Di sebuah toko pakaian branded di dalam sebuah mall besar, Harris yang tengah menemani sang kekasih berbelanja, terlihat kesal sebab sesuatu. Ia yang sengaja menjauh dari posisi Thalia yang tengah melihat-melihat pakaian edisi terbaru yang diincarnya, beberapa kali mencoba menghubungi Karin. Namun sial baginya, perempuan itu tak kunjung merespon.
Pada akhirnya Harris mengirim pesan sesaat sebelum sang kekasih muncul sembari membawa beberapa pakaian yang akan dicobanya.
"Ada baiknya kamu memberi tahu orang tuamu sebelum pihak berwajib datang untuk menangkap anaknya karena melakukan one prestasi." Pesan terkirim ke nomor Karin, kemudian Harris langsung memasang senyum ketika Thalia datang dan meminta pendapatnya mengenai pakaian yang dibawanya. Ponsel yang ia pegang, sudah dimasukkan ke saku jasnya.
"Kamu suka yang mana, Beb? Yang ini atau yang ini?" kata Thalia sembari menunjukkan dua buah gaun yang terlihat seksi di tangan kanan dan kiri.
Sejenak Harris mengamati kedua buah gaun cantik yang sepertinya akan memperlihatkan belahan d**a juga paha perempuan manapun yang akan memakainya itu.
"Ehm, aku rasa keduanya bagus. Kenapa kamu harus memilih salah satu kalau kamu bisa dapatkan keduanya," ucap Harris yang membuat kedua mata sang kekasih berbinar senang. Langsung saja sebuah kecupan mendarat di pipinya.
"Terima kasih. Kamu memang yang terbaik!" seru Thalia yang tampak repot sebab pakaian yang dipegangnya. "Sejak tadi aku bingung mau pilih yang mana. Berkali-kali aku meminta pendapat pelayan, tapi mereka juga memberikan jawaban yang sama. Katanya kedua baju ini sama-sama bagus kalau aku yang pakai."
"Ya, tentu saja." Harris menyahut sambil tersenyum. Satu buah kecupan dari Thalia begitu berharga baginya dan itu membuatnya melupakan sejenak perasaan kesal pada perempuan lain yang sudah membuat harinya sedikit buruk. "Seleramu sangat bagus, dan mereka tidak salah menilai," lanjutnya memuji sang kekasih.
"Tapi, walaupun aku bisa memiliki keduanya, aku tetap boleh mencobanya dulu 'kan?" kata Thalia dengan suara manja.
"Cobalah! Tidak ada yang mungkin berani melarang," sahut Harris seolah ingin menunjukkan status dirinya di tempat tersebut. "Setidaknya kita bisa tahu apakah ukurannya juga pas."
Thalia mengangguk setuju. Jujur saja ia sendiri khawatir seandainya pakaian yang sudah ia incar tersebut —yang katanya hanya satu-satunya, ternyata tidak cukup di badannya yang terlihat mulai menggemuk.
"Ya, kamu benar. Oke, aku akan mencobanya. Kamu tetap duduk di situ, jangan kemana-mana! Aku akan buat kamu terpesona dengan gaun ini."
Harris mengangguk sembari tersenyum lebar. "Aku tunggu."
Sedetik kemudian Thalia menghilang dari pandangan Harris. Wanita itu dengan langkah cepat, menuju ruang ganti untuk mencoba pakaian yang sudah dipastikan akan menjadi miliknya tersebut.
Mengawasi keberadaan Thalia yang sudah tidak lagi terlihat, dengan cepat Harris mengambil kembali ponsel dari saku jasnya.
Sebuah pesan yang ia tunggu pun masuk. "Akhirnya kamu membalas juga," kata Harris seraya membuka kunci ponsel, lalu membuka fitur kotak masuk di gadget-nya itu.
"Lima ratus, uang yang Anda pinta itu sangat tidak masuk akal. Tapi, menuduh saya telah melanggar kontrak pekerjaan, itu lebih jauh dari kata masuk akal. Tuduhan Anda sudah di luar nalar manusia normal."
Tiba-tiba d**a Harris menggelegak marah. 'Jadi, kamu sama sekali tidak menghargaiku sebagai bos-mu?' gumamnya, lalu mencoba menghubungi Karin untuk ke sekian kali. Namun, lagi-lagi panggilannya diabaikan.
'Sepertinya aku harus segera menjalankan rencanaku,' gumam Harris kembali kesal.
Meninggalkan pengusaha muda tersebut, terlihat Karin yang tengah duduk sendirian di salah satu restoran yang ada di pinggiran kota. Ia yang pagi tadi melewatkan sarapan yang sudah ibunya buatkan, terpaksa menyambangi tempat makan favoritnya untuk mengisi perutnya yang melancarkan aksi demo.
Suasana alami yang restoran tersebut sajikan, membuat perasaan tenang yang Karin tengah cari seketika memenuhi rongga d**a. Berkali-kali ia menarik napas dan melepasnya lembut, seolah ingin menikmati suasana yang beberapa hari ini ia rasakan hilang.
Sembari menunggu pesanannya datang, ia mencoba memeriksa ponsel. Sebuah notifikasi pesan masuk dari Harris terpampang di layar. Awalnya Karin ingin mengabaikan, tapi sejenak kemudian ia berpikir jika pesan tersebut sepertinya mengandung satu makna.
'Dia mencoba mengancamku,' batin Karin setelah membaca pesan pertama yang masuk ke ponsel miliknya, yang baru tadi pagi kembali setelah dua malam menginap di apartemen Harris.
Kesal dengan pesan dari atasannya itu, Karin segera membalas pesan tersebut dengan kekecewaan yang sengaja ia ingin tunjukkan.
'Tak masuk akal!' seru Karin kesal.
Setelah perempuan itu mengirim balasan yang diawali dari pihak di sana, seorang pelayan muncul membawa pesanan Karin.
"Scramble egg dan roti bakar?" kata si pelayan wanita tersenyum sembari meletakkan sebuah piring di depan Karin. "Segelas jus stroberi," lanjutnya.
"Ya, terima kasih."
Pelayan tersebut kemudian melangkah pergi. Tepat setelahnya ponsel Karin tiba-tiba menjerit, membuat si empunya kaget.
Diliriknya benda pipih di sebelah tangannya, satu nama tampak bergetar seiring tanda panggilan berwarna hijau menari di layar.
'Mau apa lagi?' batin Karin kesal sekaligus sedih.
Harris sudah membuatnya melupakan trauma yang dibuatnya dengan usaha yang sangat luar biasa. Dua hari, siapa wanita di dunia ini yang bisa melupakan dengan mudah peristiwa menjijikan yang telah membuat kehormatannya menghilang? Kalau bukan karena Karin yang ingin menutupi semua perbuatan Harris, ia tak akan sudi kembali ke tempat di mana ia harus bertemu dengan lelaki tersebut.
"Apa yang harus aku lakukan dengan permintaannya?" tanya Karin berkata pada dirinya sendiri. Lima rarus juta? Dari mana uang itu bisa ia dapatkan?
Alih-alih menerima panggilan Harris, Karin memilih untuk mencoba menelan dan menikmati menu sarapan yang sudah dipesan sebelum menerima panggilan dari Angga setelah sebelumnya lelaki itu berjanji akan menghubungi.
Lebih dari tiga kali panggilan dari Harris melatar belakangi kegiatan Karin di restoran yang tidak terlalu ramai tersebut, dan tiga kali pula ia abaikan. Hingga ketika makanannya habis ia santap, panggilan dari Angga masuk ke ponselnya.
Karin mencoba menenangkan suaranya sebelum menerima panggilan. Ia tak mau terdengar menyedihkan ketika sang kekasih berbicara dengannya melalui sambungan telepon.
"Ya, halo!" sapa Karin mendahului.
"Halo, Karin. Maaf karena sudah buat kamu menunggu. Pekerjaanku baru selesai. Jadi, kita bisa bicara sekarang."
"Tidak. Aku yang seharusnya meminta maaf karena sudah membuat kamu meladeniku." Karin merasa tak enak.
"Tidak. Jangan berkata seperti itu. Kamu kekasihku. Aku justru sedih ketika kamu tidak mau bicara denganku."
"Ehm, ya ... maafkan aku untuk hal itu. Aku tidak bermaksud melakukannya padamu."
Terdengar pilu ketika Karin bicara. Angga yang menyadari hal tersebut, seketika bereaksi cepat.
"Sudah, tak perlu dibahas. Jadi, kamu sedang apa sekarang? Tidakkah kita mengganggu waktu kerjamu?"
Sejenak Karin terdiam. Dia tidak langsung menjawab atau memberi tahu Angga bahwa pagi tadi telah mengundurkan diri dari tempatnya bekerja.
"Karin? Apakah kamu baik-baik saja?" Suara Angga mengejutkan Karin.
"Ya, aku baik. Tapi, Angga ... aku mau memberi tahumu sesuatu."
"Apa itu?"
Lain dengan Angga yang menahan napas, Karin justru menarik napas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya.
"Sebetulnya pagi tadi aku baru saja memberikan surat pengunduran diri ke pimpinan tempatku bekerja."
***