Bab 9. Semakin Matang

1082 Kata
Pagi itu, kantor masih lengang ketika Karin tiba lebih awal. Ia sengaja berangkat lebih cepat dari biasanya, berharap bisa menenangkan diri sebelum rutinitas dimulai. Tapi sejak semalam, pikirannya tidak bisa lepas dari pertemuannya dengan Angga. Tatapan mata lelaki itu, suaranya yang bergetar penuh luka —semuanya masih terbayang jelas. Ia menyandarkan kepala ke sandaran kursi, sejenak menutup mata rapat. 'Aku tidak kuat begini terus,' bisiknya dalam hati. Namun tak lama suara riuh mendekat, tanda para karyawan mulai berdatangan. Karin buru-buru bangkit, merapikan rambut dan blusnya. “Pagi!" Suara berat Harris justru yang Karin harus dengar pertama kali. Karin menoleh, menahan diri agar tidak menunjukkan perasaan apapun. “Selamat pagi, Pak,” jawabnya singkat. Harris melangkah ke ruangannya tanpa banyak bicara, tapi seperti biasa, suaranya kembali terdengar dari balik pintu, tegas dan tak bisa dibantah. “Karin, tolong siapkan agenda rapat dengan tim keuangan. Jam sepuluh!” “Baik, Pak!” Sudah hampir dua minggu ini, hampir setiap hari Harris melibatkan Karin dalam pekerjaan intens. Ia bukan lagi sekadar sekretaris yang mengatur jadwal, tapi juga ikut dalam rapat-rapat besar, mencatat, menyiapkan berkas, bahkan sesekali ikut bicara mewakili Harris ketika diminta. Dari luar, mungkin orang akan melihatnya sebagai kepercayaan besar. Namun bagi Karin, semua itu justru membuatnya merasa semakin terikat. Tidak ada ruang untuk mundur, tidak ada kesempatan untuk melepaskan diri. Karin mungkin sudah di tahap depresi, tapi sekuat mungkin ia tutupi dengan sikap riang dan ceria di depan teman-temannya. ** Rapat berlangsung serius. Karin duduk di sisi kanan Harris, mengetik cepat setiap poin yang dibicarakan ke laptop. Sesekali, Harris mendekatkan tubuhnya, mencondongkan kepala untuk melihat layar terang di depan Karin saat anak buahnya giliran memberikan laporan. “Nah, catat angka itu,” ujarnya, jari telunjuknya hampir menyentuh punggung tangan Karin. Karin menahan napas, tubuhnya menegang. “Ya, Pak.” Ia berusaha tetap fokus pada layar, meski setiap kedekatan seperti itu membuatnya merasa tidak nyaman. Di akhir rapat, Harris menepuk meja pelan. “Presentasi kita minggu depan harus sempurna. Karin, saya mau kamu yang susun draft awal. Saya akan periksa malam ini.” Karin menoleh cepat, terkejut. “Malam ini, Pak? Maksudnya?” “Malam ini. Saya tunggu email darimu paling lambat jam delapan.” Tatapan Harris dingin, penuh otoritas. Karin terdiam. Ia tahu itu berarti dirinya akan pulang larut dan bekerja sepanjang sore. Tapi menolak bukan pilihan. Ia hanya mengangguk kecil. “Baik, Pak.” Sore menjelang malam, kantor sudah mulai sepi. Karin masih duduk di meja kerjanya, matanya lelah menatap layar laptop. Berkas-berkas berserakan, kertas penuh coretan hasil revisi, dan cangkir kopi dingin menemani. Pintu ruang Harris terbuka, langkahnya mendekat. Lelaki itu berhenti di samping Karin, berdiri terlalu dekat hingga Karin bisa merasakan kehangatan tubuhnya. Seketika ia tercekat saat napas Harris mulai menyapa. “Bagaimana?” tanyanya pelan. Karin buru-buru menyembunyikan kegugupannya. “Sedang saya rapikan, Pak. Hampir selesai.” Harris mencondongkan tubuh, matanya menatap layar laptop di depan Karin. “Hmm … bagian ini kurang tajam. Ganti dengan grafik.” Suaranya rendah, hampir seperti bisikan di dekat telinga Karin. Karin merasakan bulu kuduknya berdiri. Ia ingin menjauh, tapi ruang sempit dan kursi yang ia duduki membuatnya terjebak. “Baik, Pak,” jawabnya singkat. Harris tidak bergeser. Ia masih berdiri di sana, menatap layar, sementara Karin mengetik dengan jari bergetar. Baru setelah beberapa menit, lelaki itu mundur. “Saya tunggu hasil akhirnya,” katanya singkat, lalu kembali masuk ke ruangannya. Karin menghela napas panjang, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berpacu. 'Aku tidak boleh lemah. Aku harus tahan. Beberapa waktu kemudian, setelah menyerahkan laporan via email, Karin langsung pulang dengan tubuh yang hampir rontok. Ia menjatuhkan diri di kasur, tapi matanya tetap terbuka menatap langit-langit. Bayangan Angga kembali menghampiri. Bagaimana lelaki itu menatapnya dengan penuh cinta dan kesedihan. Bagaimana suaranya bergetar, memohon agar Karin tidak meninggalkannya. Air mata Karin menetes tanpa bisa ia cegah. "Maaf, Ga," bisiknya lirih. “Aku tidak bisa mengatakan apa pun padamu.” Karin membalik tubuh, lalu menarik selimut hingga menutupi wajah. Malam itu —menurutnya, tidur terasa mustahil. Tapi, lelah karena tugas lembur yang Harris berikan, nyatanya mampu membuat dengkuran halus hadir tak lama kemudian, mengiringi mimpinya. ** Hari-hari berikutnya, Harris semakin intens melibatkan Karin. Ia mengajaknya menghadiri jamuan makan dengan klien di hotel bintang lima. Karin yang biasanya hanya duduk mencatat kini harus ikut berbicara, bahkan diminta menjawab beberapa pertanyaan ringan. “Sekretaris saya ini sangat teliti,” ujar Harris suatu kali sambil menatap Karin. Senyum tipisnya seolah biasa saja, tapi bagi Karin, itu seperti bentuk penguasaan yang ingin dipamerkan. “Tanpa dia, pekerjaan saya pasti berantakan.” Karin hanya bisa tersenyum kaku, meski hatinya memberontak. Baginya, pujian itu lebih terasa seperti belenggu dan penuh kepura-puraan. Di perjalanan pulang, Karin duduk di kursi samping pengemudi sementara Harris menyetir. Hening memenuhi mobil, hingga Harris tiba-tiba berbicara. “Kamu terlihat murung akhir-akhir ini.” Karin menoleh cepat, kaget. Lelaki itu jarang sekali menyinggung hal pribadi. “Tidak, Pak. Saya baik-baik saja,” jawabnya sembari menahan kesal. 'Setelah beberapa lama dia tidak peduli padaku, kenapa sekarang harus ada perhatian yang diberikan?' batin Karin bertanya. Harris tersenyum samar, tapi matanya tidak lepas dari jalan. “Kalau ada masalah, kamu bisa bilang. Bukankah sudah seharusnya sekretaris dan bos saling percaya?” Karin terdiam. Kata-kata itu terdengar seperti jebakan. Ia tidak tahu harus menjawab apa, jadi ia hanya menunduk, pura-pura sibuk dengan ponselnya. Harris meliriknya sekilas, lalu tersenyum tipis. Ia tahu Karin sedang berusaha menjaga jarak, tapi ia juga tahu semakin lama, jarak itu akan semakin sulit dipertahankan. 'Aku tak akan mungkin membiarkan rencana yang sudah kubuat matang, hancur begitu saja,' batin Harris, penuh optimis. Setelah kembali ke rumah, Karin menatap pantulan wajahnya di cermin. Wajah pucat, mata bengkak karena kurang tidur, dan sorot lelah yang tak bisa disembunyikan. “Apa aku kuat bila terus begini?” gumamnya pada diri sendiri. Namun di sudut pikirannya, ada ketakutan lain. Ia tahu Harris tidak akan berhenti. Lelaki itu selalu punya cara untuk membuatnya tetap terikat, tetap berada di dekatnya. Meski Karin tidak tahu apa alasan lelaki itu menahannya. Sedangkan di luar sana, ada Angga yang terus menunggu jawaban. Lelaki yang tulus mencintainya, tapi ia tak sanggup memberi penjelasan. Karin menutup mata rapat, air matanya kembali jatuh. Ia seperti terjebak di dua dunia—antara cinta yang ia tinggalkan dan belenggu yang tak bisa ia lepaskan. Saat sang sekretaris mengumpat namanya berkali-kali, Harris tengah menatap laporan keuangan sambil menyesap anggur merah. Wajahnya tenang, bahkan puas. Ia tahu, perlahan tapi pasti, Karin makin sulit keluar dari kuasanya. Dan itu berarti, langkah menuju kehancuran Angga semakin dekat. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN