Bab 3. Pengunduran Diri

1103 Kata
Pelataran lobi di sebuah gedung pencakar langit yang berdiri megah di pusat kota di pagi hari, tampak ramai dengan para pekerja yang berlalu lalang. Mereka terlihat sibuk, berjalan cepat seolah khawatir datang terlambat. Matahari memang terlihat sudah meninggi. Menggantung di langit dengan warna kuning keemasan yang sudah cukup menghangatkan tubuh. Di dalam gedung tersebut, di salah satu ruangan dengan papan nama bertuliskan Chief Executive Officer, tampak seorang pria tengah duduk mengamati layar laptop di depannya. Sudah setengah jam yang lalu ia datang, tapi selama itu pula sekretarisnya belum muncul dan menyapa seperti biasa. Sesekali lelaki itu melihat jam di pergelangan tangannya. Melihat jarum jam yang menunjuk ke angka delapan tepat —dia menunggu. "Apakah dia tidak akan masuk kantor hari ini?" kata lelaki itu sembari melihat pintu yang masih berdiri kokoh, tak goyang atau berderit. Lelaki itu adalah Harris. Dia yang biasanya datang jam delapan, kini datang lebih awal demi ingin melihat sosok Karin, sekretarisnya. Tentu, setelah apa yang terjadi pada mereka di apartemennya beberapa hari lalu. Harris sudah akan menghubungi seseorang ketika pintu tiba-tiba diketuk dari luar. "Masuk!" Harris berseru seraya meletakkan ponsel ke sisi laptop. Matanya menatap lurus ke arah pintu dan melihat sesosok perempuan dengan penampilan rapi seperti biasanya, menunduk seolah enggan menatap ke arahnya —sosok yang ditunggu. "Selamat pagi, Pak!" Suaranya terdengar begitu pelan. Berdiri dalam jarak yang membuat Harris hampir tak bisa mendengar apa yang dikatakannya. Tampak sekali perempuan itu berusaha bersikap biasa meski nada suaranya bisa Harris dengar bergetar. "Kamu baru datang?" Perempuan itu mengangguk, sopan. "Maafkan saya karena datang terlambat. Ada sesuatu yang harus saya lakukan tadi sebelum berangkat ke kantor." Sebelah alis Harris terangkat, "Sesuatu? Apakah itu hal jauh lebih penting sampai membuatmu datang terlambat di awal pekan ini?" Tanpa sadar Karin mengangkat kepalanya. Dua pasang mata itu tak ayal saling menatap. Namun, itu tak berlangsung lama karena sedetik kemudian Karin kembali menundukkan pandangannya. Harris merasa heran dengan sikap anak buahnya itu. Entah apakah ia yang salah menilai, tapi tampak di matanya jika saat ini Karin sedang kesal dan marah. "Apa ada yang mau kamu katakan?" Tiba-tiba saja Harris seperti seorang cenayang, yang seolah tahu bahwa ada sesuatu yang hendak Karin sampaikan kepadanya. Perlahan Karin melanjutkan langkah, berjalan menghampiri meja Harris, berhenti setelah dirasa jaraknya sudah cukup untuknya berbicara dengan sang atasan. Tak lama kemudian ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah amplop berwarna coklat yang kemudian ia julurkan ke arah lelaki yang terus menatapnya tanpa berpaling sedetik pun —hampir membuat nyalinya menciut. "Apa ini?" tanya Harris tidak langsung menerima amplop yang menggantung di depan mukanya. Feeling-nya mengatakan hal yang tak bagus, tapi ia masih berusaha bersikap santai. Karin mengangkat wajahnya sekarang. Ia kemudian memberanikan diri untuk menatap Harris dengan mengatakan sesuatu. "Saya mau mengundurkan diri." Jawaban Karin membuat Harris terkejut.Tapi, sebentar kemudian lelaki itu bisa menenangkan dirinya kembali. Harris masih belum merespon perkataan Karin. Keduanya pun saling diam di ruangan yang seketika senyap, mendadak dingin dan hening, membuat Karin merasa ngeri dengan apa yang terjadi sekarang. Ia sudah membulatkan tekad, tapi reaksi Harris membuatnya bungkam seolah kalah sebelum berperang. Sedetik kemudian Harris menarik napas. "Apa ini ada hubungannya dengan kejadian dua hari lalu?" tanyanya langsung tanpa basa-basi. Karin mengangguk. Dirinya pun tak mau berbasa basi. "Kamu tahu aku sudah punya kekasih. Jadi, apa masalah untukmu?" "Justru karena Anda sudah memiliki kekasih, Pak, membuat saya mengambil keputusan ini." Harris mendelik. Ada senyum sinis yang ia sunggingkan demi merespon ucapan Karin barusan. "Apakah kalimat barusan menunjukkan bahwa kamu ingin saya bertanggung jawab?" Kali ini Karin diam. Ingin ia berkata 'tidak', tapi ia tak mau membiarkan Harris mengabaikan tanggung jawab yang seharusnya ia lakukan. Apalagi sama sekali tidak ada permintaan maaf yang terucap dari mulut Harris, yang membuat Karin semakin kesal dan marah. Melihat Karin diam, membuat Harris bereaksi. "Jadi, benar dugaanku kalau kamu ingin aku bertanggung jawab dengan menikahi kamu, begitu?" katanya diiringi tawa. Dada Karin menggelegak marah. Bukan itu yang ia harapkan atas reaksi Harris. Tapi, lelaki itu sepertinya lebih mementingkan egonya sebagai seorang kaya raya, yang status dan jabatannya jauh di atas, yang membuatnya tak mungkin mengutarakan maaf atas kesalahan yang sudah diperbuat. "Tolong terima surat pengunduran diri saya. Itu saja sudah cukup." Pada akhirnya Karin enggan berdebat. Ia menyadari bahwa ia telah kalah sejak awal. "Saya akan terima surat pengunduran diri kamu, tapi kamu harus membayar denda karena tidak menyelesaikan kontrak kerja yang sudah ditandatangani," ucap Harris sontak membuat Karin melotot kaget. "Ingat! Statusmu di sini masih karyawan kontrak," lanjutnya tersenyum sekarang. Karin tahu peraturan itu. Tapi, sungguh ia tidak menyangka jika kesalahan yang sudah Harris perbuat tidak membuatnya melupakan peraturan yang tertera dalam perjanjian kontrak. Jika tidak mau meminta maaf, minimal lupakan peraturan tersebut, dan terima saja pengunduran dirinya. "Kenapa? Kamu marah padaku sekarang?" Pertanyaan Harris sangat tidak tepat diajukan. Bagaimana bisa lelaki itu masih bertanya tentang perasaan seorang perempuan yang sudah dilukai hati dan raganya itu. "Apakah kamu berpikir untuk melaporkan aku ke pihak berwajib?" tanya Harris lagi, tak bosan meski seluruh pertanyaannya tidak Karin jawab. "Kamu tahu bahwa kamu tak akan menang melawanku bukan?" kekehnya membuat Karin langsung memotong cepat. "Berapa denda yang harus saya bayar?" Harris tidak menyangka jika Karin akan menantangnya. Sebab bukan pengunduran diri dari Karin yang Harris harapkan paska kejadian kemarin, terlebih ia sudah menyiapkan beberapa rencana setelah tahu bahwa perempuan itu adalah kekasih dari seorang lelaki yang sudah lama menjadi target pembalasan dendamnya di masa lalu. "Lima ratus juta." "Tidak! Itu terlalu besar. Bukan segitu seharusnya uang yang harus saya bayar karena baru tiga bulan saya menjadi sekretaris Anda." "Lima ratus juta atau kamu tetap jalankan pekerjaan kamu sampai kontrak kerja kamu habis?" Karin benar-benar emosi sekarang. Harris, lelaki yang adalah pemimpin tertinggi di perusahaan tempat dirinya berdiri sekarang, seperti tengah mempermainkannya. "Katakan apa mau Anda sebenarnya, Pak? Setelah Anda melecehkan saya, lalu sama sekali tidak ada kata maaf yang Anda ucapkan, bahkan saya sama sekali tidak berniat melaporkan Anda ke pihak berwajib, sekarang saya masih harus menanggung beban denda yang seharusnya itu bisa dianggap sebagai sebuah kompensasi atas perbuatan Anda kepada saya," ucap Karin dengan suara bergetar yang semakin ketara. Namun, respon Harris sungguh di luar dugaan. Lelaki itu malah tertawa. "Untuk apa aku meminta maaf. Kita sudah sama-sama dewasa. Hal tersebut bukan lagi hal tabu di kalangan kita yang tinggal di kota besar. Lagipula kamu tahu kalau saat itu aku sedang mabuk. Aku tidak sengaja melakukannya." "Anda memang tidak sengaja, tapi bagaimana jika peristiwa itu diketahui oleh kekasih Anda? Apakah dia juga akan berpikir bahwa hal tersebut sebuah ketidaksengajaan?" Emosi Karin yang meluap-luap, seketika terhenti sebab kemunculan seseorang yang masuk ke ruangan Harris tanpa mengetuk pintu. "Ada apa ini, Beb?" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN