Bab 2 - Evans Julians

1241 Kata
Pria dengan rahang kokoh itu mengemudikan mobilnya cepat. Meninggalkan hotel yang semalam suntuk menemaninya dalam kalut luar biasa. Bersama beberapa botol minuman yang membuatnya sampai hilang kesadaran dan jika seseorang sampai melihat, tentu akan menjadi perbincangan yang cukup panas. Dia adalah Evans Julians. Pria berusia 30 tahun—pewaris tunggal dari Julians Company yang cukup terkemuka di negara ini. Saat ini Evans menghadapi masalah yang cukup rumit hingga menjadikan minuman sebagai pelarian. Bersembunyi di hotel seorang diri karena tidak ada seorang pun yang mengerti. "Evans, kau ada di mana?" suara ibunya terdengar sesaat Evans mengangkat panggilan di ponselnya yang nyaris tertinggal. “semalam kau tidak tidur di rumah? Kau bermalam di mana?" "Apa Ibu bisa berhenti menggangguku?" Evans muak. Bermacam tekanan dia dapatkan setiap hari. Seolah semua orang berpikir bahwa dia tidak punya hati. "Mia masuk rumah sakit, Evans! Apa kau mengetahuinya?” Spontan Evans menginjak rem mobilnya secara mendadak. Beruntung jalan yang dilaluinya sepi pengendara sehingga tidak membahayakan. "Aku akan segera ke sana." Evans menutup sambungan teleponnya kemudian melajukan mobilnya dengan segera. Mia masuk rumah sakit? Bagaimana bisa, dia tidak mengetahui hal ini? Mia adalah istri Evans dan pernikahan mereka sudah memasuki tahun ke 4. Namun, sampai saat ini Mia belum bisa memberinya seorang anak. Mulanya semua baik-baik saja. Evans sama sekali tak masalah meski Mia tak kunjung memberi keturunan. Desakan ibunya pun tak Evans hiraukan. Namun, tekanan mulai terasa saat saudara tiri mendiang ayahnya berulah. Sebuah wasiat yang mengatakan jika Evans tak memiliki anak di usia 30 tahun maka semua aset keluarga Julians akan jatuh ke tangan Hilton pun membuatnya tak bisa tenang. Bukan Evans tak berusaha. Program bayi tabung pun Evans lakukan di berbagai negara tetapi, semua gagal. Lalu beberapa bulan ini tekanan Hilton semakin membuatnya sulit bernapas. b******n itu terang-terangan mengancam akan membuatnya jatuh miskin dalam waktu cepat. Sialan memang. Evans sampai tidak tahu harus melakukan apa. Di satu sisi dia tidak ingin kehilangan harta milik ayahnya tetapi di sisi lain, kenyataan jika dia tidak memiliki anak pun menamparnya. Ibunya sampai memintanya menikahi wanita lain. Namun, secara tegas dia menolak. Dia mencintai Mia dan mencari penggantinya adalah hal yang tidak mungkin dia lakukan. Mia sudah bersamanya sejak remaja dan selamanya tidak akan pernah tergantikan. Bugh! Evans memukuli setir mobilnya beberapa kali. Marah karena permainan takdir yang membuatnya lemah seperti ini sampai-sampai semua yang dia miliki tidak berguna sama sekali. Dia tidak tahu apa yang salah dengannya ataupun Mia. Semua hasil pemeriksaan menyatakan dirinya normal begitu pun dengan istrinya. Namun, entah kenapa Mia belum bisa memberinya keturunan sampai sekarang. Tak lama kemudian mobil Evans sampai. Rasa bersalah yang menyusup begitu saja membuatnya sedikit hilang akal. Sungguh dia tidak akan memaafkan dirinya jika sampai terjadi sesuatu kepada istri tercintanya. Setelah bertanya kepada resepsionis, Evans pun berlari cepat menuju ruangan Mia dirawat . Ruang ICU yang membuatnya berpikir, hal apakah yang terjadi sampai Mia masuk ruangan itu? "Apa yang terjadi, Bu? Kenapa Mia—“ Emma Julians bangkit dari duduknya. Raut wajah wanita itu terlihat begitu tertekan. "Kau harus menemuinya, Evans. Dia membutuhkanmu." Evans beranjak. Menemui pihak dokter sebelum menemui Mia yang terbaring tak berdaya di atas brankar. Tentu setelah mengikuti prosedur yang berlaku di sana. "Mia? Hey, ada apa?" Evans dengan lembut mengecup kening wanita paling berarti dalam hidupnya. Hampir saja dia tidak bisa mengendalikan perasaannya begitu melihat kondisi Mia sekarang. "Akhirnya kau datang. Apa kau sudah makan?" Alih-alih menjawab, wanita pemilik mata teduh itu justru mengalihkan pertanyaan. Sebuah hal yang membuat Evans begitu memujanya karena Mia adalah satu-satunya orang yang peduli pada perasaannya. "Ya aku sudah makan,” bohongnya lantas mengatakan isi hatinya sekarang. “ aku minta maaf, Mia. Aku berdosa karena meninggalkanmu dan tidak pulang semalam.” Evans menatap Mia penuh penyesalan. “sekarang katakan, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kau bisa berada di ruangan ini? Apa ada seseorang yang—“ Mia menggeleng pelan. Manik matanya yang semula teduh mulai berkaca-kaca. Dengan bibir bergetar dia pun berkata, "Justru aku yang ingin minta maaf karena sudah merahasiakan hal ini darimu sejak 1 tahun yang lalu, Evans. Aku ... aku hanya tidak ingin kau meninggalkanku. Aku hanya tidak rela melihatmu dengan wanita lain dan hari ini aku sadar, jika yang aku lakukan selama ini sudah membuatmu terluka.” Mia meraih tangan Evans kemudian menggenggamnya erat. Setelah sekian lama, akhirnya dia memiliki keberanian untuk mengatakan hal pahit dalam hidupnya. "sampai kapan pun aku tidak akan bisa memberimu anak, Evans. Aku menderita kanker serviks stadium 4 dan umurku tidak akan lama.” Evans mematung dengan wajah pucat. Mendadak dunianya gelap sampai dia tidak bisa bertahan di pijakan. Kecewa luar biasa karena Mia menyembunyikan kebohongan sebesar ini. Kecewa karena Mia tidak mengatakan sedari awal dan menanggung sakitnya sendiri. Evans menangis. Untuk pertama kalinya pria dingin itu menunjukkan kelemahan di depan orang lain. Untuk pertama kalinya sang pewaris tunggal kalah dalam garis takdir. ** “Heh! Bawakan aku minuman lagi!” Sudut klub yang gelap, menjadi pilihan Evans untuk menenangkan pikirannya. Sekali lagi menghabiskan berbotol-botol minuman agar dia bisa melupakan masalah yang datang bertubi. Benar dadanya terasa panas saat ini. Namun, efek memabukkan minuman itu telah berhasil melenyapkan beberapa dari masalah yang dia hadapi.. “Kenapa semua orang memperlakukanku seperti boneka? Apa mereka pikir, aku tidak punya perasaan?” Evans tertawa. Sungguh dia tidak akan pernah lupa bagaimana Mia membuatnya terluka sekaligus tidak berguna. Membuatnya seperti lelaki paling pengecut di dunia. “Ini minumannya, Tuan.” Evans mendongak. Suara wanita tadi seperti tidak asing di telinga. Wajahnya pun seperti pernah dia lihat. Namun, dia tidak bisa mengingat dengan jelas karena lampu klub yang temaram. Apalagi pengaruh alkohol mulai mengikis akal sehatnya. Wanita itu menjauh dan Evans justru penasaran. Entah magnet apa yang membuatnya beranjak kemudian mengekorinya. Terus melangkah melewati kerumunan sampai akhirnya dia melihat wanita itu menangis dalam genggaman tangan seorang pria. ** Bella beranjak. Sengaja melepaskan diri dari pria asing yang ingin membelinya kemudian menyatukan tangan di depan paman Drew untuk yang terakhir kalinya. “Aku mohon jangan lakukan ini, Paman. Aku tidak mau dijual,” isaknya tak tertahan. Berharap paman Drew mau berubah pikiran dan hal itu pun menarik perhatian pria asing di dekatnya. "Kau menjual keponakanmu sendiri, tua bangka?” "Ah ... dia hanya berpura-pura tidak mau saja. Air matanya itu sudah menjadi bagian dari sandiwara kami berdua. Lagi pula, dia mendapat bagian paling besar setelah tidur dengan para pria." Jawaban Drew tentu membuat kebencian pria yang tak lain adalah Evans semakin berkobar. Nyatanya semua wanita di dunia ini sama. Sama-sama pandai mempermainkan perasaan seseorang dengan sandiwara mereka dan kali ini, jangan harap seorang wanita bisa membohonginya seperti yang Mia lakukan. Bella yang mendengarnya pun meringis pelan. Sejahat itu Drew memperlakukannya dan masihkah dia ingin meminta belas kasihan? Rasanya, sampai menangis darah pun Drew tidak akan memedulikan. Transaksi itu pun dilakukan. Evans menyerahkan sebuah cek yang membuat Drew tertawa lepas. “Terima kasih banyak, Tuan. Silakan kau tiduri keponakanku sampai puas.” “Hanya untuk malam ini saja karena aku tidak sudi mengotori tubuhku dengan aroma jalang.” Setelahnya Evans mencekal tangan Bella kemudian menariknya keluar dari klub. Kondisi Evans yang setengah mabuk sempat membuat Bella berpikir untuk melarikan diri. Namun, usaha Bella gagal lagi saat Evans membawanya ke dalam mobil. “Tuan, tolong lepaskan saya. Apa yang paman saya katakan tidak benar. Saya bukan jalang.” Bella sempat memberontak dan mengiba. Namun, Evans yang sudah kehilangan akal malah mengikat tangannya dengan lakban. Tanpa sepatah kata Evans pun mengemudikan mobilnya. Entah ke mana? Bella juga tidak bisa menerka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN