2. Dipaksa Nikah

1882 Kata
"Maaf, ada apa, Pak?" tanya Fachri yang memang tidak tahu apa yang terjadi sehingga banyak warga berkerumun di tendanya. "Dasar anak kota tidak tahu sopan santun! Bisa-bisanya kalian berbuat zina di tempat seperti ini!" Mendengar ucapan warga, Fachri dan Aira saling pandang. Mereka mengerti, warga pasti telah salah paham. "Maaf, Pak. Bapak sudah salah paham. Kami tidak melakukan apa yang Bapak-bapak tuduhkan. Kami hanya sedang ada acara perpisahan acara ekskul di sekolah kami. Kami...." Belum sempat Fachri merampungkan ucapannya, warga memotongnya, "Kalian harus menikah! Kami tidak mau desa kami sial hanya karena ulah kalian!" "Tunggu, Pak ... ini hanya salah paham." Fachri masih mencoba memberi pengertian. "Hubungi orang tua kalian! Kalian harus dinikahkan!" Mata Fachri dan Aira langsung melebar. "Tidak, Pak ... di antara kami tidak ada hubungan apa-apa. Saya juga masih sekolah. Mana mungkin kami harus menikah." Air mata Aira mulai menetes. Namun, warga tetap mengiginkan kehadiran orang tua lelaki dan gadis itu. Mau tidak mau, akhirnya Fachri dan Aira menghubungi orang tua mereka melalui telepon yang ada di kantor kelurahan. Kepala desa pun tidak bisa berbuat apa-apa. Ia memang yang memberi izin. Namun, ia tidak tahu jika murid laki-laki dan perempuan akan tidur dalam satu tenda. Desa yang dipimpinnya, merupakan desa yang ketat akan norma. Baik norma agama, maupun norma sosial. Karena itulah, warga murka ketika mereka akan mencari kayu bakar, tanpa sengaja menemukan tenda dan langsung melihat ke dalam tenda. Dan ternyata, ada seorang gadis dan pemuda yang sedang tidur bersebelahan. Tidak ada yang mereka lakukan memang, tetapi itu sudah sangat menyalahi aturan. Mereka pun naik pitam. *** Pernikahan itu akhirnya terlaksana. Hanya ijab kabul dengan pemuka agama setempat. Tidak ada yang terlihat bahagia. Terutama Fachri dan Aira. "Mas, kenapa dua putri kita harus begini, ya, cara menikahnya? Mendadak," ujar Niken sambil terus memperhatikan ekspresi putri keduanya. Ia juga pesimis dengan pernikahan putrinya. "Sudah takdirnya, Sayang. Yang penting, putri-putri kita menikah mendadak bukan karena hamil duluan. Aku telah gagal sebagai pria. Jadi, aku tidak boleh gagal sebagai ayah," jawab Farhan. Dirangkulnya tubuh sang istri tanpa peduli ada orang-orang kampung setempat di samping mereka. Sementara di sudut lain, ada Fattan dan Zahra yang juga sedang berbincang. "Bang, bagaimana ya nanti rumah tangga mereka ... Aira masih sekolah, Fachri belum siap menikah. Tidak ada cinta juga di antara mereka." Tidak berbeda dengan Niken, Zahra pun merasa ragu dengan pernikahan putranya. "Jangan berpikir yang tidak-tidak dulu. Jangan suuzan sama Allah. Kita tidak tahu bagaimana kehidupan mereka nantinya. Tetap percaya, Allah sudah merencanakan hal terbaik untuk putra kita," ucap Fattan bijak. Zahra hanya bisa mengamini apa yang suaminya katakan. Acara ijab kabul selesai. Acara makrab dan perpisahan yang harusnya berlangsung sampai esok hari, harus dihentikan. Panitia dan peserta sudah terlanjur hilang mood. Apalagi warga juga sudah terlihat tidak menyukai kehadiran mereka. Fattan, Farhan, Niken, dan Zahra langsung masuk ke mobil Farhan. Mereka ingin mendiskusikan bagaimana kehidupan putra-putri mereka selanjutnya. Sedangkan Fachri dan Aira masuk ke mobil Fattan, di mana ada Rayhan yang menyetir mobil. "Bisa-bisanya digrebeg. Emang kalian lagi ngapain pas warga mergokin kalian?" tanya Rayhan sambil cekikan. "Ngapain? Tidur, lah ... ngapain lagi," jawab Fachri yang merasa tidak suka, merasa sang kakak tengah meledeknya. "Kok bisa langsung disuruh nikah?" "Warga sini yang masih terlalu kolot." Dua kakak beradik itu sibuk bertanya-jawab, sementara Aira yang duduk di jok belakang tengah meratapi nasibnya. Siapa yang menyangka, dia akan lebih dulu mendapat gelar istri daripada gelar mahasiswi. *** Di tengah perjalanan, Fattan menghubungi Rayhan untuk berhenti di sebuah rumah makan. Mereka akan berdiskusi tentang kelanjutan pernikahan Aira dan Fachri. Bagaimanapun juga, pernikahan itu bukanlah permainan. Mau tidak mau, suka tidak suka, Aira dan Fachri memang harus menjalani kehidupan sebagai suami-istri. Aira sedari tadi hanya diam. Bahkan, setelah di rumah makan pun, gadis itu tetap tak mau membuka mulut. "Ai, kamu mau makan apa?" tanya Niken, wanita beranak lima itu sangat memahami apa yang putrinya rasakan. "Apa aja, Ma...." Melihat putrinya demikian, membuat Farhan yang duduk tepat di samping Aira langsung memeluk sang putri. "Putri Ayah, dengerin Ayah ... pernikahan tidak akan menghentikan kehidupan kamu, masa depan kamu, cita-cita kamu.Jadi, kamu tidak perlu bersedih." "Tapi, Yah ... kenapa harus dengan cara seperti ini...." Zahra yang juga mendengar apa yang Aira katakan tersenyum. "Aira ... Mommy memang baru pertama bertemu denganmu. Tapi Mommy yakin, kamu adalah menantu yang Allah berikan untuk kami. Kami, Mommy dan Daddy, akan menyayangi kamu seperti anak kandung kami sendiri. Jadi, kamu tidak perlu takut." "Tapi Aira mau kuliah, Tante...," jawab Aira yang masih enggan memanggil Zahra dengan panggilan 'Mommy'. "Kok, Tante," protes Zahra. "Kamu, kan, udah jadi anak Mommy sekarang." Wanita itu tersenyum. Farhan dan Niken pun ikut tersenyum. Beruntung, putri mereka mendapatkan mertua yang baik. "Kami tidak akan pernah melarang kamu kuliah. Bahkan kalaupun kamu mau berkarir setelah lulus pun, itu hak kamu. Kamu tahu? Mommy juga melanjutkan kuliah kedokteran setelah Mommy menikah. Bahkan, setelah Fachri sudah besar. Kamu jangan takut, jangan sungkan. Anggap kami sebagai orang tua kandung kamu." "Betul kata Mommy, Ra ... Daddy bukan orang galak. Kamu tenang saja. Oke?!" Fattan pun ikut membesarkan hati menantu barunya. Aira mengangguk, bibirnya sedikit tersenyum. "Ya, Allah ... berikanlah kebahagiaan untukku. Untuk pernikahanku, buatlah pernikahan kami ini seperti pernikahan Kak Naura dan Kak Saka. Jangan buat seperti pernikahan Ayah dan Mama dulu. Aku bukan wanita kuat seperti Mama, ya, Allah ... aamiin," batin Aira. *** Zahra mengajak Aira ke rumah. Sementara Fachri dan gadis itu masih saling diam. Tidak seperti semalam saat mereka mengobrol bersama. "Mommy mau, kamu menganggap rumah ini juga sebagai rumah kamu. Kamu tahu? Mommy kesepian, lho ... anak Mommy cuma dua, Kak Rayhan udah nikah. Dia lebih sering tinggal sama papanya. Fachri, lebih banyak di luar. Mama kamu juga pasti nggak melarang. Apalagi, ada adik-adik kamu yang menemani mama kamu. Kamu mau, kan?" Aira tersenyum. Kemudian mengangguk. "Untuk sementara, kamu bisa menempati kamar tamu. Pasti kamu masih merasa kikuk sama Fachri. Iya, kan?" "Iya...." "Yuk, Mommy tunjukkan kamar kamu!" *** Sementara di sisi yang lain, ada Fattan yang sedang berbicara empat mata dengan sang putra. "Syukuri, Ri ... jalan jodoh kamu mungkin memang seperti ini," ujar Fattan. "Tapi aku pengin ambil spesialis, Dad!" "Memangnya, dengan kamu menikah, akan menghalangi kamu kuliah lagi?" "Tapi fokusku pasti akan terbagi." "Itu sih, tergantung kamunya aja. Masa kalah sama Mommy yang umurnya lebih tua. Dia aja bisa jadi dokter dengan tetap mengurus kita." "Tapi, Daddy bayangin aja sendiri, aku sama Aira nggak saling kenal. Tahu-tahu, aku dipaksa nikah sama dia. Dan yang memaksa kami menikah, malah orang asing. Kemarin pas berangkat, aku masih single, belum dua puluh empat jam, udah ganti status." Fachri masih belum bisa menerima pernikahan yang sangat dadakan itu. Dan itu karena paksaan orang asing. Fattan merangkul pundak putra bungsunya. Senyum khasnya tersungging, memperlihatkan lesung pipinya. "Mau bagaimanapun, kalian sudah menjadi suami-istri di hadapan Allah, kalian harus benar-benar menjalankan hak dan kewajiban kalian. Daddy sangat berharap, kamu tidak akan pernah menyakiti istri kamu. Jika sampai itu terjadi, Daddy orang pertama yang akan menghajar kamu. Ingat! Mommy kamu wanita, kalau kamu menyakiti istri kamu, sama artinya kamu menyakiti Mommy. Paham?" "Iya, Dad," jawab Fachri lesu. *** Zahra sudah selesai menyiapkan makan siang. Melihat Fachri sedang menonton televisi, wanita itu meminta putranya untuk memanggil Aira. "Ri ... panggil Aira, sana! Kita makan siang bareng." Meskipun enggan, Fachri tetap menuruti titah sang bunda. Lelaki itu mengetuk kamar yang Aira tempati. Tak mendengar jawaban, putra Fattan itu mencoba menurunkan handle pintu. Tak dikunci. Ia melangkah masuk. Di atas ranjang, Aira sedang meringkuk. Kakinya ditekuk, matanya terpejam. Refleks, bibir Fachri tertarik simetris. Lelaki itu tersenyum. Fachri duduk di tepi ranjang. Ditepuknya lengan Aira agar bangun. "Aira ... bangun. Mommy menyuruhku membangunkanmu untuk makan siang." Aira membuka mata. Sadar ada orang asing di depannya, ia langsung terduduk. "Ehm, maaf ... udah waktunya makan siang. Mommy menyuruhku membangunkanmu." Fachri merasa tidak enak. "Iya, Kak ... aku cuci muka dulu." "Oke, kami tunggu di meja makan, ya?!" "Iya, Kak...." *** Zahra meminta Aira untuk menginap. Namun, gadis itu menolak. Ia berjanji akan menginap di waktu lain. Akhirnya Fachri yang mengantar pulang. "Bagaimana pendapatmu tentang pernikahan paksaan kita?" tanya Fachri, mereka sudah berada di dalam mobil dalam perjalanan menuju rumah Farhan. "Pendapatku? Tidak ada." "Apa kamu punya pacar?" "Punya pacar pun, rasa-rasanya sudah tak penting sekarang." "Tidak penting? Aku tidak akan pernah melarangmu menjalin hubungan dengan pria lain. Jadi, kamu santai saja. Meskipun kita menikah, kita punya privasi masing-masing. Kamu tidak perlu melakukan kewajibanmu sebagai istri. Begitu juga denganku. Tapi, kamu jangan khawatir, aku akan tetap menafkahi kamu." "Oh ... oke!" Begitu singkat tanggapan Aira, membuat Fachri tak mau lagi bersuara. Begitu sampai di depan rumah, "Nggak mampir?" tanya Aira. "Besok aja aku ke sini." "Oke." Aira turun dari mobil. Tanpa menunggu mobil Fachri pergi, gadis itu segera masuk rumah. Fachri pun, langsung menjalankan mobilnya meninggalkan jalan depan rumah mertuanya. *** Hari ini hari perpisahan sekolah. Aira sudah bangun pagi sekali karena ia memang harus berdandan menggunakan sanggul dan kebaya untuk acara itu. Niken sudah memanggil penata rias ke rumah. "Buruan sarapannya, Ai ... Bude Tia udah datang, tuh...," ucap Niken. "Iya, Ma...." "Fachri datang ke sekolah kamu?" Mereka memang masih tinggal terpisah. "Enggak ... lagian cuma acara perpisahan. Dia mau ngurus sesuatu juga katanya." "Mama tahu, kalian nggak saling cinta. Tapi ... bagaimanapun juga, kalian udah menikah. Kalian harus tetap menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Jangan terlalu cuek. Buka hati kalian." Aira tersenyum masam. Buka hati? Tugas dan kewajiban suami-istri? Mereka itu orang asing, tidak saling kenal sebelumnya. Apa bisa melakukannya? Lagipula, Aira masih ingin bebas. *** Di tempat berbeda, Fachri sedang sarapan bersama daddy dan mommy-nya. "Kamu nggak ke sekolahan, Ri?" tanya Zahra yang memang sejak putra bungsunya menikah, ia selalu berhubungan dengan besannya melalui pesan w******p. Jadi, apa yang menantunya lakukan, ia selalu tahu. Zahra tidak ingin kecolongan, kalau putranya menyakiti sang menantu. Cukup dirinya saja yang merasakan memiliki suami yang jahat, dulu. "Ngapain, Mom?" "Aira kelulusan sekaligus perpisahan, lho. Dia pasti seneng kalau kamu datang. Nggak ada salahnya kamu memulai. Kamu kan laki-laki." "Iya, Ri ... jangan sampai, nanti kamu menyesal. Dulu Daddy merasakan itu. Untung saja, Tuhan menjodohkan Daddy sama Mommy. Kalau enggak, Daddy bisa gigit jari seumur hidup." Fattan ikut menimpali. "Iya ... iya. Abis sarapan, aku otewe ke rumah Aira." Berdebat dengan orang tua adalah hal yang tidak Fachri sukai. Mengapa? Karena ujung-ujungnya pasti dia yang kalah. Atau lebih tepatnya mengalah. Kalau sampai dia tidak menuruti titah wanita yang telah melahirkannya, sudah dipastikan, daddy-nya pria terdepan yang akan menceramahinya. Selesai sarapan, Fachri langsung bergegas mandi. Setelah itu, ia bersiap di depan cermin. Mengenakan celana kain, dan kemeja batik lengan pendek. "Ini kan cuma acara kelulusan SMA, bukan acara wisuda. Kenapa juga harus meribetkan diri," gumamnya. Lantas, ia segera menukar kemeja batik dan celana kainnya dengan kaus polo dan celana jeans. "Nah, gini lebih bagus." Fachri merapikan rambut, lalu memakai parfum. Sebelum sang mama bersuara, ia segera meninggalkan rumah menggunakan mobil. Sesampainya di rumah Aira, Niken menyambut dengan senyum semringah. Menantu keduanya akhirnya datang juga. "Aira-nya belum berangkat kan, Tante?" "Kok Tante? Mama, dong ... belum. Bentar lagi siap sepertinya." Fachri memang masih sering lupa untuk memanggil Farhan dan Niken dengan panggilan ayah dan mama, seperti Aira. "Iya, Ma ... maaf, Fachri belum terbiasa." "Iya ... nggak apa-apa. Nanti lama-lama juga terbiasa. Ayo, Ri, masuk dulu!" "Iya, Tan. Eh, Ma."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN