"Den."
"Hm."
"Kalau boleh tahu, Lo putus dari pacar Lo karena apa?" Mail menghentikan kunyahan nya.
Dia mendongak lalu memandang Atha yang sedang menatapnya. Menghela napas, dia menyimpan sendok nya lalu melipat tangan di meja.
"Selingkuh."
Atha mengedipkan mata, "Lo nggak ada niat buat maafin dia?"
"Slalu tapi kali ini dia udah keterlaluan. Dia tidur sama Kakak sahabat gua." Atha meringis.
"Tragis juga yah percintaan Lo."
"Yah mau gimana lagi, tadinya gua udah maafin dia dan mau balik lagi tapi ternyata dia keburu hamil jadi ...." Mail mengangkat bahunya dengan tidak melanjutkan kata-katanya.
"Secinta itu sama dia yah?"
"Gua kalau udah cinta sama seseorang apapun bakal di lakuin. Makanya Lo beruntung karena gua nawarin cinta gua, karena gua bakalan bucin sama Lo." Atha memutar bola matanya, malas.
"Belum tentu kan kalau gua cinta sama Lo?"
"Mana bisa begitu, Lo juga harus cinta sama gua." Protes Mail tidak terima.
Atha tertawa. Yah, kan kita tidak tahu ke depannya bagaimana. Selagi Mail menawarkan cinta memungkinkan bisa saja terjadi. Atha masih terbayang-bayang akan cinta yang Adit berikan. 10 tahun bukan waktu yang sebentar untuk kembali menjalin kasih dengan orang lain. Jika perempuan di luaran sana mengalami hal yang serupa, apa yang akan kalian lakukan? Tidak akan mudah mengganti orang yang 10 tahun bersama. Atha masih bertahap untuk kembali menyatukan hatinya. Dan yang pasti belum menemukan orang yang tepat untuk kembali memberikan hatinya.
Mail menatap wajah Atha yang tertawa. Wanita ini hebat bisik hatinya. Mereka sama-sama mengalami kisah yang sama-sama tragis. Sama-sama di selingkuhi dan hamil. Bedanya, Adit tidak sengaja sedangkan mantan kekasihnya dulu sengaja mengumbar.
"Lo cantik Non." Tawa Atha berhenti lalu memandang Mail dengan alis terangkat sebelah.
"Kenapa Lo?"
"Lo kalau ketawa makin cantik."
"Apaan sih Lo." Atha melemparkan gulungan tisu.
"Terus bahagia yah dan gua harap tawa bahagia Lo itu sama gua." Atha tertegun menatap mata Mail yang menatapnya dengan serius.
Atha menggeleng. Jangan sampai terbawa perasaan. Mail dan dia sama-sama dalam kondisi hati yang sedang kacau. Anggap saja ucapan Mail barusan hanya angin lalu saja.
"Receh banget." Cibir Atha kembali fokus pada makan nya.
"Bukan receh tapi harapan gua yah semoga Lo takdir gua."
"Apaan sih Lo." Walaupun begitu tanpa Mail sadari Atha mengaminkan ucapan pria itu di dalam hatinya.
"Udah selesai makannya?" tanya Mail.
"Udah. Kenapa?"
"Bolos yuk?"
"Gila Lo yah, kita ini bukan anak SMA lagi Mali." Ketus Atha.
Heran Atha, ngajak bolos tanpa ada dosa sama sekali bagaimana bisa? Mereka ini sudah dewasa, tanggungjawab mereka dua kali lipat dari masa-masa dulu. Tapi Mail seperti tidak ada beban mengajaknya bolos. Pria itu pikir, mudah begitu saja bolos di jam kerja. Atha ini cuman karyawan biasa mana bisa seenaknya bolos.
"Kapan lagi yah kita bolos."
"Nggak! Gua mana bisa bolos."
"Kenapa?"
"Sinting ya Lo. Gua ini cuman karyawan biasa, mana bisa gua bolos gitu aja." Amuk Atha sambil meraih dompet miliknya.
Mail ikut bangkit lalu mengikuti langkah Atha yang berdiri di depan kasir.
"Meja nomor 7 Mbak."
"Di tunggu sebentar Mbak." Kepala Atha mengangguk.
Mail melingkari tangannya di pinggang Atha, "Ayo dong Non sehari aja."
Atha menepis tangan Mail, "Nggak usah ngerengek, nggak cocok."
"Non." Atha tidak menggubrisnya.
"Jadi berapa Mbak?"
"Totalnya 365.000 Mbak."
"Ini Mbak." Mail memberikan kartunya di saat Atha membuka dompetnya.
"Non ayo." Mail masih tidak menyerah, dia terus merengek membuat beberapa pengunjung menatap mereka.
"Mali sumpah elu malu-maluin banget anjir."
"Bodo amat." Wajah Atha sudah memerah. Bahkan penjaga kasir pun terlihat mengulum senyum. Ajakan Mail terlihat seperti kata-kata m***m dengan nada rengekan hanya karena ingin bolos bersama.
"Ini Mbak."
"Terima kasih Mbak." Atha meraih kartu Mail lalu meninggalkan pria itu dengan melangkah tergesah.
Mail cemberut tidak suka. Apa salahnya sih mereka bolos? Mail hanya ingin mengajak Atha berkunjung ke apartemennya lalu menghabiskan banyak waktu berdua di sana. Mail sebenarnya bukan tipe pria yang betah di rumah tapi semenjak dia berhubungan dengan Atha tidak buruk hanya berdiam diri di rumah. Biasanya Atha slalu menyalakan Netflix lalu mereka akan menghabiskan waktu dengan menonton berjam-jam. Apa saja yang di tonton dengan pop corn besar, yang di buat khusus Atha. Mail yang sering keluyuran sekarang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Pengaruh Atha ternyata kuat untuk pria sepertinya.
"Balik sana." ujar Atha.
"Bolos aja yuk?"
"Nggak!"
"Sekali aja."
"Bolos ngantor emang mau ngapain?" tanya Atha sambil menghentikan langkah.
Mail berdiri di hadapan Atha lalu tersenyum lebar, "Main ke apartemen gua."
"Ngapain?"
"Beres-beres apartemen gua dong."
"Di pikir gua babu apa?" Mail lalu menarik tangan Atha mendekat.
"Mali apaan sih?" Atha meronta.
"Bilang iya dulu nanti gua lepasin."
"Nggak."
"Gua cium nih?" Atha memutar bola matanya.
"Lo nggak akan berani."
"Nantangin nih."
"Udah lepasin." Mail mendekat bahkan memajukan wajahnya.
Atha panik, dia menatap sekelilingnya yang sudah mengeluarkan ponsel mereka. Bisa-bisa mereka masuk berita karena melakukan tindakan yang tidak senonoh.
"Iya, iya, iya, kita bolos." Mail tersenyum.
"Dari tadi kek." Setelah itu Mail merangkul pundak Atha.
Atha menghela napas, ternyata lebih capek berpacaran dengan pria ini. Mail tipe pria yang tidak bisa di tolak ajakannya. Sebelum mendapatkan itu dia akan terus bertingkah laku seperti barusan hingga korbannya berkata iya. Bagaimana nanti Atha bilang pada Kemal? Masa dia berasalan sakit lagi. Kembali menghela napas, biar dia pikirkan nanti.
???
"Lain kali kalau punya apartemen di jaga jangan berantakan kaya gini." Dumel Atha tidak suka saat melihat bagaimana berantakannya apartemen Mail. Ucapan Mail yang menjadikannya babu ternyata sungguh-sungguh.
Mail meringis, telinganya sungguh panas mendengar omelan dari Atha namun dia tidak membuka suara sama sekali. Menyenangkan sekali mendengar omelan kekasihnya. Bibirnya mengerucut lalu bersin berkali-kali karena debu yang menumpuk.
"Udah sini biar gua aja." Mail meriah kemoceng, kasihan melihat Atha yang begitu tersiksa.
Atha memang tidak suka jika ada debu sedikit pun. Rumahnya bahkan slalu bersih jauh dari noda dan debu. Atha memiliki alergi debu maka dari itu apapun harus terlihat bersih. Saat masuk apartemen saja Atha sudah bersih berkali-kali.
Capek kerja ×
Capek bersin-bersin √
Dengan kaos dan celana pendek milik Mail, Atha membuka kulkas dan langsung menutup hidung.
"Sorry, itu udah beberapa Minggu lalu."
"Ya Tuhan." Atha mengusap wajah lalu meraih kresek untuk memasukan bahan makanan yang basi.
Ada banyak makanan namun semuanya sudah basi. Entah berapa Minggu makanan itu ada di dalam kulkas. Kulkas Mail penuh dengan kaleng soda dan beberapa makanan instan. Atha memang menyukai makanan instan tapi jika terlalu berlebihan dia masih menyayangi lambungnya.
"Lo nggak pernah nyewa Art apa?"
"Biasanya Mama yang sering beresin."
"Dosa banget Lo nyuruh nyokap yang bersihin."
"Nyokap sendiri yang inisiatif."
"Bisa nggak sih di kurangin sifat manja nya? Lo udah dewasa, nyari Art kek kalau udah begini." Mail mengangguk-angguk.
"Jangan angguk-angguk aja."
"Terus harus gimana?" tanya Mail.
"Nggak tau. Gua cuman ingetin aja sih." jawab Atha yang sudah membawa kresek sampah itu ke tong sampah.
Saat di buka Atha mendesis sinis, "Maliiiiiiiii ish."
Mail menoleh lalu meringis melihat isi sampahnya yang menggunung.
"Nggak mau ah, tuh urus sendiri." Atha menyimpan sampahnya di lantai lalu pergi ke tempat lain.
Kamar Mail sudah di bersihkan beberapa jam yang lalu dan sekarang hanya tinggal dapur dan ruang tamu. Atha tidak bisa diam jika ruangannya kotor. Bisa-bisanya Mail tidur di tempat kotor seperti ini. Mungkin jika Atha dia lebih baik mengsungsi ketempat lain.
Hachi
Mail menoleh. Dia menyimpan kemoceng nya lalu mendekat ke arah Atha.
"Udah kita panggil Art Mama aja ke sini."
"Nggak apa-apa, cuman tinggal dikit lagi."
"Tapi idung Lo udah merah gitu."
"Nggak apa-apa." ujar Atha sambil meraih kaos Mail dan menyusut hidungnya di sana.
"Jorok anjir."
"Hahaha." Walaupun begitu tetap saja Mail mengusap hidung Atha dengan hati-hati.
"Harusnya Lo bilang kalau nggak suka debu."
"Lo nggak nanya." Kepala Atha terkulai lembut di lengannya. Mereka memilih beristirahat sebentar.
"Masa harus gua tanya dulu baru bilang."
"Ya udah sih, udah ini." Gerutu Atha tidak mau memperpanjang masalah.
Atha mengusap hidungnya yang terasa gatal. Begitu menyiksa, baru kali ini dia beres-beres tempat yang terlihat mewah namun penuh debu. Atha punya rumah kecil saja di jaga, kenapa Mail punya apartemen yang lebih besar dari rumahnya jorok sekali?
Mail menatap Atha yang matanya meredup. Dia mengusap mata dan alis itu. Tidak lama mata itu tertutup sepenuhnya. Mail mengusap pipi Atha yang memerah. Dengan lembut dia meraih tubuh Atha membawanya masuk ke dalam dalam miliknya. Menidurkan Atha di ranjangnya lalu menyelimutinya sebatas pinggang. Mail mengusap tangan itu dengan halus dan mengecupnya pelan.
"Mimpi indah."