Bab 1. Terenggut

1995 Kata
Sedikit kesusahan sebab tubuhnya yang kalah jauh dibanding sang pria, seorang gadis terlihat masih berusaha memapah tubuh seorang pria yang tak lain adalah atasannya. Ia berjalan menuju tempat tidur dengan tenaga yang kini seolah sudah hampir habis. Gadis itu bernama Karin Sandara dan si pria adalah Harris Kusuma. Karin yang menjabat sebagai sekretaris Harris, memang baru tiga bulan bekerja di perusahaan keluarga milik pria itu. Ia yang sebelumnya bertugas di bagian staf humas, kemudian dipindah tugaskan untuk mengisi bagian sekretaris yang kosong. Sekretaris sebelumnya mengundurkan diri karena akan melahirkan. Kehamilannya yang sudah besar memaksa wanita itu berhenti dari pekerjaannya sebagai sekretaris Harris. Sayang, ilmu yang sudah dimiliki ketika menjabat sebagai staf wanita yang begitu mengerti dan memahami Harris, belum sempat diturunkan kepada Karin, si sekretaris baru. Alhasil, gadis itu harus belajar sendiri mengenal pribadi sang direktur. Karin memang baru mulai beradaptasi dengan atasan barunya itu. Sebab itulah ia masih belum terlalu hapal mengenai apapun yang berhubungan dengan lelaki tampan tersebut. Seperti saat ini, di mana keduanya baru saja pulang dari acara ulang tahun salah satu kolega keluarga Kusuma, siapa sangka bila sifat jahil yang dimiliki para rekan sesama eksekutif muda tersebut, membuat Harris harus pulang dalam keadaan mabuk. Sehingga membuat Karin harus mengantar sang atasan dengan mengendari mobil sedan mewah milik pria itu. Besarnya apartemen yang Harris miliki, membuat Karin harus mengeluarkan tenaga ekstra agar tubuh besar dan gagah itu bisa segera dibaringkan di ranjangnya yang terletak di lantai dua. 'Mengapa apartemen sebesar ini tidak ada pembantu yang bekerja?' gumam Karin kesal. Masih berjalan menuntun meski mulut terus bicara. "Anda seharusnya tidak usah minum kalau tidak kuat. Bagaimana seandainya saya tidak ikut bersama Anda? mungkin mobil yang Anda kendarai akan mengalami kecelakaan sebab supirnya yang tidak sadarkan diri." Masih saja Karin melampiaskan kekesalannya pada sang atasan. "Itulah mengapa kamu harus ikut bersamaku kemana pun aku pergi. Karena tugas dan kewajiban sekretaris adalah itu," sela Harris meracau dengan tubuhnya yang sedikit oleng. 'Huh! Andai saja aku masih menjadi staf humas biasa, mungkin aku tidak akan berada di situasi ini.' Karin terus bergumam tanpa mempedulikan racauan yang keluar dari mulut Harris. Setelah sekian lama, akhirnya Karin berhasil membawa atasannya itu sampai ke sebuah ruangan yang cukup luas. Membaringkan Harris dan kemudian pergi, begitu rencana yang ada di pikirannya. Tapi, saat ia hendak berbalik tiba-tiba Harris menahan pergelangan tangannya. "Kamu mau ke mana, Sayang?" tanya Harris, yang sepertinya semakin tidak sadar. "Maaf, Pak Harris, saya permisi pulang. Tugas saya sudah selesai sampai di sini." Karin menjawab dengan tegas. "Kenapa buru-buru sekali? Bukankah kita bisa menikmati waktu malam ini dengan bersenang-senang? Hiks!" ucap Harris, diakhiri cegukan. "Maaf, Pak, tidak bisa. Ini sudah larut malam. Saya harus pulang!" Karin sudah mulai terlihat kesal. Ia mencoba melepaskan pegangan Harris pada lengannya. Namun bukannya terlepas, tangan lelaki itu malah terasa semakin kuat mencengkram. "Jangan begitu, kita bersenang-senanglah dulu, Thalia." Baiklah, sang atasan benar-benar tak sadar. Laki-laki itu mengira jika gadis yang ada di kamarnya adalah, Thalia, kekasihnya. "Pak Harris, tolong lepaskan. Saya Karin bukan Thalia, kekasih Anda." Ya, baru informasi itu yang Karin tahu kalau Harris memiliki kekasih. Itu juga karena seringnya si gadis seksi itu datang ke kantor saat semua orang tengah sibuk bekerja. "Hei! Kamu becanda, Sayang. Bagaimana bisa kamu berbohong padaku." Harris terkekeh dan berbicara semakin tak jelas. Laki-laki itu kini malah beranjak dari posisinya berbaring tadi, lantas duduk menghadap sang sekretaris. "Ayolah, kita bersenang-senang dulu. Mengapa kamu selalu saja menolak ku? Padahal aku sering memberimu uang, tetapi sekalipun kamu tidak pernah mau kalau aku ajak bercinta. Aku bosan kalau hanya menciummu terus seperti ini!" Karin yang sedang diam ketika sang atasan terus mengoceh membicarakan kekasihnya, tak menduga ketika Harris menarik tangannya dan mendaratkan bibir di atas bibirnya. Begitu sadar, gadis itu pun melawan. Tapi, tenaganya kalah saat Harris menempelkan bibirnya begitu rapat. Karin pun terus memberontak karena sekarang atasannya itu berlaku semakin liar. 'Ciuman pertamaku,' batin Karin sedih. "Pak, Anda sedang mabuk. Saya minta jangan lakukan hal ini." Karin mencoba memohon setelah berhasil menjauhkan diri dari sikap agresif Harris. Karin gemetaran sebab lelaki itu tiba-tiba berubah sikap. Dari yang tengah mabuk tak berdaya, kini berubah menjadi sosok yang menakutkan. Sayangnya semua daya dan upaya Karin harus berakhir dengan terenggutnya kehormatan yang selama ini ia jaga. Ia hanya bisa menangis dan terus menangis setelahnya. Sedangkan Harris, tubuhnya ambruk seketika. Karin yang sudah letih ikut terbaring dan tertidur dengan wajah yang sembab oleh air mata. *** Karin terbangun lebih dulu seiring dengkuran halus yang terdengar dari lelaki di sebelahnya yang masih tertidur. Jam menunjukkan pukul empat pagi ketika gadis itu memutuskan untuk bangun. Karin pun beranjak dari tempat tidur dengan kondisi tubuhnya yang seolah remuk, berusaha bangkit untuk kemudian mengambil pakaiannya yang tercecer di lantai. Gadis itu pun memakai seluruh pakaiannya diiringi rintih kesakitan yang terasa di beberapa area sensitif, terutama kewanitaannya. Air mata sudah mengering meski rasa sakit masih nyata terasa pada raga juga jiwanya. Setelah selesai, Karin beranjak pergi dari kamar sang direktur. Keluar dari apartemen yang luas dengan hati yang tercabik karena peristiwa semalam. Di lobi apartemen dengan diiringi tatapan dari salah seorang security yang bertugas, Karin berjalan hendak keluar area pelataran gedung tinggi tersebut. "Mbak Karin!" sapa si petugas yang berjalan mendekat begitu langkah kaki gadis itu sudah akan meninggalkan gedung. "I—iya, Pak Feri!" jawab Karin dengan senyumnya yang canggung. "Pagi-pagi sekali sudah mau pergi. Apa tidak menunggu suasana terang sedikit?" "Eh, i—iya, Pak. Saya harus buru-buru pulang." "Oh gitu. Baiklah. Apakah ada yang bisa saya bantu?" tanya security itu menawarkan diri. "Eh," lirih Karin sembari berpikir. "Apakah Bapak bisa panggilkan saya taksi. Sepertinya ponsel saya tertinggal di apartemen Pak Harris. Tak enak bila harus kembali lagi. Khawatir membangunkan beliau yang sedang istirahat." "Oh, bisa ... bisa. Sebentar saya carikan." Petugas itu pun kembali ke meja resepsionis dan meraih gagang telepon untuk menghubungi agen taksi yang sudah menjadi langganan para penghuni apartemen. Terlihat dari posisi Karin berdiri, lelaki itu berbicara dengan begitu serius. Tak lama, percakapan itu pun selesai dan si petugas kembali berjalan menghampirinya. "Sudah, Mbak. Silakan ditunggu saja di lobi. Nanti kalau sudah datang saya beri tahu." "Eh iya, Pak Feri. Terima kasih, ya?" "Sama-sama, Mbak." Gadis itu pun berjalan menuju area lobi, mendudukkan bokongnya dan menyandarkan punggung ke sandaran sofa serta menengadahkan kepala ke atas. Ia lelah, sangat lelah. Tak ingin kembali mengingat peristiwa semalam, tetapi seolah sulit sebab rasa nyeri yang masih terasa di sekujur tubuhnya. Petugas security itu masih terus memperhatikan Karin, seperti menyadari ada yang tidak beres dengan gadis muda di depannya. Lelaki itu berniat ingin membantu. Tapi, ia khawatir akan membuat tersinggung. 'Entah apa yang terjadi di atas sana?' batin si petugas keamanan apartemen. Yang lelaki itu tahu, semalam Harris turun dari mobilnya dalam keadaan mabuk. Pengusaha itu dibantu oleh sang sekretatis dengan sedikit kesusahan. Ia sempat menolong Karin dengan membawa Harris ke unit apartemennya. Namun, sebab satu buah panggilan penting, membuat petugas itu hanya membantu sampai depan pintu apartemen saja. Sisanya memang Karin yang membawa sang atasan masuk ke dalam sendirian. Suara klakson dari sebuah taksi mengagetkan Feri. Lelaki itu pun berjalan menghampiri Karin. "Mbak Karin, taksinya sudah datang." Hari memberitahu gadis tersebut. "Oh iya, Pak." Karin yang terkejut, kemudian beranjak dari posisinya. Berjalan dengan diikuti petugas security di belakang langkahnya, Karin menghampiri taksi yang sudah terparkir di pelataran gedung kemudian masuk ke dalam mobil. "Pak Feri terima kasih bantuannya. Saya pulang dulu." "Iya, Mbak, hati-hati." Gadis itu pun mengangguk. Kemudian taksi melaju meninggalkan gedung apartemen menuju jalan raya, meninggalkan rasa sakit yang Karin rasakan semalam. Enggan menatap ke belakang, tak kuat jika bayangan itu kembali menari di pelupuk matanya. *** Di waktu yang berbeda, Harris terbangun ketika jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Ia berusaha sekali membuka matanya yang terasa berat serta tubuh yang amat letih dan juga lengket. Selain itu, rasa pening di kepala sisa mabuk semalam pun masih menyapa. Lelaki itu menggeliatkan tangan dan tubuhnya. Menguap sebagai tanda jika rasa kantuk belum sepenuhnya hilang. Ketika tangan yang ia rentangkan itu belum kembali ke posisinya, sudut mata Harris tak sengaja menatap ke sebuah titik besar berwarna merah, tercetak nyata di sprei putih yang menutupi kasur. 'Noda apa ini?' gumamnya, kemudian mendekat dan memperhatikan. "Apakah ini darah?" lirihnya pelan sembari mengusap kain sprei itu. "Kering. Iya, ini darah. Tapi, darah apa dan siapa?" Harris bergumam sembari mengamati seluruh tubuhnya yang ... polos? "Apa? Bagaimana bisa aku tak berpakaian seperti ini?" Lelaki itu pun mencoba mengingat memorinya semalam. Diawali ketika ia tengah merayakan pesta ulang tahun kawan satu profesi ditemani sekretarisnya, Karin. Kemudian beberapa dari kawannya itu memaksa ia meminum alkohol. Saat itu, Harris sudah menolak. Ia menyadari jika dirinya tak pernah kuat dalam urusan minum minuman seperti itu —kawan-kawannya pun tahu. Namun, atas rasa solidaritasnya yang tinggi terhadap kawan juga berusaha menghormati Juan —kawannya yang sedang berulang tahun, ia pun menenggak minuman itu. Sebenarnya ia tidak meminum sampai berbotol-botol seperti kawannya yang lain. Tapi, karena ia memang payah, tak lama mabuk itu pun menyerang. Harris masih ingat ketika Karin membawanya pulang. Dengan kekuatannya sebagai seorang wanita, Karin berusaha memapahnya berjalan dari dalam mobil ke apartemen. Lelaki itu juga ingat ketika salah seorang petugas keamanan membantu sang sekretaris membawanya ke unit apartemen miliknya. Namun, begitu ia sampai di dalam kamar, samar ingatannya mengenai kejadian setelah itu. Yang ia ingat, tiba-tiba sosok Thalia —sang kekasih, ada di dalam kamarnya. Lantas, rasa panas di dalam tubuhnya menyerang begitu cepat, membuat ia akhirnya menerjang secara paksa tubuh seksi itu. "Apa?!" pekik Harris, yang seketika ingat jika semalam ia sudah bercinta dengan seorang perempuan. Mengingat tubuh yang polos dan bercak darah yang tercetak di atas sprei, lelaki itu semakin yakin. Tapi, benarkah Thalia yang sudah ia ajak bercinta? "Tidak mungkin! Aku semalam bersama dengan Karin, sekretarisku. Benarkah gadis itu? Lalu kemana ia sekarang?" Alan terus bicara sendiri. Lelaki itu kemudian turun dari tempat tidur dan mengenakan celana dalamnya yang ada di lantai. Begitu ia hendak mengambil celana panjang dan kemeja kerja yang tercecer berantakan, matanya melihat sebuah benda pipih tergeletak di sana. "Handphone? Ini pasti miliknya." Ya, Harris tentu tahu ponsel yang sering kali Karin gunakan ketika sedang bekerja. Apalagi ponsel itu Harris berikan ketika pertama kali gadis itu menjabat sebagai sekretarisnya. Harris kemudian mengambil ponsel pintar tersebut dan hendak menyalakannya. Namun, belum juga ia lakukan tiba-tiba terdengar nada dering telepon yang berasal dari ponselnya sendiri. Harris mencari ponsel miliknya yang ia masih berada di saku jasnya. Jas hitam yang tergeletak di sofa terus mengeluarkan suara berisik, sampai akhirnya Harris hentikan dengan menerima panggilan dari salah satu kawannya. "Ya, Rik?" sapa Harris yang mengetahui jika Erik yang menghubunginya. "Kau baru bangun?" tanya lelaki bernama Erik di seberang panggilan. "Eh, ya, aku baru bangun. Kepalaku serasa mau pecah asal kamu tahu. Entah minuman apa yang kalian berikan padaku semalam, sampai sekarang rasa pening ini belum juga hilang." Bukan merespon, Erik malah tertawa terbahak-bahak. "Kenapa kamu tertawa? Bukannya simpati, kamu malah meledekku." "Kau tahu, Juan memasukkan obat ke dalam minumanmu." "Apa? Jangan becanda kamu?" "Untuk apa aku bohong?" kekeh Erik berasa tak enak hati. "Sial! Pantas saja aku bisa lepas kontrol. Mereka memang kurang ajar. Becanda tidak tahu aturan." Harris mengumpat setelah memutuskan sambungan telepon itu secara sepihak. 'Aku telah menodainya.' Kembali Harris bergumam. Keisengan yang kawannya lakukan telah membuatnya menjadi penjahat kelam*n. Di tengah kegundahan hati dan pikiran yang sudah membuat seorang gadis kehilangan keperawanannya, Harris iseng menyalakan ponsel milik Karin. Berharap mendapatkan petunjuk alamat rumah atau pun identitas diri gadis itu. Namun, saat Harris membuka galeri, ia pun dibuat terkejut saat melihat sebuah gambar yang ada di ponsel tersebut. Banyak poto yang menampilkan kemesraan sang gadis bersama seorang lelaki yang sangat Harris kenal. "Angga?" gumamnya. Mengingat akan gambar yang begitu mesra antara Karin dan lelaki di dalam gambar, tiba-tiba seringai licik hadir di bibirnya. "Sepertinya permainan seru baru saja dimulai," ucap Harris tiba-tiba. Apakah yang ada di dalam pikiran Harris saat ini? Lantas, siapakah sosok Angga yang berpose begitu mesra bersama Karin? Apa hubungan gadis itu dengan si pria? Lalu, bagaimana bisa Harris mengenalnya? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN