Hari pertama di kantor baru seharusnya membuat Kirana semangat, mengingat sudah empat bulan menganggur yang akhirnya berhasil lolos dan memiliki pekerjaan baru di perusahaan yang bonafit pula. Pada kenyataannya Kirana justru lebih banyak diam. Suasana di Divisi Marketing Gravira Holding terlihat profesional dan sibuk. Setiap meja penuh dengan mock-up desain proyek perumahan, brosur apartemen, dan layar yang menampilkan denah kavling di lokasi berbeda.
Suara keyboard, panggilan telepon dari klien, dan desahan lelah dari rekan kerja menjadi latar rutin pagi itu. Tapi bagi Kirana, semuanya terdengar seperti gema jauh, karena pikirannya masih tertinggal di lantai delapan. Di ruangan itu. Di hadapan pria yang pernah menjadi bagian dari keluarganya.
Ya, pria itu, Yudistira, pernah menjadi suami dari Amira, kakak kandung Kirana. Meski pernikahan keduanya hanya bertahan selama tiga bulan saja, tapi menyisakan luka mendalam bagi pria itu. Setidaknya itu yang Kirana yakini. Buktinya setelah perceraian itu, Yudistira seperti menghilang ditelan bumi. Tidak lagi mereka mendengar kabar pria itu setelah bertahun-tahun.
Dan, pertemuan pertama mereka tadi cukup membuat Kirana hampir shock. Tak percaya dan sangat mengejutkan. Itu yang Kirana rasakan, dan sepertinya Yudistira bersikap biasa saja.
“Eh, kamu karyawan baru, ya?”
Suara itu menyentak Kirana dari lamunannya.
Kirana menoleh. Seorang perempuan dengan blazer berwarna merah marun dan senyum lebar meliriknya sambil menyodorkan tangan kanannya. “Aku Maya. Desain grafis senior di sini. Kamu di bagian copywriting?”
Kirana mengangguk dan menyambut jabatan tangannya. “Kirana. Iya, aku baru mulai hari ini.”
“Welcome!” Maya menarik kursinya lebih dekat. “Aku diinfokan kalau kamu bakal bantu proyek pemasaran klaster baru di Bintaro, bareng aku dan Nino dari tim visual. Jadi mulai besok kita bakal meeting bareng terus.”
Kirana tersenyum kecil. “Oke, noted.” Dia cukup senang, baru mulai masuk kerja sudah mempunyai tim sendiri.
“Tapi kamu tau nggak?” bisik Maya lebih pelan, matanya melirik sekeliling seolah takut didengar. “Bos besar kita, Pak Yudistira. Beliau itu duda, lho.”
Kirana nyaris menjatuhkan pulpen dari tangannya.
Maya tertawa pelan. “Sudah bukan rahasia di sini, sih. Tapi gila ya, pria itu kalau lewat aja, suasana kantor bisa kayak iklan parfum.”
“Maksudnya ...?” Kirana pura-pura bingung.
“Ganteng, dingin, rapi, dan mahal. Tapi misterius gitu. Dan, semua cewek di lantai ini pernah diam-diam naksir. Termasuk yang udah punya pacar pun ikutan kepincut sama Pak Yudistira.”
Kirana hanya tersenyum tipis. “Kayaknya kamu terlalu berlebihan, deh.”
“Enggak, ini beneran. Serius!” Maya menepuk tangan Kirana pelan mencoba untuk meyakinkan. “Kamu nanti juga bakal ngerti kenapa. Tapi kamu kayaknya udah tahu, ya?”
Kirana menegang. “Maksudnya?” Lagi, Kirana bertanya bingung.
“Kayaknya kamu agak gugup waktu aku sebut namanya. Apa kamu sudah kenal, ya?”
Tatapan Maya mulai curiga.
“Enggak. Cuma, ya, mungkin karena baru pertama kali kerja di kantor besar, jadi kaget aja denger bosnya segitu terkenal,” jawab Kirana cepat, mencoba mengalihkan kecurigaan rekan barunya.
Sebelum Maya sempat bertanya lebih jauh, suara pintu lift di ujung koridor terbuka. Beberapa pegawai menoleh. Kirana tak perlu menoleh, sudah pasti pria itu.
Yudistira.
Pria itu berjalan melewati ruang marketing menuju ruang meeting, diikuti dua staff manajemen proyek. Kirana menunduk spontan, berharap pria itu tak melihatnya.
Tapi dari sudut matanya, dia bisa menangkap sekilas, jika pria itu menoleh ke tempatnya. Oh, Kirana tidak mau terlalu percaya diri, tapi dia benar-benar melihatnya sekilas jika Yudistira melirik ke arahnya. Dan, hanya satu detik tatapan itu terjadi, tapi cukup untuk membuat napas Kirana tercekat dan jantungnya berpacu lebih cepat dari logika.
“Tuh, doi ganteng banget, kan?” Maya memegangi tangan Kirana. “Kamu lihat kan?”
Kirana menggelengkan kepalanya.
“Aduh, payah, padahal tadi doi lewat, lho!” Suara Maya terdengar gemas.
Kirana tersenyum kecut. Dia masih tidak mengerti dengan yang terjadi di sini. Setelah tiga tahun menghilang, Yudistira yang dulu dia kenal sebagai pria pas-pasan dan tampang seadanya, kini menjelma menjadi pria yang cukup berpengaruh. Hanya tiga tahun dan perbedaannya begitu mencolok.
Pria itu tidak pakai ilmu pesugihan, kan?
Ah, sepertinya tidak mungkin. Karena setau Kirana perusahaan Gravira Holding sudah berdiri sejak tiga puluh tahun lalu. Atau, bisa saja dia ...?
Sial! Kirana membuang jauh pikiran-pikiran negatif terhadap lelaki misterius itu.
***
Jam sudah menunjukkan pukul dua siang, tapi Kirana merasa seakan waktu berjalan sangat lambat. Dia masih menyesuaikan diri dengan sistem kerja tim marketing Gravira Holding, mempelajari folder-folder digital yang berisi konsep proyek properti eksklusif bernama Gravira Hills Brosur, copywriting, dan caption media sosial lama ditumpuk rapi di drive bersama. Semua terasa sangat profesional. Kirana harus terbiasa dengan tekanan kerja sama tim.
Maya sedang menjelaskan tone bahasa yang biasanya digunakan untuk materi promosi ketika notifikasi email masuk di komputer Kirana.
Dari: yudistira@graviraholding.co.id
Subjek: Kirana – Penugasan Khusus
Isi:
Temui saya di ruang meeting lantai 8, 15 menit lagi. Bawa laptop dan konsep copy lama proyek Gravira Hills. –Y
Jantung Kirana langsung berdebar membaca isi email yang dikirimkan langsung oleh Yudistira.
“Wajahmu pucat lagi,” goda Maya tanpa menoleh dari layar. “Jangan bilang kamu langsung ditegur sama Pak Yudistira di hari pertama masuk kerja.”
Kepala Kirana menggeleng pelan. “Bukan. Tapi, aku disuruh ke atas. Sekarang.”
Maya mengangkat kedua alisnya. “Wah, cepat juga naik pangkatnya. Belum juga ada satu hari kamu kerja.”
Kirana tidak tau itu semacam pujian atau sindiran, jadi yang dilakukannya hanya menanggapi dengan senyum kaku. Dia juga tidak mengerti mengapa Yudistira malah memberikan tugas pertama langsung padanya. Seharusnya pria itu memberi tau kepala timnya, kan?
***
Kirana sudah berada kembali di lantai delapan yang tujuannya kali ini adalah ruang meeting bukan ke ruangan Yudistira, meskipun tetap saja dia akan berhadapan dengan pria itu lagi.
Ruang meeting lantai delapan sangat berbeda dari ruang kerja biasa. Ruangannya kedap suara, dengan jendela kaca besar yang menampilkan pemandangan kota. Yudistira sudah duduk di ujung meja panjang, membuka file di laptopnya.
“Silakan duduk,” ujar pria itu saat menyadari jika Kirana sudah masuk ke ruangan.
Dengan gugup Kirana melangkah ke kursi seberangnya. Kemudian dia meletakkan sebuah dokumen ke atas meja. Sedikit mendorong ke depan agar lebih mudah dijangkau oleh Yudistira. “Ini file Gravira Hills yang Bapak minta.”
“Bukan ‘Bapak’. Saya belum terlalu tua untuk itu,” jawab Yudistira, masih menatap layar.
Kirana tidak menjawab. Dia menunduk, berharap pipinya tak terlalu merah.
“Marketing konten kita akhir-akhir ini terlalu, biasa dan kurang memukau. Saya butuh sesuatu yang lebih menggugah, lebih menyentuh target market. Apa kamu bisa melakukan itu?”
Kirana mengangguk pelan. “Bisa saya coba, Pak—eh, maaf, Yudistira.”
Barulah Yudistira mengangkat wajahnya, setelah tadi hanya fokus pada layar laptopnya saja. Pria itu kini menatap langsung pada lawan bicaranya. Matanya masih sama, sorot gelap, tajam, tapi tidak marah. Hanya menguji.
“Kamu tahu siapa target market kita?”
“Pasangan muda usia 30–40-an, kelas menengah atas, sebagian besar baru punya anak atau menanti anak pertama. Mereka butuh hunian dengan suasana tenang, aman, tapi tetap dekat dengan akses kota.”
Yudistira terdiam sejenak. Bibirnya terangkat sedikit. “Kamu belajar dengan sangat cepat.”
“Terima kasih.” Kirana anggap itu sebagai pujian.
“Tulis konsep copy barunya. Tagline, artikel pendek, dan satu caption IG yang bisa menarik perhatian target, begitu melihat mereka ingin langsung survei lokasi. Deadline besok jam sepuluh pagi. Langsung email ke saya, jangan lewat Maya. Paham?!”
Kirana nyaris lupa bernapas. Yudistira berbicara dengan kalimat cepat sehingga Kirana harus mendengar secara seksama, karena dia diberitahu oleh Maya jika pria itu tidak suka mengulang ucapannya.
“Baik,” jawabnya pelan.
Yudistira kembali fokus ke laptopnya. “Sudah itu saja. Kamu boleh kembali ke bawah.”
Kirana bangkit berdiri. Tapi sebelum dia sempat melangkah, Yudistira berbicara lagi.
“Dan, Kirana,” ucapnya, kali ini lebih pelan.
Kirana menoleh pada pria itu. “Ya?”
“Kamu di sini bukan karena saya kasihan padamu, atau karena masa lalu kita. Tapi karena saya percaya kamu bisa. Jadi, jangan kecewakan kepercayaan saya.”
Kirana tidak bisa menjawab. Dia hanya mengangguk, lalu buru-buru keluar dari ruangan itu, membawa satu beban baru, beban dari seorang pria yang dulu ditolak oleh keluarganya dan kini memberinya kepercayaan penuh.
Sekitar pukul setengah enam sore, Kirana baru sampai di rumah. Jarak dari kantornya ke rumah memakan waktu kurang lebih satu setengah jam. Terlalu lama di perjalanan menurutnya. Kirana berencana untuk mencari tempat kos terdekat dari kantornya saja, untuk memudahkan dirinya. Kebetulan dia juga masih memiliki sisa tabungan dari hasil kerja di kantor sebelumnya, jadi dia tidak ingin membebani orangtuanya.
Kirana bertemu dengan ayahnya yang sedang menerima panggilan telepon di ruang nonton TV, sedangkan ibunya entah kemana. Dia memilih masuk ke kamar untuk membersihkan diri, ditambah dia juga sangat lelah. Belum lagi dia punya tugas yang harus dikerjakan malam ini, mengingat jika Yudistira memintanya untuk persentasi pada jam sepuluh pagi besok. Benar-benar pria kejam, padahal dia baru saja memulai kerja, tapi pria itu sudah menganggap dirinya sama seperti pegawai senior lainnya.
“Dasar pria tak punya hati,” gerutu Kirana pada mantan kakak iparnya. “Atau, dia sengaja balas dendam?” pikirnya lagi.
Setelah mandi, Kirana keluar dari kamar untuk menikmati makan malam bersama dengan orangtuanya dan adik bungsunya, Reno.
“Bagaimana pekerjaan barunya, Rana?” tanya Hilman pada putri nomor duanya.
“Lumayan, Yah. Aku langsung dapat tim kerja, dan mulai kerja seperti yang lainnya.”
“Perusahaan properti ‘kan? Apa nama perusahaannya? Ayah lupa deh,” tanya sang ayah lagi.
“Gravira Holding, Yah.”
