Kirana melangkah masuk ke lobi gedung perkantoran Gravira Holding dengan langkah pasti. Dua hari lalu, dia berhasil lolos dari proses perekrutan yang cukup ketat, menyisihkan dua puluh pelamar lainnya. Dari semua peserta, hanya dua orang yang diterima, dan Kirana beruntung menjadi salah satunya yang berhasil lolos tes. Dan, pagi ini dia diminta datang untuk melakukan interview dan akan langsung memulai hari kerja pertama.
Kirana menghampiri meja resepsionis untuk memberi tau bahwa dia adalah calon pegawai baru di perusahaan tersebut yang diminta datang untuk interview dan akan memulai hari pertama kerja.
“Oh, yang kemarin lolos tes, ya?” tanya si petugas resepsionis.
Kirana mengangguk pelan.
“Pak Yudistira minta kamu langsung naik ke ruangannya.”
Kirana tersentak. Nama itu terdengar seperti ledakan kecil di kepalanya.
“Yudistira?” gumamnya pelan. Dia seperti tidak asing dengan nama itu.
Bukan. Sepertinya itu tidak mungkin. Dunia ini luas, tidak sempit, seperti yang dia kira. Kirana yakin ini adalah Yudistira yang lain, bukan yang dia kenal.
“Benar. Pak Yudistira Kartanegara. Beliau adalah CEO di Gravira Holding. Silakan Kakak langsung saja naik lift ke lantai delapan. Di sana sudah menunggu asisten Pak Yudistira yang akan mengarahkan kakak ke ruangan beliau.”
“Yudistira Kartanegara?” Bahkan nama belakangnya berbeda, bukan Yudistira yang dia kenal dulu.
Dengan napas yang mulai tak beraturan, Kirana mengikuti arahan resepsionis menuju lift untuk naik ke lantai delapan. Sepanjang perjalanan, pikirannya melayang pada satu nama, satu sosok yang sudah lama dikubur dalam ingatan, Yudistira, pria itu merupakan mantan suami kakaknya. Pria yang dulu dianggap tak punya masa depan dan diremehkan oleh kakak dan orangtuanya.
Pintu lift terbuka saat dia tiba di lantai delapan. Benar saja, seorang wanita berbusana formal berdiri di depan sana, memeluk iPad di lengannya, dan menyambutnya dengan senyum ramah.
“Kirana Sarasvaty?” tanya wanita cantik itu.
“Iya, benar, itu nama saya.”
“Silakan ikuti saya.”
Kirana mengangguk ragu, lalu berjalan di belakang wanita itu. Suasana kantor yang hening dan tertib membuatnya semakin sadar akan langkah kakinya sendiri. Dia melirik sekilas ke tiap kubikel, merasa seolah semua mata sedang mengamatinya. Kirana bahkan tidak melihat satu calon pegawai lain yang juga lolos seperti dirinya. Dia pikir mereka bisa datang bersama saat ini, ternyata dia sendirian. Entah di mana orang itu.
Hingga akhirnya mereka sampai di depan sebuah pintu berwarna hitam. Wanita itu, mengetuk pintu di depannya, tidak lama kemudian terdengar suara berat dari dalam ruangan yang memintanya untuk masuk.
“Silakan masuk saja, Pak Yudistira sudah menunggu di dalam,” katanya tanpa membuka pintunya.
“Oh, baik.”
“Saya akan tinggalkan kamu di sini. Selamat bergabung di Gravira Holding.” Wanita itu pergi meninggalkan Kirana di depan pintu yang masih tertutup itu.
Kirana menelan ludahnya menatap pintu di depannya. Kemudian satu tangannya terangkat untuk mengetuk pintu hitam tersebut.
Pintu ruangan terbuka otomatis saat dia mengetuk. Dan, di balik meja kayu jati yang cukup elegan itu, duduklah seorang pria dengan setelan hitam pekat, dasi gelap, dan tatapan tajam yang menghentikan napasnya sesaat.
“Silakan duduk,” ucap pria itu pelan.
Suaranya dalam. Tenang. Tapi menusuk.
Kirana membeku. Matanya menangkap garis wajah yang nyaris tak berubah, hanya kini lebih dingin. Lebih berwibawa. Dan, lebih ... menggoda. Ah, sial sekali pikirannya.
“Pak Yudistira?” Itu lebih terdengar seperti bisikan tercekik daripada sapaan formal.
Senyum tipis terbit di sudut bibir pria itu. “Lama tak bertemu, Kirana.”
Darah Kirana sontak berdesir.
Dunia memang sempit. Dan kadang, semesta terlalu iseng mempertemukan dua orang yang seharusnya tidak saling menyentuh lagi. Oh, itu terlalu berlebihan, mereka bahkan hampir tidak pernah bersentuhan dulu. Hanya saling melirik tanpa mengatakan apa-apa. Kirana jelas sangat menghormati pria itu sebagai kakak iparnya.
Tapi mengapa jantungnya bisa berdegup sekeras ini?
Yudistira menyandarkan tubuhnya ke kursi kulit hitam di belakang meja. Tangannya menyilangkan jemari, dan mata elangnya masih menatap Kirana. Terlalu dalam. Terlalu tajam. Seolah sedang membaca isi hatinya tanpa izin.
“Saya baru tau kalau kamu melamar kerja di sini,” ucap Yudistira datar, tapi ada nada terselubung di balik suaranya.
“Tapi ini bukan disengaja,” jawab Kirana cepat. “Aku bahkan enggak tau kalau ini perusahaan milik—”
“Mantan suami kakakmu?” potong Yudistira, masih dengan tatapan tenangnya.
Kirana menunduk. Pipinya mulai memanas. Entah karena malu, atau karena ada getaran lain yang tak bisa dia jelaskan. Pertemuan dengan pria itu membuat sedikit guncangan dalam dirinya. Entah mengapa.
“Kalau kamu merasa tidak nyaman,” lanjut Yudistira sambil membuka berkas di depannya, “HRD bisa bantu mutasi kamu ke cabang lain. Bahkan keluar kota, kalau kamu mau.”
Kalimat itu seharusnya melegakan. Tapi nyatanya justru menyisakan rasa asing di d**a Kirana.
“Maaf, aku sama sekali tidak masalah,” gumam Kirana akhirnya. “Selama saya bisa profesional, saya gak masalah kerja di mana aja.” Kirana mengubah gaya bicaranya menjadi formal.
Yudistira mengangkat alisnya, seolah menilai jawaban gadis itu. “Baik. Kita akan lihat sejauh mana kamu bisa tahan di sini.”
Ucapan pria itu terdengar seperti sebuah ancaman bagi Kirana. Atau, itu hanya perasaannya saja. Yudistira benar-benar terlihat sangat berbeda dari tiga tahun yang lalu. Malah, Kirana seperti tidak mengenalinya lagi, meski wajah pria itu sama sekali tidak berubah. Hanya saja sikap dan penampilannya ....
Sejenak ruangan kembali hening. Hanya terdengar suara jam dinding yang berdetak pelan. Kirana mencuri pandang, dan matanya kembali terkunci pada pria itu yang ternyata juga sedang menatapnya. Kirana tampak salah tingkah.
Sosok Yudistira yang dulu, yang tampak sederhana, yang selalu mengenakan kaus oblong dan naik motor matic seken, telah lenyap. Yang duduk di depannya kini adalah pria dewasa dengan aura yang mampu membuat napas Kirana tercekat. Pria itu, tegas, berkuasa, dan sepertinya menyimpan luka yang belum sembuh.
Dan Kirana membenci dirinya sendiri, karena sebagian dari dirinya penasaran pada luka itu.
Ingin tahu lebih jauh. Ingin tau seberapa besar pria itu memendamnya.
Kirana duduk kaku di kursi. Punggungnya lurus, tangannya terlipat di atas pangkuan. Dia menunduk sekilas, menyadari betapa bodohnya dia tidak mengecek lebih detail siapa pemilik perusahaan tempatnya melamar kerja.
“Kalau kamu serius ingin bekerja di sini,” ujar Yudistira tanpa menatapnya, matanya masih fokus pada dokumen di layar laptop, “Saya harap kamu siap untuk tidak membawa urusan pribadi ke kantor.”
“Ya, saya mengerti,” jawab Kirana cepat.
“Saya bukan orang yang suka mencampur adukkan masa lalu dengan pekerjaan.” Kembali pria itu berbicara lagi.
Ucapan itu seperti tamparan. Bukan karena nada Yudistira yang dingin, tapi karena Kirana tau, dia bukan sekadar masa lalu. Dia adalah bagian dari babak paling menyakitkan dalam hidup pria itu. Walau sebenarnya pelaku utamanya adalah Amira, kakaknya yang dengan tega mencampakkan Yudistira.
Kirana menelan ludah. “Saya juga tidak berniat membawa masa lalu ke sini.”
