Bab 3. Menyambangi

1158 Kata
Pelataran lobi di sebuah gedung pencakar langit yang berdiri megah di pusat kota di pagi hari, tampak ramai dengan para pekerja yang berlalu lalang. Mereka terlihat sibuk, berjalan cepat seolah khawatir datang terlambat. Matahari memang terlihat sudah meninggi. Menggantung di langit dengan warna kuning keemasan yang cukup mampu menghangatkan tubuh. Di dalam gedung tersebut, di salah satu ruangan dengan papan nama bertuliskan Chief Executive Officer, tampak seorang pria tengah duduk mengamati layar laptop di depannya. Sudah setengah jam yang lalu ia datang, tapi selama itu pula sekretarisnya belum muncul dan menyapa seperti biasa. Sesekali pria itu melihat jam di pergelangan tangannya. Melihat jarum jam yang menunjuk ke angka delapan tepat —dia menunggu. "Apakah dia tidak akan masuk kantor hari ini?" kata pria itu —yang tak lain adalah Harris, sembari melihat pintu yang masih berdiri kokoh, tak bergerak atau berderit. Harris yang biasanya datang jam delapan, kini datang lebih awal demi ingin melihat sosok Karin, sekretarisnya. Tentu, setelah apa yang terjadi pada mereka di apartemennya beberapa hari lalu. Namun, hingga masuk jam makan siang Karin tak juga datang. Hal tersebut membuat Harris resah, hingga akhirnya memutuskan untuk melakukan sesuatu. "Siapkan mobil!" Harris memberi perintah pada supir pribadinya seraya menuruni lift menuju lantai bawah. Di pelataran gedung, mobil Harris bersama sang supir sudah siap menunggu. Pria paruh baya yang sudah bekerja dengan keluarga Kusuma itu membuka pintu belakang mobil saat Harris semakin mendekat. Namun, saat mobil sudah akan melaju, tiba-tiba ada seorang wanita yang menghadang mobil Harris. "Harris, tunggu! Kamu mau kemana?" tanya si wanita dengan suara kencang, membuat beberapa orang menengok ke arah mereka. Harris membuka kaca mobil. "Aku harus pergi." "Kok pergi? Kamu 'kan janji mau makan siang sama aku?" Wanita bernama Thalia itu tampak kesal. Tapi, sepertinya Harris tak peduli. "Kita bisa makan siang di lain waktu. Urusanku kali ini sangat penting." "Kamu udah dua kali batalin janji, Har. Masa batal lagi." "Iya, maaf. Tapi, aku benar-benar harus pergi," jawab Harris. "Pak, jalan!" katanya ke sang supir. "Nanti aku kabari kamu lagi." Harris berkata seiring mobil yang mulai melaju meninggalkan tempat. "Harris! Harris! Tunggu!" seru Thalia yang sempat memukul body belakang mobil. Namun, Harris tak bergeming. Mobil tetap melaju, mengaspal ke jalan raya. "Sial! Mau kemana sih dia?" kata Thalia sembari mengambil ponsel dari dalam tasnya. "Halo, Ghea!" sapa Thalia saat panggilannya diterima oleh seseorang. "Iya, Bu Thalia!" jawab seorang perempuan di seberang panggilan. "Kamu tahu Harris pergi kemana?" "Tadi Pak Harris bilang mau pergi makan." "Makan di mana?" "Maaf, Bu Thalia, saya tidak tahu. Bapak tidak bilang mau makan di mana." Thalia berdecak kesal. Tanpa mengucapkan kalimat apapun, wanita itu langsung memutuskan panggilan. Di tempat lain, Harris yang berada di dalam mobil, dikejutkan dengan panggilan masuk ke ponsel milik Karin yang ada di genggamannya. Nama Angga tertera di layar. Seringai hadir di bibir Harris saat membaca nama lelaki itu. Hatinya mengatakan untuk menerima panggilan tersebut, tapi hal itu ia urungkan dan memilih untuk mendiamkan bunyi panggilan yang pada akhirnya berhenti setelah beberapa saat. Tak lama sebuah notifikasi pesan masuk. Iseng Harris membuka pesan tersebut. Rupanya sosok Angga yang tak lain adalah kekasih Karin, mengirim pesan setelah panggilannya diabaikan. "Kenapa sejak kemarin panggilanku tidak kamu respon, Rin? Apa yang membuatmu bersikap seperti ini? Apa salahku juga sampai kamu memutuskan hubungan kita? Kita perlu bicara. Ayolah, terima panggilanku." Harris membaca pesan tersebut berkali-kali, sampai ia yakin bahwa dirinya tak salah membaca dan menanggapi maksud dari pesan tersebut. 'Jadi, mereka putus? Benarkah?' batin Harris senang. "Tapi, aku belum melakukan apapun. Ini terlalu cepat," kata Harris seketika perasaannya berubah. Ponsel kembali berbunyi. Sebuah pesan kembali masuk. "Kamu cuma membacanya tanpa membalas. Apakah kamu benar-benar sengaja mengujiku, Rin? Please, angkat teleponnya. Atau minimal balas pesanku." Tanpa sadar Harris tersenyum. 'Mengapa ada lelaki yang mencintai pacarnya sebegitu dalamnya.' "Apa bahasa anak-anak zaman sekarang? Bucin?" gumam Harris tanpa sadar tertawa. Harris merasa geli dan aneh. Membayangkan ada lelaki yang bisa bertekuk lutut pada wanita seperti Angga. Setelahnya Harris mematikan handphone milik Karin, lalu memasukkannya ke saku jas. Sebelumnya, ia telah menghapus dua buah pesan yang baru saja masuk. Pesan yang dikirim oleh Angga, yang sengaja Harris hapus supaya Karin tidak membacanya. 'Mereka mungkin akan bertengkar karena pesan itu aku hapus,' batin Harris merasa senang. Sepertinya ia sudah mulai menjalankan rencana balas dendamnya kepada Angga. Saat Harris masih membayangkan sosok Karin dan Angga yang kemungkinan akan bertengkar karena ulahnya, tiba-tiba ada panggilan dari mamanya Harris. "Ya, Mah! Ada apa?" tanya Harris setelah menerima panggilan. "Kamu itu kenapa sih, Har?" "Kenapa apanya, Mah?" Harris terlihat bingung. "Bukannya kamu hari ini ada janji sama Thalia mau makan siang, lalu kenapa tiba-tiba kamu batalkan?" Harris menautkan kedua alisnya. "Mama tahu dari siapa kalau aku ada janji sama Thalia? Tunggu! Apa perempuan itu ngadu lagi ke Mama?" "Perempuan itu tunangan kamu, Har." Di seberang sana Harris mendengar protes sang mama. "Aku tidak pernah sekali pun mengajaknya bertunangan. Mama dan Thalia yang selalu mengatakan hal itu ke semua orang." "Thalia anak Om Rahmat, Mama dan Papa sudah janji mau berbesanan dengan keluarga mereka." "Mama dan Papa yang janji. Tak pernah aku mengatakan iya mengenai perjodohan itu." Harris tampak kesal. "Sudahlah, Mah. Aku enggak mau bicara kasar sama Mama. Jadi, aku minta Mama enggak usah terus-terusan bantu Thalia dalam hubungan yang dipaksakan ini." Adelin, mamanya Harris tak menyahut kekesalan putra semata wayangnya itu. Ia pun pasrah ketika sang putra memutuskan panggilannya. "Apa-apaan si Thalia itu. Selalu saja mengadu," kata Harris yang kemudian menyimpan kembali ponsel ke saku jasnya. Sekitar sepuluh menit kemudian mobil yang dikendarai supir sampai tujuan. Harris tidak langsung turun. Ia memilih untuk mengamati bangunan sederhana dengan pepohonan rindang yang menaungi bangunan di sebelahnya itu. Setelah mengamati keadaan rumah Karin, Harris kemudian turun dari mobil dan melangkah menuju pagar rumah yang tertutup. Bel yang berada di dekat pintu pagar Harris tekan. Ada bunyi khas bel rumahan yang terdengar di telinga Harris. Tak lama sosok wanita dewasa dengan penampilannya yang sedikit berantakan karena noda tepung, membuka pintu dan berjalan mendekati Harris. Seulas senyum tersungging di bibir wanita itu. "Selamat siang!" "Selamat siang. Maaf, siapa, ya?" tanya wanita itu yang tak lain adalah ibunya Karin, terlihat heran sebab kedatangan Harris. Selama ini ia tidak pernah melihat lelaki dengan penampilan necis ala eksekutif muda seperti yang ia lihat di depannya sekarang. "Maaf sebelumnya. Perkenalkan, nama saya Harris. Harris Kusuma," kata Harris seraya mengulurkan tangan ke arah wanita di depannya. Wanita itu membalas uluran tangan Harris. "Saya Rani. Istri dari pemilik rumah ini," jawab Rani yang tak lain adalah ibunya Karin. "Tapi, maaf, saya tidak pernah denger nama Anda sebelumnya." Bahasa formal Rani tunjukkan sebab penampilan Harris yang ditebaknya berasal dari kalangan atas. Sangat aneh bila ia bicara santai khas seorang kawan. "Tidak apa-apa. Hal yang wajar bila Ibu tidak mengenal saya sebelumnya. Tapi, apakah benar kalau ini adalah kediaman Karin?" Harris mencoba memastikan. "Iya, betul. Ini rumah Karin," kata Rani menatap lawan bicaranya bingung. "Apakah Anda atasannya Karin di kantor?" Tebak ibunya Karin, seketika merasa sungkan dan malu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN