Tidak bisa dipercaya.
Daniel tentunya tak menyangka akan bertemu dengan perempuan itu lagi. Lagi – lagi dalam sebuah kebetulan tak terduga. Jika dihitung bukankah ini merupakan ketiga kalinya ia bertemu dengan Helena?
Awalnya dia ingin mengabaikan pertemuan pertamanya dulu. Menganggap bahwa pertemuan itu hanyalah sebuah kebetulan belaka dari sepasang orang yang di hari yang sama dalam waktu yang tepat membutuhkan penghiburan diri.
Kala itu perempuan yang ia cintai selama bertahun - tahun menikah dengan laki – laki lain, Daniel patah tentu saja, dia menikmati secangkir wine di sebuah bar kemudian bertemu dengan Helena. Perempuan bergaun merah dengan rambut bergelombang serta tampilan make up ala wanita dewasa. Namun bedanya perempuan itu tampak kuyu, matanya sendu, jejak – jejak air mata terlihat di manik cokelatnya.
Perempuan itu mengujungi bar dalam keadaan kalud. Entah apa yang terjadi padanya, namun jelas malam itu dia menyimpan rasa frustasi yang sangat besar. Tetapi siapa yang menyangka perempuan bergaun merah itu ternyata seorang dokter.
Pertemuan keduanya ialah di rumah sakit saat mengantarkan keponakannya yang mengalami kecelakaan. Tentu saja meski dalam penampilan yang sangat berbeda, Daniel jelas masih ingat bahwa dokter yang merawat keponakannya itu merupakan perempuan yang sama yang sempat melakukan One Night Stand dengannya.
Helena namanya dan perempuan itu sangat acuh tak acuh. Penampilannya sebagai dokter benar – benar elegan, tegas seperti wanita kuat yang tidak mudah didekati. Daniel bahkan mengurungkan niatnya untuk mengenalnya hingga pada akhirnya memilih mengabaikan.
Tetapi siapa yang menyangka mereka akan bertemu lagi dan pertemuan yang ketiga ini mengingatkannya kepada sosok bergaun merah di Bar kala itu. Perempuan rapuh yang kehidupannya tampak dipenuhi masalah. Malam ini Helena persis seperti penampilannya pada pertemuan pertama.
‘Apakah ini takdir atau kebetulan?’
Daniel terdiam menatap jalanan di depannya yang nyaris tertutupi lantaran hujan yang mengguyur semakin lebat. Pria itu mengemudi dengan pelan memutar stir melewati beberapa belokan sebelum kemudian netra abu – abunya melirik sesuatu di bawah kursi sebelahnya. Refleks Daniel menghentikan kendaraan.
Itu adalah sepatu hill berwarna hitam dengan aksen mutiara. Tentunya milik perempuan itu.
Dengan kata lain Helena tadi masih bertelanjang kaki?
Sejenak Daniel merenung tetapi tak butuh waktu lama berpikir, pria itu memutar kemudi lalu berbalik arah kembali menuju ke tempat Helena berada.
***
Itu dia.
Setelah mencari - cari, Daniel menghentikan langkah dan tertegun ketika dari kejauhan dia melihat Helena yang duduk meringkuk sembari menenggelamkan wajahnya ke kedua lututnya. Gadis itu bahkan nyaris kuyup kala tempatnya berteduh tak mampu melindungi dirinya dari hujan, tetapi perempuan itu seolah tak peduli. Dan yang membuat Daniel tertegun ialah ada gemetaran kecil dari bahu gadis itu.
Perlahan Daniel mendekat. Pria itu kemudian mengulurkan payung hitamnya ke arah Helena. Melindunginya dari percikan hujan yang jatuh melalui sela – sela genting tempatnya singgah.
"Dokter~." Panggil Daniel.
"Sepatu anda tertinggal, Dokter." Ujarnya lagi sembari mengulurkan sepatu hill gadis itu ketika perlahan Helena mengangkat kepalanya_ menatapnya.
Daniel bahkan sama sekali tidak melebarkan mata saat melihat manik kelam gadis itu yang berkaca - kaca. Tidak, lebih tepatnya berlinang air mata yang disamarkan oleh air hujan yang membasahi wajahnya. Daniel seolah bisa menebak sebelumnya dan malah Helena lah yang saat ini tampak terkejut dan membeku untuk beberapa saat sebelum akhirnya ia mengusap air matanya lalu menerima sepatu hillnya.
"Terimakasih." Balasnya lirih lalu segera berdiri dari posisinya setengah gugup tentu saja. Tiba - tiba ada seorang pria datang lalu memberikan payung untuknya kemudian menyodorkan sepatunya saat dirinya sedang bersedih, tidak bisa berpikir sama sekali dan tidak menemukan solusi akan kesulitannya. Pria ini berdiri di depannya dengan payung hitamnya seperti malaikat misterius yang seolah mengirimkan sinar cerah dalam kegelapan yang sekarang ini melingkupinya.
Daniel_ begitulah nama laki - laki itu yang sempat ia ingat ketika pertemuan keduanya dulu. Helena bahkan tidak bisa menolak atau berkata apapun kala lelaki itu melepas jaket kulitnya kemudian menyelampirkannya ke bahu telanjangnya.
"Sebaiknya jangan berteduh di sini, Dokter." Kata Daniel lalu menuntun Helena pergi dari tempat itu.
***
Hujan yang mengguyur kota itu menjadi semakin deras dengan kilat yang menyambar dibarengi suara guntur yang menggelegar membuat suasana malam ini terasa begitu pas seperti suasana hatinya.
Helena berjalan sembari memeluk dirinya sendiri, merapatkan jaket kulitnya lalu mengusap - ngusap bahunya. Dingin. Dia sudah gemetaran bahkan tanpa berkaca sekalipun ia tahu bahwa kulit wajahnya sudah memutih dengan make up yang telah berantakan.
Dia yakin matanya sudah sembab dengan maskara yang luntur di sana – sini. Penampilannya sekarang pasti sangat mengerikan seperti hantu di film Corpse Bride. Tetapi ia tak peduli. Yang dia pikirkan sekarang ialah keluar dari situasi yang menyesakkan ini.
Entah apa yang laki – laki itu pikirkan saat ini, namun pria itu sama sekali tak bertanya perihal dirinya yang tadi sempat menangis tersedu – sedu. Atau jangan - jangan lelaki ini tidak menyadarinya?
Diam - diam Helena melirik Daniel yang berjalan di sampingnya. Lelaki itu yang kini menjadi basah lantaran hampir seluruh payungnya ia berikan padanya. Gadis itu kemudian tersentak ketika Daniel tiba - tiba menoleh ke arahnya.
"Ada apa?" Tanya Daniel.
"Kau.... Bukankah ini dingin? Dan kau kehujanan." Jawab Helena dengan cepat menutupi rasa malunya yang tiba - tiba terpergok diam - diam sedang memandangi laki - laki itu. Dirinya bahkan menggeser posisinya agar Daniel tidak terkena hujan.
Setelah mengatakannya dengan nada setengah ketus, Helena langsung menunduk.
Daniel tersenyum samar ketika mendapati telinga serta pipi perempuan itu yang memerah. Mungkin lebih karena kedinginan ketimbang rasa malu.
"Tidak. Kau yang lebih memerlukan ini ketimbang aku. Payung ini tidak bisa menutupi kita berdua secara penuh." Jeda sejenak, "Kecuali jika kau mau aku peluk seperti itu!"
Daniel seketika tertawa saat Helena mendongak lalu memberinya tatapan nyalang saat menunjuk sepasang pemuda pemudi yang berjalan saling merapat dan berangkulan mesra.
"Dokter, jika kau menjauh_ lebih baik ku berikan payung ini padamu saja dan biarkan aku kehujanan bagaimana?"
"Ya jika anda tidak sungkan."
Helena hendak membuka mulutnya menimpali tetapi kalimat terakhir Daniel membuatnya kembali menutup bibirnya lalu kembali bergeser ke posisi semula saat dirinya tadi diam - diam sempat ingin menjauh.
Lagipula dia juga tidak ingin kehujanan, apalagi kakinya yang terluka begitu perih karena terkena air. Diapun tidak memakai sepatu hillnya yang justru akan lebih menyakiti kakinya.
Daniel menarik sudut bibirnya. Dia kemudian menunduk memperhatikan Helena yang tadinya sempat mencoba berjalan normal tetapi lama kelamaan berjalan dengan tertatih. Baru tahu bahwa kaki gadis itu tengah terluka.
"Apa aku perlu menggendongmu, dokter?"
"Apa maksudmu?" Helena kembali menoleh dengan galak saat tawaran tak masuk akal tiba - tiba keluar dari mulut Daniel.
"Kaki anda terluka."
"Aku tidak apa - apa dan aku bukan gadis manja yang akan menangis hanya karena hal ini."
"Tetapi tadi anda menangis."
Helena tertohok. Dia diam sejenak. Tentu saja melihat kondisinya yang seperti tadi, mustahil orang tidak tahu bahwa dirinya sempat menangis tersedu - sedu.
"Itu~." Helena menggigit ujung bawah bibirnya. Tidak mungkin dirinya mengatakan yang sebenarnya sebab dirinya menangis. Apalagi pada orang asing.
"Ya, aku tadi menangis karena ini sangat sakit. Tapi aku sudah baik - baik saja. Hal ini tidak akan membuatku pincang selamanya." Imbuh Helena bohong, dan setelah itu hening. Tak ada percakapan lagi di antara keduanya sampai mereka hendak masuk ke dalam hotel lalu tiba - tiba terdengar suara memalukan yang berasal dari perut gadis itu.
Seketika pupil Helena menyusut.
Sial.
***