Akhirnya, Yudistira mendongak. Tatapan mereka bertemu. Sejenak, waktu seolah berhenti, dan hanya ada mereka yang saling menatap.
“Saya harap begitu,” balas Yudistira. Lalu senyumnya muncul. Tipis. Sulit dibaca. Dan, justru itu yang membuat Kirana semakin tidak tenang akan sikap pria itu padanya.
Dia bukan cuma atasan. Dia adalah pria yang dulu dianggap tak layak oleh keluarganya.
Dan, sekarang pria itu duduk di balik meja, memegang kendali penuh atas ruang, waktu, bahkan detak jantungnya.
“Mulai hari ini kamu akan ditempatkan di bawah Divisi Kreatif. Saya sudah minta Mbak Dena untuk mengantar kamu ke ruangannya. Kamu bisa mulai adaptasi di sana.”
Kirana mengangguk. “Baik, Pak.”
“Jangan panggil saya ‘Pak’ kalau kita sedang berdua.”
Kirana tersentak mendengar ucapan pria itu. Menatapnya, ragu. “Lalu, saya harus panggil apa?”
Yudistira hanya tersenyum, tapi tidak menjawab.
Sebelum Kirana ingin bertanya lagi, pintu ruangan terbuka. Seorang wanita yang semula mengantar Kirana masuk, kemungkinan besar wanita itu adalah Dena, yang disebut oleh Yudistira tadi.
Yudistira kembali menatap layar. “Silakan mulai bekerja, Kirana.”
Kirana berdiri, memberi salam, lalu melangkah keluar bersama Dena. Tapi sebelum pintu tertutup sepenuhnya, dia sempat menoleh ke belakang. Yudistira masih di kursinya. Tapi kini, sorot matanya menatap ke arah pintu. Ke arahnya. Menatapnya dengan sorot dingin.
Kirana yakin, ada hal yang belum selesai di antara mereka.
Dan Kirana bisa merasakannya, sejak detik pertama pria itu menyebut namanya.
Langkah Kirana terasa aneh.
Bukan karena sepatu barunya yang sedikit menyakitkan tumit, tapi karena sejak keluar dari ruangan itu, ada sesuatu dalam dirinya yang berubah.
Berdebar, tapi bukan karena takut.
Canggung, tapi bukan sekadar karena atasan baru.
Yudistira. Ya, karena pria itu.
Nama itu menggema dalam kepalanya, lebih jelas daripada briefing yang baru saja didengarnya.
“Di sini ya, ruang divisinya,” ujar Dena sambil tersenyum ramah pada Kirana.
Kirana membalas dengan anggukan dan senyum tipis, meskipun pikirannya masih tertinggal di lantai delapan. Pada sosok Yudistira yang penuh misteri.
Dia berusaha mengabaikan getaran aneh yang tiba-tiba muncul di dadanya. Berusaha berpikir logis. Itu cuma pertemuan canggung. “Wajar, dia kan mantan kakak iparmu. Pasti kikuk,” ucapnya meyakinkan diri.
Tapi suara batinnya tak semudah itu diyakinkan. Karena yang membuatnya kikuk bukan masa lalu. Melainkan sosok Yudistira yang sekarang. Pria itu jauh lebih berbeda dari yang dia kenal dulu.
Cara pria itu bicara. Cara dia memimpin ruangan dengan tenang. Cara dia menyebut namanya. Bahkan cara dia menatapnya tajam, tapi tak menyerang. Hanya, sedikit menguliti perlahan.
Kirana menarik napas panjang saat sudah duduk di meja kerjanya yang baru.
Berusaha menetralisir semuanya. Tapi bahkan hawa dingin dari AC tak bisa menyingkirkan panas yang mengendap di pipinya.
“Jangan panggil saya ‘Pak’ kalau kita sedang berdua.”
Ucapan itu kembali terngiang.
“Apa maksudnya coba? Kenapa harus begitu?”
Dan, kenapa juga dirinya tidak bisa berhenti memikirkannya?
Kirana memejamkan mata sejenak.
Ini bukan tempat untuk perasaan. Ini pekerjaan. Fokus.
Tapi jujur saja, seumur hidupnya, belum pernah dia merasa serumit ini hanya karena satu pertemuan.
Yudistira yang sekarang terlalu asing.
Tapi entah kenapa, justru itu yang membuatnya ingin mengenalnya lebih jauh.
Dan Kirana tau, sejak pintu itu tertutup, dirinya tidak sedang berurusan dengan mantan kakak iparnya. Tapi dengan pria yang bisa saja menghancurkan pertahanan terakhirnya.