“Pulang malamnya saja, ya, Ra. Pak Rendra enggak akan hilang kalau pulang sediri,” ucap Mas Davka pagi itu ketika kami sarapan bersama di salah satu warung soto yang lokasinya dekat dengan hotel tempatku menginap. Demi sarapan denganku, Mas Davka rela menempuh perjalanan setengah jam lebih, bahkan rela macet-macetan. Aku benar-benar menghargai usahanya kali ini, jadi aku mengabaikan sarapan yang disediakan hotel. “Tapi saya enggak enak, tahu, Mas.” “Enggak enak kenapa? Apa kamu mau diledek Pak Rendra habis-habisan? Dia tahu tentang hubungan kita karena semalam dia nanya dan saya jawab jujur. ” Dari awal pun, andai aku peka sedikit lagi, Pak Rendra sudah meledekku secara tidak langsung. Dia sering tersenyum aneh padaku. Ternyata, tanpa kuketahui, dia adalah jembatan dari rencana yang d