan berbunyi.”
“Oh iya..” , Raya langsung berhenti melompat mengingat kembali kondisinya yang tidak diijinkan untuk bergerak sesuka hatinya.
“Bersabar ya.. Setelah mendapatkan jantung baru, Raya bisa melompat seharian sesuka hati Raya.” , kata bu Indira memberi semangat.
Membayangkannya saja pipi Raya mengembung karena senyum senangnya mendorong kedua pipinya ke atas, “Ayo, nek! Ayo kita berangkat sekarang!”
“Iya, iya. Nenek akan berganti pakaian dulu.”
“Oh! Raya mau membawa gambar Raya juga!” , kata Raya seraya mengambil kertas hasil gambarnya tadi.
“Mau Raya tunjukan pada bunda, ya?”
Raya menggeleng, “Tidak. Raya mau perlihatkan pada ayah.”
Bu Indira mengerutkan keningnya, “Ayah?”
Tanpa menjawab lagi, Raya hanya tersenyum lebar penuh makna.
Mencoba mengerti apa yang Raya katakan, bu Indira melihat gambar yang telah diselesaikan Raya tadi. Pada kertas itu terdapat gambar seorang laki - laki yang bergandengan tangan dengan seorang anak perempuan yang ia yakinkan anak perempuan dalam gambar itu adalah Raya. Namun, siapa laki - laki di yang bergandengan tangan dengannya? Apa itu adalah sosok yang Raya sebutkan sebagai ‘ayah’ tadi? Apa seseorang yang Raya sebut dengan ‘ayah’ adalah seorang dokter yang ia sering temui di rumah sakit sehingga Raya yakin akan bertemu dengan ‘ayah’ juga hari ini? Pikiran bu Indira benar - benar dibuat bertanya - tanya karenanya. .
“Apa ada ayah di rumah sakit?” , tanya bu Indira penasaran.
Raya mengangguk.
“Benarkah? Kapan Raya bertemu dengannya?”
“Waktu itu saat Raya pergi ke rumah sakit dengan bunda. Raya melihat ada ayah disana. Dia juga melihat Raya. Oh! Raya juga melambaikan tangan pada ayah.” , jelas Raya. Bu Indira yakin Raya tidak mengada - ngada jika dilihat dari nada bicara Raya.
Bu Indira ditinggalkan dengan tanda tanya soal sosok ‘ayah’ yang Raya maksudkan. Ia bertanya - tanya apakah Adelia mengetahui soal ini dan menyembunyikannya darinya ataukah benar - benar tidak tahu sama sekali soal ini. Satu hal yang pasti, ia akan mengetahui kebenarannya nanti saat mereka sudah di rumah sakit dan Raya pasti akan membawanya pada sosok ‘ayah’nya.