3. Menikah Resmi

1011 Kata
Setelah hari kelulusan Aira, kedua keluarga kembali bertemu untuk membahas acara pernikahan putra-putri mereka. Dari menikah di KUA, sampai resepsi. Resepsi direncanakan akan dilakukan di gedung. Maklum saja, orang tua Aira, Farhan, seorang pengusaha. Dan orang tua Fachri, Fattan, seorang dokter. Jadi, banyak kolega yang ingin mereka undang. Apalagi untuk Fattan, Fachri merupakan putra satu-satunya. Karena kakak Fachri yang beda ayah, Rayhan, acaranya dirayakan oleh ayah kandungnya, Revan. Meskipun Aira dan Fachri sejujurnya sangat terpaksa. Namun, mereka berusaha untuk melakukannya sebaik mungkin. Untuk saat ini, Fachri lebih nyaman menganggap Aira sebagai adiknya. Bayangkan saja, sebelumnya mereka tidak saling mengenal. Dan kini, status mereka justru sebagai suami-istri. Hari ini, rencananya Aira dan Fachri akan fitting baju pengantin. Karena butik tempat mereka memesan baju berlawanan arah dengan rumah Aira, akhirnya Aira diminta untuk datang ke rumah Fachri. "Eh, Aira ... sini masuk, Sayang. Diantar Ayah atau naik taksi?" tanya Zahra. Aira mencium tangan Zahra. "Taksi, Mom. Ayah ada pesanan banyak. Jadi ikut terjun di warung." "Wah ... alhamdulillah." Orang tua Aira memang memiliki usaha warung nasi Padang. Ada beberapa cabang. Meskipun memiliki banyak karyawan, mereka tetap ikut terjun ke warung jika ada pesanan. Zahra pun merangkul pundak menantunya. Mengajaknya ke ruang makan. Di sana sudah ada Fattan. "Eh, Aira ... itu Fachri-nya malah masih tidur," ucap Fattan. Aira hanya tersenyum. "Kamu yang bangunin, ya, Ra ...." "Aira, Mom?" "Iya, kamu kan istrinya. Biar terbiasa." Sejujurnya Aira memang sudah dekat dengan mertuanya, tetapi dengan sang suami, dia masih ada jarak. Dan sekarang, dia diminta untuk membangunkan pria itu. Namun, untuk menolak pun rasanya tidak mungkin. Gadis itu akhirnya ke kamar suaminya. Ia mengetuk pintu lebih dulu. Karena tak mendapat jawaban, Aira membuka pintu. Benar saja, Fachri masih lelap tertidur. Di ranjang terlihat, tubuh telanjang pria itu yang ditutup selimut. Fachri memang biasa tidur dengan hanya menggunakan celana pendek. Melihat pemandangan di depannya membuat Aira merasa sungkan. Karena dia tidak memiliki kakak laki-laki. Jadi tidak pernah melihat pemandangan seperti di depannya. Dengan pelan, ia berjalan mendekati ranjang. "Kak ... Kak Fachri, Kak ... kata Mommy suruh bangun, Kak," ucapnya sambil berdiri. Namun, Fachri belum juga terbangun. "Kak ...," panggilnya lagi. Aira berdecak karena Fachri ternyata sangat sulit dibangunkan. Ia pun akhirnya menepuk lengan pria itu. "Kak! Disuruh bangun sama Mommy!" Fachri mengerjapkan mata. Ia terkejut ada Aira di hadapannya. Ia pun langsung terduduk. "Kamu ...." "Apa?! Aku disuruh bangunin Kakak sama Mommy. Jangan salah paham. Kalau nggak disuruh, aku nggak bakal berinisiatif masuk kamar ini," ucap Aira sebelum suaminya berpikir yang tidak-tidak. Namun, mata Aira refleks berhenti ke d**a Fachri di mana banyak bulu di sana. Maklum saja, ada darah timur tengah dalam tubuhnya. Fachri sadar akan hal itu. "Hei, anak kecil! Kamu liatin apaan coba?!" "Hah? Enggak, kok. Nggak liatin apa-apa. Cuma liat itu. Lebat banget, yak. Ayah sama Kak Saka nggak kayak gitu," jawab Aira sambil menunjuk d**a Fachri. "Tanya sama Daddy sana, kenapa punyaku bisa kaya gini." "Ih ... nggak penting juga." "Ya udah. Sana kamu keluar. Aku mandi dulu." Fachri memperhatikan Aira dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. "Istri dokter kok bentukannya gini, ya ...." "Apaan, sih?! Yang mau jadi istri dokter juga siapa?! Kalau Kak Fachri nggak mau, aku juga nggak masalah. Lebih baik malahan. Aku bisa fokus kuliah." Aira mencak-mencak karena tidak terima dikatai suaminya. "Bocil ... bocil. Gitu aja ngambek. Dah sana, keluar dulu." Dengan wajah yang ditekuk, Aira keluar dari kamar sang suami. Hatinya dongkol dengan sikap suaminya, yang sebenarnya lebih untuk bercanda. Hanya saja, Aira belum memahami karakter pria itu. *** Resepsi digelar. Tamu banyak yang datang. Rekan-rekan dan keluarga besar Niken, besannya, juga teman sekolah Aira. Dari pihak Fachri pun demikian. Rekan dokter mommy dan daddy-nya, teman kuliahnya, juga keluarga besar mereka, salah satunya Revan yang merupakan mantan suami mommy-nya, yang selalu menjalin hubungan baik. "Kalau liat Aira, aku tuh jadi inget sama kita dulu, Nau," ujar Saka, suami Naura, kakak Aira. "Inget apaan?" "Kita nikah juga karena nggak sengaja." "Itu sih karena kamunya yang cemen. Nggak berani ngaku cinta!" "Bukan nggak berani ngaku cinta, Nau ... tapi karena nggak mau kehilangan kamu aja." "Halah!" (Baca kisah Saka dan Naura, di cerita Saka dan Naura) Meskipun pernikahan terjadi karena paksaan, sebisa mungkin Aira dan Fachri tetap menunjukkan kebahagiaan. Karena mereka tentu saja tidak ingin mengundang perhatian yang bisa membuat keluarganya malu, terutama orang tuanya. Resepsi selesai. Semua keluarga pengantin pulang ke rumah Fattan dan Zahra lebih dulu. Mereka memang sengaja tidak menyewa hotel untuk si pengantin baru, karena mereka cukup paham, baik Aira maupun Fachri, pasti belum ingin untuk saling menyentuh. Apalagi Aira yang baru lulus sekolah. Namun, Zahra meminta langsung pada Farhan dan Niken, agar Aira tinggal di rumahnya, karena rumahnya memang benar-benar sepi. Berbeda dengan rumah Niken yang masih ada tiga anak yang masih sekolah. Aira memang memiliki tiga adik, ada Dira, Tasya, juga Andra. (Cerita mereka ada di Luka Hati Seorang Istri) Niken pun memberi izin. Karena ia tidak ingin terjadi masalah dengan sang besan. *** Untuk sementara, Aira menempati kamar tamu, sebelum ia benar-benar siap untuk satu kamar dengan Fachri. Awalnya tidak terjadi masalah. Namun, karena setelah sekian bulan belum terjadi perubahan, Zahra pun bertanya pada sang putra saat menantunya sedang kuliah. "Nak ... kamu kapan akan memulainya?" tanya wanita itu sehalus mungkin. "Memulai apa, Mom?" "Memulainya dengan Aira. Kalian kan sudah beberapa bulan menikah, masa belum ada perubahan sama sekali? Kamu lakukan pendekatan gitu, atau apa." "Kami belum siap, Mom." "Mikirin siap, kapan siapnya? Nggak perlu yang kayak rumah tangga lain, tapi setidaknya, kalian jangan jaga jarak, lah." Sebagai ibu, Zahra memang lebih memilih untuk mengarahkan putranya. Apalagi, di sini, Fachri-lah imamnya. "Fachri nggak jaga jarak, Mom. Kan Fachri antar-jemput Aira setiap hari juga kalau lagu nggak sibuk." Fachri terus saja beralasan. "Ah, susah ngomong sama kamu. Memang yang paling bisa nasihatin kamu itu cuma Daddy." Melihat sang ibu yang kecewa, Fachri pun langsung mencium wanita yang sudah melahirkannya itu. "Iya ... nanti Fachri akan ajak Aira untuk mulai tidur satu kamar." Senyum pun terbit di bibir wanita yang sudah lebih dari setengah baya itu, namun masih terlihat cantik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN