Bella melihat penampilannya melalui cermin besar. Wajahnya yang telah berpoles make up dengan riasan bibir berwarna merah, seolah menyatu dengan pakaiannya yang jujur saja tak pernah dia suka.
Pakaian pelayan di klub ini sangat kekurangan bahan. Atasannya hanya kemeja putih ketat dengan dasi berbentuk pita. Sedang bagian bawahnya berupa rok pendek yang dipadu padankan dengan stoking hitam bermodel jaring laba-laba. Jika boleh menolak, tentu dia akan berpakaian layak terlebih dia tak biasa dengan tatapan nakal para pria. Hanya, Madam Swan sudah menjadikannya sebagai kewajiban dan jika dia menolak, maka sama saja dengan kehilangan pekerjaan.
"Sudah siap?" tanya Risa yang sudah datang dengan pakaian yang sama. Wajah wanita itu pun berpoles make up dan terlihat begitu dewasa.
“Ya.”
Keterampilan Bella dalam ber make up tentu saja dari Risa karena pekerjaan di klub ini pun atas ajakan Risa juga. Mulanya Bella bimbang dan berpikir, dia hanya ingin bekerja sebagai pelayan hotel saja apalagi dia tak biasa dengan keramaian. Akan tetapi, tekanan yang semakin besar membuatnya tak memiliki pilihan. Selainnya, pekerjaan di klub terbilang mudah dan bayarannya langsung didapat setelah bekerja. Sangat lumayan untuk melepaskan diri dari hukuman.
Keduanya hendak beranjak tetapi lebam di leher belakang Bella membuat Risa menggerutu asal. “Bagaimana jika rambutmu digerai saja? Lebam di sudut leher belakangmu terlihat, Bella.”
“Ah benarkah? Sungguh aku tidak tahu jika lebamnya ada di sana juga,” jawab Bella seraya memegang sudut lehernya. Begitu saja dia melepaskan tali rambut yang menggulung rambut panjangnya hingga jatuh tergerai. “aku pikir sudah hilang.”
Lagi-lagi Risa menghela napasnya pelan. Bohong jika sakitnya tidak terasa. Hanya, Bella berusaha menutupinya saja—seperti biasa. “Pamanmu itu benar-benar jahat. Harusnya aku lenyapkan saja dia dengan racun hama.”
“Jangan berpikiran Aneh, Risa. Sudah lupakan saja. Sekarang saatnya kita bekerja.” Bella meraih tangan Risa kemudian menariknya keluar dari ruang ganti yang telah mengubah penampilan mereka secara sempurna. Bergabung dengan bertender yang sudah menunggu dengan senyuman selamat datang.
“Selamat bekerja para gadis,” ucapnya seraya menunjuk nampan berisi minuman yang siap diantarkan kepada pelanggan.
"Jaga dirimu baik-baik, Bella."
Dan hal itulah yang Risa katakan kepada Bella ketika mereka mengambil tugas. Melangkah ke sudut berbeda. Berpencar melayani para pelanggan yang memenuhi sudut klub setiap malam.
Bella meletakkan minuman di meja pertama dan pergi begitu saja. Aroma minuman yang pekat serta asap cerutu yang mencemari udara sudah bukan lagi hal baru untuknya. Apalagi bising musik yang menulikan pendengaran. Bersama dengan tarian orang-orang yang tak memiliki beban dalam hidup mereka termasuk beberapa rekannya yang mulai mencari mangsa.
Bella tersenyum datar saat meletakkan minuman di meja kedua. Meski hidupnya teramat menderita, sungguh tidak pernah terbersit dalam pikirannya untuk melakukan hal yang sama. Lebih baik dia banting tulang, daripada mencari uang dengan cara instan. Yang berarti menjual tubuhnya kepada mereka meski beberapa tawaran sudah dia dapatkan.
Ya.
Menjadi bagian dari dunia malam yang kejam ini sudah membuat Bella terbiasa. Banyak hal-hal tidak menyenangkan. Tidak sekali dua kali pelanggan pria bertindak tidak senonoh terhadapnya. Pernah ada pemaksaan juga. Namun, dia tetap berusaha untuk menolak dan menghindar. Tak peduli jika dirinya menjadi pelayan yang paling banyak mendapatkan keluhan dan hal itu berimbas pada bayaran yang dia terima. Yang terpenting adalah, harga dirinya tidak akan pernah dia jual.
Bella mendekati meja bundar yang di kelilingi para pria. Dengan sigap dia meletakkan beberapa botol minuman di atas meja agar secepatnya bisa pergi dari sana. Namun, langkahnya tiba-tiba tertahan saat seseorang memegang tangannya dan begitu dia melihat, ternyata orang itu adalah pamannya.
"Paman?" Bella tercekat luar biasa. Sama sekali tak menyangka jika pamannya ada di klub ini juga. “apa yang Paman lakukan di sini?” rasa takut mendera. Terlebih saat pamannya tertawa tak biasa.
"Aku butuh uang, Arabella. Kau pikir apa?” Drew berdecih. Mengejek penampilan Arabella yang terlihat seperti jalang, sedang di depannya Bella berlagak seperti gadis biasa.
"Aku tidak punya uang, Paman. Aku akan memberikannya setelah pulang bekerja.” Bella berusaha menarik tangannya dari genggaman. Netra matanya menangkap sesuatu yang tak biasa. Yakni jika pamannya tengah berada di meja perjudian. “aku berjanji akan memberikannya setelah sampai di rumah.”
“Hahaha ...” dan paman berhati iblis itu justru tertawa. “Kau kira aku akan percaya begitu saja?” paman Drew menyentak tangan Bella yang masih bengkak. “aku butuh uang itu sekarang dan kau harus memberikannya.”
Begitu saja paman Drew menghadap meja bundar tempatnya menonton perjudian kemudian berkata, "Aku ingin bermain dan taruhanku adalah gadis ini!”
Bella menggelengkan kepala dengan raut wajah kian tertekan. "Tidak, Paman. Aku mohon jangan lakukan ini. Aku berjanji akan memberi Paman uang setelah pulang bekerja nanti.” Bella berusaha menarik tangannya tetapi sulit sekali. Untuk meminta pertolongan pun dia rasa tidak mungkin karena di klub ini tidak akan ada orang berbaik hati. “aku mohon jangan, Paman.”
Plak!
Bukannya mengasihani, sebuah tamparan justru Bella dapatkan saat dia berusaha memberontak. Paman Drew bahkan menyuruh beberapa pria memegang tangannya. “Diam, Jalang! Sudah turuti saja apa mauku. Lagi pula kau akan mendapatkan uang juga, jika aku menang.”
Bella meringis tertahan. Tak terasa air matanya jatuh saat transaksi itu terjadi di depan mata.
"Jadi bagaimana? Apa taruhanku cukup menggiurkan?" Drew memperlihatkan barang taruhannya yang begitu saja mereka setujui tanpa pikir panjang.
“Ya. Kau bisa ikut bermain, Drew.”
Kali ini tangis Bella pecah. Paman Drew benar menjadikannya sebagai taruhan. Setelah tanpa perasaan menyakiti tubuhnya, pria jahat itu masih dengan tega menjual harga dirinya. Benar-benar manusia biadab.
“Kita mulai dengan taruhan 500 dolar,” ucap bandar judi yang ada di sana. Namun, tiba-tiba saja terdengar suara lantang seseorang yang berhasil membuat suasana hening sesaat.
"Tidak perlu menjadikannya taruhan karena aku akan menukarnya dengan uang!"
Bella tercekat. Begitu saja manik matanya mengedar. Mencari pemilik suara berat yang sudah membuat manik mata pamannya berkilat—melihat tumpukan uang.
“Jangan bicara omong kosong, Tuan. Aku—“
“30.000 dolar.”
“Deal! Kau bisa membawa gadis itu sekarang.”
Paman Drew tertawa penuh kemenangan. Tanpa perasaan dia mendorong Bella hingga jatuh ke pelukan pria yang sudah membelinya.
Pria bertubuh tegap yang kali ini bisa Bella lihat bagaimana rupanya. Pria dengan rahang kokoh yang begitu saja membuat jantungnya berdebar kuat.
Bukankah pria ini yang aku temui di hotel tadi pagi? Batinnya menerka. Mengingat kembali pertemuan yang terjadi secara singkat.
“Bella, apa kau sudah membersihkan kamar nomor 102?"
Teriakan Risa yang berada tak jauh dari sana, sontak membuat Bella mendongak. Saat itu dia sedang mengecek troli yang berisikan perlengkapan membersihkan kamar.
"Masih ingin membersihkannya, Risa. Kenapa?”
“Tidak apa-apa. Kebetulan aku sudah selesai dan sedang sakit perut. Aku ke ruang ganti terlebih dulu tidak apa-apa ‘kan?”
Bella mengangguk pelan. “Ya. Sampai bertemu nanti, Risa.”
Setelahnya Bella beranjak. Dia menuju kamar 102 yang berada di sudut ruangan.
Tok! Tok!
"Layanan kamar," ucap Bella dan tak lama kemudian pintu kamar terbuka. Segera dia melangkah masuk seraya mendorong trolinya.
"Ada uang tip di atas tempat tidur. Kau bisa mengambilnya."
Suara pria yang terdengar bahkan sebelum Bella memulai pekerjaannya, jelas saja membuat Bella terenyak. Dia mengangkat pandangan dan menemukan seorang pria yang membelakanginya sembari merapikan kemeja.
"Itu tidak perlu Anda lakukan, Tuan,” ucapnya saat melihat beberapa lembar uang tergeletak di atas ranjang dan pria asing itu justru memutar tubuhnya.
"Jika kau tidak mau, berikan saja pada orang lain.”
Setelah mengatakan kata-kata yang cukup membuat Bella tercengang, pria itu pun meninggalkan kamar. Berlalu begitu saja setelah mengambil jas hitam di atas ranjang yang cukup berantakan sampai netra Bella melihat ponselnya yang tertinggal.
"Astaga, ponselnya ....” Bella bergerak cepat. Dia mengambil ponsel itu kemudian melangkah keluar dari kamar. Berusaha mengejar sebelum pria itu pergi tanpa jejak.
Drttt!
Ponsel ditangannya bergetar. Menandakan sebuah panggilan yang membuat Bella mempercepat langkah. Saking tak sabarnya dia berlari cepat menuju lift yang ada di depan sana.
“Tuan, sebentar!" Teriaknya dan refleks pria tadi menghentikan pintu lift yang akan menutup menggunakan ujung sepatu. "ponsel Anda tertinggal," lanjutnya spontan sembari memberikan ponsel di tangan dan seketika itu pula raut wajah pria itu berubah.
"Terima ...”
Belum sampai pria itu mengucapkan terima kasih, Bella sudah lebih dulu pergi. Tugasnya sudah selesai jadi dia harus kembali untuk menyelesaikan pekerjaan yang tadi.
Dan sekarang, Bella bertemu dengan pria itu lagi. Dalam sebuah situasi yang benar membuatnya tak habis pikir, kiranya takdir apakah yang membuat pertemuan ini kembali terjadi?