Hilman manggut-manggut mendengar ucapan Kirana. “Perusahan besar itu, Ran. Ayah bangga kamu berhasil masuk ke perusahaan itu. Dengar-dengar gajinya juga besar, iya kan?”
“Yeah, lumayan, Yah.”
Indah, sang ibu tampak menyimak saja percakapan antara suami dan putrinya yang baru saja memulai kerja di perusahaan baru.
“Di kontrak berapa lama, Ran?” Hilman bertanya lagi.
“Kontrak satu tahun, tapi kalau kinerja aku bagus, bisa perpanjang kontrak. Bahkan bisa jadi pegawai tetap.”
“Wah, bagus itu, Rana.” Kali ini Indah yang menimpali.
Kirana tersenyum dan kembali menyuapkan makanan ke mulutnya.
“Kamu nikah tunggu usia kamu dua puluh lima tahun, Ya, Ran. Jangan sekarang, lebih baik kamu kerja dulu, ngumpulin uang yang banyak. Dan, jangan lupa, cari suami yang setara, kalau bisa yang bagus finansial nya biar hidup kamu terjamin.”
Kirana hampir saja tersedak saat mendengar ucapan sang ayah yang tidak ada angin tidak ada hujan malah membahas pernikahan.
Indah lantas menyodorkan gelas berisi air putih pada sang anak yang tampak terkejut.
“Kenapa ayah malah bahas nikah, sih?” tanya Kirana dengan nada bete.
“Cuma ngingetin kamu saja, lho, Ran, biar kamu tidak salah pilih seperti kakakmu dulu. Nyesel kan dapat suami kere, eh, malah jadi janda. Untung saja sekarang Amira dapat ganti yang lebih baik dari si Yudi,” balas ibunya yang masih saja mengungkit pernikahan Amira yang gagal.
Mengingat itu, Kirana langsung ingat Yudistira. Bagaimana bila orangtuanya tau kalau mantan menantu yang mereka sepelekan dulu dan hingga sekarang, ternyata adalah bos di kantornya yang baru. Dia yakin ibu dan ayahnya pasti terkejut jika tau hal itu.
Jam menunjukkan pukul 22.45 WIB saat Kirana akhirnya mengirimkan email berisi revisi kampanye Aruna Cluster. Dia membaca ulang dua kali sebelum menekan send, memastikan semuanya rapi, lengkap, dan profesional.
Beberapa menit kemudian, notifikasi masuk. Balasan dari Yudistira.
“Apa pria itu tidak tidur?” pikir Kirana sembari membuka pesan email-nya.
From: yudistira@graviraholding.co.id
Subject: Re: Aruna Cluster – Final Revision
Narasinya sudah jauh lebih kuat.
Versi investor bagus, tapi yang paling mengena justru versi emosional:
“Setiap rumah bukan sekadar bangunan. Tapi tempat pulang, tempat tumbuh, dan tempat percaya.”
Kamu nulis kalimat ini dari brief, atau dari pengalaman pribadi?
Kirana terdiam saat membaca komentar Yudistira pada tugasnya. Bukan karena kalimatnya menggoda, bukan. Tapi karena terasa seperti pertanyaan dari seseorang yang ingin tahu sesuatu yang lebih dalam.
Dan itu justru yang membuat semuanya jadi rumit.
Kirana menghela napas. Mengetik balasan singkat.
To: yudistira@graviraholding.co.id
Subject: Re: Aruna Cluster – Final Revision
Saya menulisnya berdasarkan riset persona pembeli.
Tapi kalau kalimat itu terasa nyata, mungkin karena saya pernah bertanya hal yang sama:
Apa arti pulang, kalau rumah tidak pernah terasa seperti rumah?
Dia menekan send, lalu langsung menutup laptopnya.
Matanya menatap kosong pada dinding kamarnya.
Pikirannya mulai berputar—tentang pernikahan Amira yang dulu berakhir cepat. Tentang bagaimana keluarganya dulu mencemooh Yudistira karena dianggap tak punya masa depan.
Dan sekarang, pria itu muncul dalam versi yang berbeda, menjadi seorang pemimpin perusahaan sebesar Gravira Holding.
Kenapa bisa secepat itu?
Apa yang sebenarnya terjadi setelah perceraian?
Dan kenapa, Kirana semakin ingin tau siapa Yudistira sebenarnya?