3. Ruang Meeting Yang Terlalu Sepi

1541 Kata
Kirana nyaris bangun kesiangan setelah begadang semalaman demi menyelesaikan tugas dari Yudistira, yang harus dipresentasikannya pukul sepuluh pagi ini. Bos gila! Statusnya sebagai pegawai baru seakan tidak ada artinya, dia langsung diperlakukan seperti karyawan lama tanpa ada masa adaptasi. Pagi ini Kirana mengenakan kemeja putih longgar yang dimasukkan ke dalam rok midi berwarna beige dengan potongan lurus. Dia juga melengkapi penampilannya dengan sepatu hak hitam runcing dan tas selempang berwarna krem yang elegan. Penampilannya tampak rapi, minimalis, dan tentunya profesional. Setelah memastikan penampilannya sudah cukup sempurna, Kirana keluar untuk menikmati sarapan bersama keluarganya. Di meja makan sudah ada sang ayah yang tampak menikmati kopi hitamnya sembari menyaksikan berita online melalui ponsel. Ibunya terlihat sedang sibuk di depan kompor memasak sesuatu. Sementara Reno, adiknya, dia belum melihatnya. “Pagi banget, Ran?” tanya Hilman, melirik jam dinding yang masih menunjukkan pukul setengah tujuh. “Jarak kantornya lumayan jauh, Yah. Aku harus naik-turun kereta, belum lagi jalan kaki ke gedungnya. Takut telat. Makanya aku kepikiran buat cari kosan yang deket kantor. Boleh, ya?” “Kok tiba-tiba banget, Rana? Baru juga mau dua hari masuk kerja,” sahut Indah, ibunya sambil menarik kursi dan ikut duduk di meja makan usai meletakkan sepiring telur mata sapi ke atas meja makan. Andai ibunya tau. Di sana, status pegawai baru atau lama seperti tidak ada bedanya. Semua dikejar target. Padahal dia baru masuk satu hari kerja, dia bahkan sudah harus bawa pulang tumpukan tugas. Kalau begini, rasanya tinggal dekat kantor bukan cuma opsi, tapi kebutuhan. Apalagi dia bekerja di sebuah perusahaan properti yang cukup besar, telat sedikit pasti dia akan kena SP. Ditambah dia juga pegawai baru yang tidak diharapkan datang telat. “Bagaimana, Yah, boleh?” tanya Kirana membujuk pada sang ayah. “Tanya ibumu lah.” Hilman malah melimpahkan jawaban pada sang istri. Kini Kirana menoleh pada ibunya, meminta izin untuk tinggal di kos-kosan. Indah membuang napas panjang. “Cari kos-kosan yang keamanannya bagus, Rana. Tidak apa-apa mahal, yang penting kamu aman.” Kirana tersenyum senang setelah mendapat izin dari kedua orang tuanya untuk tinggal di kos-kosan. Nanti dia akan cari-cari informasi mengenai tempat kosan dekat kantor, atau pada rekan kerjanya. Usai sarapan, Kirana langsung meluncur ke stasiun. Untungnya dia masih sempat naik kereta tujuan, meski harus berdiri sepanjang perjalanan, berdesak-desakan dengan penumpang lain yang juga akan berangkat kerja. Dia tiba di kantor lima belas menit sebelum jam masuk. Begitu sampai di kubikelnya, Kirana menjatuhkan tubuh di atas kursi putarnya dan menghela napas panjang, seolah baru saja melewati satu pertempuran yang cukup sengit. “Kamu kayak habis ikut lomba maraton, deh. Ngejar kereta, ya?” celetuk rekan kerjanya dari meja seberang. Kirana belum sempat berkenalan dengan wanita itu kemarin. Kirana melempar senyum, nyaris tanpa tenaga. “Iya, kayaknya aku sudah berkompetisi sama puluhan orang dari pintu stasiun sampai tangga kantor. Melelahkan.” Kirana ingin kembali tertawa, tapi rasa lelah lebih dulu menyergap. Dalam hati, Kirana bertanya-tanya, “Ini baru hari kedua. Perjuanganmu masih panjang, Ran. Kuat gak, ya?” Jadi, keputusan untuk mencari kos di dekat kantor adalah pilihan tepat. Dan, untungnya lagi orangtuanya sudah memberi izin. Jam sepuluh tepat, di ruangan meeting. Kirana berdiri di depan layar proyektor, jantungnya berdegup tak beraturan. Slide presentasi Aruna Cluster sudah terpampang rapi. Pointer di tangannya gemetar sedikit, walau dia berusaha menyembunyikannya. Yang membuat gugup bukan hanya materi yang akan dia paparkan, tapi ruang rapat ini. Terlalu sepi. Seharusnya ada tiga orang lain dari tim pemasaran dan satu dari divisi keuangan. Tapi yang datang hanya satu orang, Yudistira. Ya, hanya pria itu saja yang ada di ruang meeting pagi ini. Yudistira duduk sendirian di ujung meja panjang, dengan jas hitam pekat dan wajah nyaris tanpa ekspresi. Matanya lurus menatap Kirana, seolah ingin menguliti isi pikirannya lewat tiap kata. “Silakan dimulai,” ujar pria itu datar. Tapi ada nada yang menuntut. Mendominasi ruangan seperti udara dingin. Kirana menelan ludah. “Baik, Pak.” Dia mulai menjelaskan, segmentasi pasar, pendekatan branding Aruna Cluster sebagai hunian alami tapi premium, tone of voice yang lebih emosional. Semuanya dia hafal. Tapi saat suaranya nyaris lancar, Yudistira menyela. “Kalimat pembuka tadi ...,” ujarnya pelan. “Yang tentang rumah bukan sekadar bangunan. Kenapa kamu pakai pendekatan sepersonal itu?” Kirana terdiam sejenak. Dia ingat email semalam. Ingat balasannya sendiri yang terlalu jujur. “Karena saya percaya, orang tidak membeli rumah hanya dengan uang. Tapi juga dengan rasa percaya. Dan itu—kadang—hilang kalau narasinya terlalu dingin,” jawabnya, berusaha tenang. Yudistira menatapnya lama. Tidak tersenyum. Tidak mengangguk. Tapi juga tidak memotong. “Lanjutkan.” Kirana menyambung presentasinya. Sampai akhir, dia menjelaskan konsep iklan digital, waktu peluncuran, dan materi teaser. Semua lancar. Tapi tidak ada satu pun pujian keluar dari mulut pria itu. Selesai. Hening. Kirana menunggu reaksi pria itu. Hingga akhirnya Yudistira menutup map di depannya dengan satu gerakan pelan. “Kamu tau kenapa saya minta meeting ini tanpa yang lain?” Kirana mengerutkan dahi. “Maaf, Pak?” “Karena saya ingin lihat, sejauh apa kamu bisa berdiri sendirian. Tanpa supervisor, tanpa tim yang mendukung. Hanya kamu. Di depan saya.” Kirana menunduk. Entah karena tersentuh, atau justru merasa ditelanjangi. Lalu Yudistira berdiri. Perlahan, mendekat ke arah layar. Tapi bukan menatap pada slide, melainkan menatap Kirana. “Hasil kerja kamu bagus.” Hening. “Tapi saya tidak sedang menilai hasilmu hari ini, Kirana.” Yudistira menatapnya tajam. “Saya sedang menilai karaktermu.” Setelah itu, dia berbalik dan keluar dari ruang rapat, tanpa menoleh sekali pun. Kirana berdiri kaku. Tangannya masih menggenggam pointer. Tapi dadanya berdebar lebih kencang dari sebelumnya. Dia tidak tau apakah baru saja lulus ujian, atau justru masuk ke dalam perangkap yang dia sendiri belum paham bentuknya. Pria itu, Yudistira, seperti ingin menguji kemampuan dirinya. *** Kirana menyantap makan siangnya seorang diri di sudut kantin kantor. Sejak presentasi pagi tadi, perutnya terasa tidak nyaman, entah karena dia salah makan saat sarapan tadi, atau karena sikap Yudistira yang mendadak berubah. Tanpa banyak penjelasan, pria itu langsung menunjuknya mengerjakan satu tugas khusus, tanpa menyertakan Maya yang katanya adalah rekan satu timnya. Sampai siang ini pun dia belum bertemu Maya. Dari obrolan di pantry, Kirana baru tau bahwa Maya pergi melakukan survei lokasi proyek bersama Nino. Tanpa kabar. Tanpa ajakan. Kirana mulai merasa ada yang janggal. Apa Yudistira memang sengaja memisahkan mereka? Kalau iya, untuk apa? Mengujinya? Atau ada alasan lain yang belum dia pahami? Di sisi lain, Kirana justru khawatir Maya akan menganggapnya sengaja ingin menonjol. Apa Maya akan marah? Atau malah merasa tersingkir dan mulai iri? Pikiran-pikiran itu berputar di kepalanya, menambah rasa tak nyaman yang sudah lebih dulu bersarang sejak pagi. “Kirana, kan? Boleh duduk sini?” tanya seorang wanita yang belum sempat berkenalan dengannya, tiba-tiba muncul di depan meja. “Oh, tentu. Silakan,” jawab Kirana ramah. Wanita itu tersenyum, lalu menarik kursi dan duduk di hadapannya. Sikapnya tampak terbuka dan bersahabat. “Gimana, udah mulai betah kerja di sini? Atau masih dalam fase menyesuaikan diri?” tanyanya santai. “Oh iya, aku Monica, aku di bagian keuangan, satu lantai sama kamu.” Kirana tersenyum kecil. “Senang kenal kamu, Mbak Monica. Ya, aku masih adaptasi sih. Banyak hal baru juga yang masih agak abu-abu.” Monica terkekeh pelan. “Pasti, apalagi di divisi kamu itu, perputarannya cepat. Bos-bosnya juga, hmm ... unik-unik.” Kirana menahan diri untuk tidak bertanya lebih lanjut, tapi raut penasaran di wajahnya tampaknya terbaca jelas. Monica menyandarkan punggungnya santai. “Kamu satu tim sama Maya, ya? Tapi kok tadi katanya kamu yang presentasi sendiri?” Kirana menunduk sesaat sebelum menjawab. “Iya, katanya aku satu tim sama Maya. Tapi entah kenapa, tadi pagi Pak Yudistira langsung minta aku yang handle tugas itu sendiri.” “Hm,” gumam Monica, alisnya sedikit terangkat. “Menarik juga. Soalnya biasanya Maya yang lebih sering tampil di depan. Tapi ya, kadang memang ada hal-hal yang nggak semua orang ngerti di balik keputusan atasan.” Kirana hanya tersenyum tipis, menahan tanya. Tapi kalimat terakhir Monica menggantung di kepalanya lebih lama dari yang dia harapkan. Kirana menggulung sisa mi goreng di piringnya dengan garpu. “Oh ya, ngomong-ngomong, Mbak Monica tau kos-kosan atau tempat tinggal yang deket kantor nggak? Aku ngerasa kejauhan kalau berangkat dari rumah ke kantor, jadi pengen pindah biar lebih fleksibel.” Monica langsung mengangkat alis, antusias. “Lagi cari kos? Wah, kamu cocok banget duduk sama aku sekarang.” Kirana tersenyum tipis. “Maksudnya?” “Aku tuh kenal beberapa tempat yang deket sini, nyaman, dan harga masih masuk akal. Aku juga sempat tinggal di kosan waktu awal-awal kerja. Mau aku buatin daftarnya? Atau kalau mau, nanti pulang kantor kita keliling bentar, liat-liat langsung aja,” tawarnya bersemangat. Kirana menatap Monica, agak lega mendapat tawaran bantuan. “Boleh banget, makasih ya. Aku agak bingung juga soalnya belum kenal area sini.” “Tenang, nanti juga kamu akan terbiasa. Yang penting jangan malu bertanya.” Monica tersenyum manis. “Kamu anaknya kelihatan kalem, tapi jangan terlalu polos di sini, ya. Kantor ini, kadang seru, kadang penuh kejutan.” Kirana mengernyit samar, tapi belum menggubris kalimat itu terlalu dalam. “Siap-siap aja,” lanjut Monica sambil mengambil tisu. “Tempat kerja baru itu bukan cuma soal tugas, tapi juga, siapa yang ada di sekeliling kita.” Tentu saja Kirana tau itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN