Bab 4. Selesai

1073 Kata
Thalia terlihat sinis ketika melewati Karin. Wanita cantik itu memang tak pernah menyukai sekretaris baru Harris tersebut. Selain karena cantik, Karin juga terlihat lebih mempesona meski mengenakan pakaian yang sopan dan tertutup. Sebagai seorang perempuan, Thalia merasa harus waspada sebab dirinya tak mau jika Harris terpikat pada sekretaris pengganti itu. "Ada apa? Kenapa pagi-pagi kalian sudah bikin huru hara?" "Huru hara apa maksudmu?" tanya Harris yang menyambut kedatangan sang kekasih dengan beranjak bangun, lalu mencium pipi kiri dan kanan sebelum meminta wanita itu duduk. "Tidak. Jelaskan dulu apa yang terjadi sebelum aku masuk tadi?" Thalia menolak dengan melepaskan genggaman Haris di tangannya. Harris merasa kaget, tapi ia tidak menunjukkan itu di depan kekasihnya. Lain dengan Karin yang tersenyum tipis sebab melihat sikap Harris yang sepertinya mulai waspada. "Kenapa kamu tanya itu? Tidak ada yang terjadi sebelum kamu datang." "Jangan bohong, Harris! Aku tadi dengar sekretarismu itu teriak-teriak dan terdengar keluar." Sontak Harris menengok pada Karin. Tapi, anak buahnya itu malah terlihat diam tanpa ekspresi. "Karin tidak teriak, Sayang. Dia cuma sedang bicara dengan salah satu klien dan meminta maaf karena perjanjian meeting hari ini yang aku cancel." "Kenapa kamu cancel?" tanya Thalia bingung. "Itu ... karena kamu datang. Bukankah aku sudah berjanji akan mengantarmu pergi." Harris berbohong. "Apakah harus sampai teriak-teriak seperti tadi?" Thalia masih belum bisa menerima dengan alasan dan jawaban Harris tentang keriuhan yang ia dengar sesaat akan masuk ke ruangan kekasihnya itu. "Aku sudah katakan, itu bukan suara teriakan. Karin tidak berteriak. Dia cuma bicara sedikit kencang saja tadi." Namun, Thalia masih terlihat ragu. Meski begitu, ia memilih untuk tak peduli dan meminta Harris mengusir karyawannya itu. "Pergilah! Saya akan memanggil kamu lagi nanti." Harris memberi perintah. "Oh iya, ponselmu ada di atas meja." Karin tak bersuara apalagi menjawab perintah Harris. Ia memilih mengambil ponsel miliknya yang sempat tertinggal di apartemen Harris —tentu saja diiringi tatapan sinis dari Thalia. Lantas, berbalik dan pergi meninggalkan ruangan atasannya tersebut untuk pulang. Sesaat tatapannya pada Harris seolah ingin menunjukkan bahwa pembicaraan di antara mereka sudah selesai. Harris tahu jika perempuan yang baru menghilang dari pandangannya itu tidak hanya meninggalkan ruangannya saja, tapi juga pergi dari gedung tempatnya berdiri saat ini. 'Aku akan mengurusnya lagi nanti,' batin Harris kemudian mencoba untuk memberikan perhatian kepada Thalia, kekasihnya yang masih terlihat kesal. "Bagaimana ponselnya ada padamu?" "Tertinggal di apartemen waktu dia antar aku pulang." Harris menjawab cuek. "Perempuan itu mengantar kamu pulang? Sampai apartemen?" "Ya, kenapa? Bukankah itu hal biasa yang juga pernah sekretaris lamaku lakukan? Kamu juga tahu itu bukan?" "Ya, tapi kenapa dia antar kamu? Pasti ada alasannya 'kan?" Thalia terlihat penasaran. Dirinya memang tahu setiap Harris memiliki sekretaris, sekretarisnya itu selalu merangkap sebagai asisten pribadi. Tapi, untuk kasus Karin, ia selalu ingin tahu apa saja pekerjaan atau kegiatan yang kekasihnya itu lakukan. "Aku pulang dari pesta Juan, mabuk. Karena sudah malam juga, jadi Karin membantuku untuk menyetir dan mengantar pulang." Ekspresi Harris tampak meyakinkan, untuk itulah Thalia langsung percaya —meski dirinya masih kesal karena tidak diajak saat pesta ulang tahun sahabat kekasihnya itu digelar. "Dia tadi menyebut namaku kalau aku tidak salah dengar." Pembicaraan beralih —tapi Thalia seperti masih ingin membahas tentang keberadaan Karin tadi. Harris mengambil sikap tak peduli. "Kamu mungkin salah dengar. Untuk apa Karin menyebut nama kamu," ucapnya. "Sudah, kita tidak perlu membahas hal tak penting. Duduklah!" Di tempat lain, Karin yang baru keluar dari lift langsung memesan taksi online untuk mengantarnya pulang. Urusannya dengan Harris, ia anggap sudah beres. Keinginannya untuk berhenti bekerja meski tidak mendapat persetujuan dari atasannya itu, Karin nilai sudah selesai. 'Aku berharap peristiwa kemarin berakhir sampai sini saja,' batin Karin setelah masuk dan duduk di bangku penumpang pada taksi yang ia pesan. Malam kelam yang telah membuat kehormatannya terenggut itu masih terngiang di benak Karin. Ia masih marah pada takdir yang Tuhan berikan saat ini, tuntutan pekerjaan yang ia lakukan malah membuatnya harus kehilangan hal berharga di dalam hidupnya. Mahkota yang ia jaga selama ini dan hanya akan ia berikan pada laki-laki yang kelak menjadi suaminya itu, dihancurkan oleh lelaki yang bahkan tidak menganggap hal tersebut sebagai sebuah bentuk lambang kesucian seorang perempuan. 'Kita sudah sama-sama dewasa. Hal itu bukan sesuatu yang tabu lagi di zaman sekarang.' Kalimat Harris yang diucapkan dengan santai, benar-benar membuat perasaan Karin tercabik dan hancur. Ia marah sekaligus menyesal karena merasa telah mengkhianati sang kekasih. Memikirkan laki-laki yang sudah dua hari ini Karin abaikan, membuat tangannya tergerak untuk mengirim sebuah pesan. "Apakah kamu sedang sibuk sekarang?" Satu pesan Karin kirimkan ke nomor Angga. Laki-laki yang sudah dua tahun ini mewarnai hari-harinya, secepat kilat membalas pesan yang baru terkirim tersebut. "Ya, Sayang. Bagaimana kabarmu? Kamu bekerja hari ini? Maafkan aku, tapi aku sedang sangat sibuk sekarang. Atau kamu mau buat janji supaya kita bisa berbicara nanti? Waktuku luang di satu jam ke depan." Karin tersenyum. Angga selalu saja memikirkan kondisinya. Lelaki itu sangat perhatian dan peduli. Terlihat dari pesan yang masuk ke kotak pesannya, lelaki itu lebih dulu menanyakan kabarnya alih-alih langsung memberi tahu kesibukannya di kantor. "Baiklah. Kalau kamu tidak keberatan, aku akan menghubungimu lagi nanti." Lagi-lagi —meski katanya sedang sibuk, Angga langsung mengirimkan balasan. "Tidak keberatan sama sekali. Aku akan tunggu panggilan dari kamu, Sayang." Karin merasa sangat terharu sekaligus bahagia. Kalimat Angga selalu saja memberikan sesuatu yang positif baginya. Kata-kata sayang yang lelaki itu berikan juga, selalu terasa seolah disampaikan secara langsung. Ingin sekali Karin memeluk lelaki itu sekarang setelah dua hari kemarin —paska kejadian, ia abaikan dan tak dipedulikan, yang bahkan dua hari berturut-turut datang menemuinya di rumah. Tapi, Karin yang masih shock dan trauma sebab pelecehan yang Harris lakukan, sama sekali tidak berkeinginan untuk menemui Angga. Ia malu, marah, dan segala bentuk emosi lain yang membuatnya mengunci diri di dalam kamar meski kedua orang tuanya sudah meminta supaya ia keluar. "Maafkan aku." Karin mencoba meminta maaf atas sikapnya kemarin. Ia tidak berharap Angga akan membalasnya karena kesibukan yang tengah dijalani. Tapi, ponsel yang dua malam tidak ada dalam genggamannya itu kembali berdenting. "I miss you." Kalimat indah yang Karin baca seketika membuat tenggorokannya tercekat. Air matanya mengalir tanpa diminta. Ia sangat sedih. Kebaikan Angga justru ia balas dengan sebuah fakta jika dirinya sudah tidak lagi perawan. Di saat Karin masih marah dan terbelenggu atas peristiwa menyakitkan yang Harris lakukan, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Suara dering panggilan itu berasal dari nomor Harris. Bosnya itu mendadak menghubunginya setelah pengusiran yang lelaki itu lakukan di kantornya tadi. 'Urusan di antara kita sudah selesai.' ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN