Sepanjang akhir pekan Harris hanya berdiam diri di apartemen. Sore harinya, ia tampak berbaring santai di tepi kolam renang setelah selesai menyelesaikan kegiatan berenang seperti biasanya.
Di tangan Harris sudah ada ponsel milik Karin yang tertinggal semalam. Fitur galeri masih menjadi pusat perhatiannya sebab gambar seorang lelaki yang terlihat tersenyum sembari merangkul pundak Karin.
"Angga Wijaya," ucapnya pelan.
Seulas senyum terpampang di wajahnya. Ujung bibir terangkat tatkala membayangkan rencana besar apa yang tengah otaknya pikirkan.
"Sepertinya Tuhan sengaja membuatku menunggu selama ini untuk satu kesempatan yang sangat luar biasa."
Bayangan masa lalu menari-nari di pelupuk mata Harris. Sepuluh tahun lalu telah terjadi satu peristiwa besar yang membuat seorang Harris kemudian membenci lelaki yang ada di dalam gambar tersebut. Satu peristiwa yang membuatnya berjanji akan membalaskan dendam atas apa yang sudah lelaki itu perbuat terhadapnya.
"Karin, ia harus terlibat dalam rencana balas dendamku."
Saat Harris kembali mengingat peristiwa lampau yang pernah mengisi kehidupannya, dua orang pria hadir berjalan ke area kolam renang, yang kemudian menghampirinya.
"Aku menghubungimu dari tadi, tapi tidak ada respon," ucap salah seorang dari pria tersebut seraya melepas kaca mata berwarna hitam miliknya.
Harris tampak tak peduli. Ia malah melengos ketika pria itu duduk di sebelah bangkunya.
Pria itu bernama Juan, teman Harris yang semalam ulang tahun, sekaligus penyebab peristiwa tak mengenakan yang Harris lakukan terhadap sekretarisnya, Karin.
Juan menoleh pada kawan yang ikut bersamanya. Ia tersenyum sebab tahu jika saat ini Harris sedang kesal karena kejadian semalam.
"Apa aku tidak salah lihat? Seorang Harris kesal karena pulang dalam keadaan mabuk?" kekeh Juan sama sekali tidak khawatir akan kekesalan sang kawan.
Sontak Harris pun menatap ke arah Juan. "Becandamu kelewatan!" sahutnya dengan nada tinggi.
"Oh, ya? Memang wanita dari klub mana yang kali ini jadi korban one night stand-mu? Tidak mungkin Thalia. Karena feeling-ku dia masih belum mau kamu jamah," balas Juan masih dengan nada becanda.
Harris semakin terlihat kesal. Juan benar-benar mengejeknya.
Sikap Harris yang terlihat menahan amarah, membuat pria di sebelah Juan, yang tak lain adalah Erik, turut tertawa melihatnya.
"Aku bersumpah, tidak ada yang lucu kali ini!" tukas Harris dengan napas menggebu. "Asal kalian tahu, semalam aku tidak melampiaskan hasratku pada wanita dari klub manapun," lanjutnya sembari menatap satu per satu kawannya.
Juan dan Erik saling memandang, masih tertawa. Tapi, kali ini tawa mereka terlihat heran dan tak percaya.
"Kau sungguh bisa menahannya?" tanya Erik yang merasa jika itu sangat tidak masuk akal. Seorang Harris, yang doyan bermain perempuan meski sudah memiliki kekasih cantik, bisa mengontrol hawa napsunya untuk tidak mencari pelampiasan?
Harris menarik napas begitu dalam, lalu melepasnya seolah ingin membuang beban yang membuat kedua pundaknya berat.
Lelaki itu kemudian menggeleng. "Aku melakukannya pada Karin, dan dia ... masih perawan."
"What! Apa kau sudah gila?" Juan dan Erik berseru kompak. Keduanya kaget bukan main.
Di sepanjang sejarah pekerjaan mereka, seolah ada peraturan tak tertulis di mana jangan mencampuri urusan pekerjaan dengan urusan pribadi. Termasuk untuk tidak bermain dengan klien apalagi karyawan sendiri.
"Reaksi kalian sangat berlebihan. Padahal kalian adalah penyebab semuanya. Sampai-sampai sekretarisku harus terlibat dalam keisengan yang kalian buat!" Harris tampak marah, tak terima dengan reaksi kedua kawannya yang seolah-olah memandang dirinya sebagai seorang bos yang jahat.
"Tapi, tidak dengan sekretarismu juga, Har!" seru Juan kali ini merasa bersalah. Erik mengangguk setuju.
"Mana aku tahu. Entah berapa dosis yang ada di dalam obat yang kamu masukkan itu. Sampai-sampai aku melihat sosok Thalia di dalam diri Karin." Harris melempar pandangannya ke arah ponsel di tangannya. Meski kesal pada kedua kawannya, tapi jujur saja Harris merasa bersyukur karena dendamnya akan segera terbalaskan.
Juan dan Erik tak lagi bicara. Mereka sepertinya tak mau membuat Harris semakin marah. Sudah cukup bagi mereka menjadi penyebab seorang gadis bernama Karin ternoda sekaligus kehilangan keperawanannya.
'Tapi, bagaimana bisa?' batin Juan masih tak terima dengan fakta yang terjadi. 'Bagaimana bisa Karin berubah menjadi Thalia.'
"Apakah kau begitu terobsesi pada Thalia?"
Pertanyaan Juan membuat Harris mendelik. "Apa pertanyaanmu tidak salah? Thalia kekasihku. Mana mungkin aku tidak terobsesi padanya." Harris menyahut kesal.
"Ya, kau benar. Aku yang salah," kata Juan mengakui kesalahannya. Bayangan akan sosok Thalia muncul di benaknya. Gadis cantik itu memang patut untuk dicintai oleh lelaki manapun termasuk Harris, pacarnya. Namun, ketika gadis itu tak mau disentuh, hingga membuat Harris kagum sekaligus kesal, membuat bibir Juan gatal ingin mengungkapkan fakta sebenarnya.
'Biarkan saja. Nanti dia akan tahu sendiri,' batin lelaki itu akhirnya.
Beberapa detik berlalu hingga Harris mengatakan sesuatu tentang lelaki yang ada di dalam poto, yang kedua kawannya belum sadari.
"Ngomong-ngomong dendam lamaku akan segera terbalas."
Juan dan Erik kompak memandang Harris. "Dendam pada siapa?" tanya salah satu dari mereka.
Perlahan Harris menunjukkan ponsel milik Karin pada kedua kawannya. Erik yang mengambil benda pipih tersebut, lalu melihat gambar yang Harris tunjukkan bersama Juan.
"Angga Wijaya?" tanya Erik melirik Juan, kemudian Harris.
Lelaki itu mengangguk. "Kawan lama yang sudah berkhianat," katanya dengan mata penuh kebencian.
Di tempat lain, seorang pria yang sudah sejak siang mengetuk kamar kekasihnya, tampak putus asa setelah seorang wanita paruh baya mendekatinya sembari membawa cangkir kopi —entah yang keberapa.
"Sepertinya Karin memang tak mau diganggu." Wanita yang tak lain adalah ibunya Karin, berkata sembari meletakkan cangkir ke atas meja bersama sepiring kue buatannya.
Kekasih Karin yang bernama Angga itu kemudian duduk setelah diajak Bu Rani, calon ibu mertuanya tersebut.
"Diminum kopinya," ucap Bu Rani pada Angga.
"Memang Karin pulang sama siapa tadi pagi, Bu?" Angga menyahut tanpa mempedulikan cangkir kopi yang sejak tadi menemani kekhawatirannya.
"Sendiri. Naik taksi."
Angga mendesah kesal. "Kenapa bisa sampai pagi, biasanya paling malam jam satu juga sudah pulang."
Bu Rani menggeleng. "Ibu juga tidak tahu. Ibu hanya melihat taksi yang mengantarnya setelah Karin masuk kamar."
"Memang Ibu tidak sempat bertemu atau bertanya pada Karin?" tanya Angga yang merasa cemas terhadap kondisi kekasihnya itu.
Bu Rani kembali menggeleng. "Karin 'kan punya kunci sendiri. Jadi, ia tidak pernah mengganggu orang rumah kalau pulang sampai larut. Kebetulan Ibu mendengar suara pintu kamar Karin tertutup setelah dari dapur. Sebelumnya Ibu pikir Karin sudah pulang dari malam."
Bukan hanya Angga, sebetulnya Bu Rani juga merasa khawatir demi melihat sikap sang putri yang tiba-tiba enggan keluar kamar meskipun sang pacar datang untuk menemuinya. Namun, sikapnya lebih tenang sebab tak ingin membuat pemuda di depannya itu semakin cemas.
"Pesan saya juga enggak dibalas sejak pagi," kata Angga bingung.
Sejenak keduanya diam. Tak lama, Angga berpikir untuk mendobrak pintu kamar Karin.
"Kita tidak tahu apa yang terjadi pada Karin 'kan, Bu? Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengannya?"
Bu Rani tersenyum demi melihat raut cemas pada wajah pemuda di depannya.
"Karin sudah merespon kalau dia baik-baik saja. Mungkin memang Karin sedang ada masalah di kantor dan tak mau diganggu oleh siapapun."
"Termasuk aku?" Angga tampak tak terima. Tak pernah Karin menolaknya, apalagi mengabaikan kedatangannya. Tapi, sekarang? Ini sungguh tak masuk akal, pikirnya
"Ya, termasuk kamu, Nak Angga."
***