Atha membuka matanya lalu menatap sekelilingnya. Terdiam beberapa saat untuk mengumpulkan nyawa hingga dia tersentak kaget, bangun secara tiba-tiba. Kamar siapa ini? Kamar miliknya tidak dominan berwarna abu.
"Kenapa sih?" Atha menoleh mendengar suara bariton seseorang, hampir saja dia berteriak jika tidak tahu siapa orang di sampingnya.
"Mali ish."
"Apa?"
"Jam berapa sekarang?" Mail mengucek matanya lalu menguap setelahnya. Tangannya merambat mencari ponsel miliknya.
"23.45."
"Ya Tuhan berapa jam gua ketiduran?"
"Hampir 7 jam lamanya." Atha menjatuhkan tubuhnya kembali ke ranjang. Menatap langit-langit kamar dengan perasaan gamang luar biasa.
Mail mendekat lalu memeluk tubuh Atha erat. Menenggelamkan wajahnya di bahu wanita itu. Mail benar-benar kaget saat Atha terbangun.
Kryuk
Suara bunyi perut Atha membuat Mail membuka matanya kembali. Dia memandang Atha yang tersenyum.
"Laper Lo?"
"Iyalah. Kita makan tadi siang dan sekarang udah lewat jam makan malem."
"Mau delivery aja?"
"Setengah dua belas yah, di sini biasanya kalau pedagang kaki lima masih buka nggak?" Mail mengendurkan pelukannya.
"Mau keluar?"
"Kayanya enak sambil jalan-jalan aja." Mail berdecak.
"Lo emang beneran kurang kerjaan, jalan-jalan tengah malem." Gerutu Mail sambil bangkit berdiri.
"Mau kemana?"
"Katanya mau jalan-jalan?" Senyum tercetak di bibir Atha. Wanita itu bangkit menyingkap selimut lalu berlari masuk ke kamar mandi mendahului. Mail menggelengkan kepala ikut masuk ke kamar mandi.
"Jaket di lemari paling bawah." ujar Mail saat melihat Atha sudah mencuci mukanya.
"Iya." Giliran Mail yang mencuci muka sekarang.
Atha mencari jaket yang sesuai ke inginan nya. Lalu dia menarik salah satu jaket yang menurutnya bagus dan memakainya.
"Celana tidur Lo dimana?"
"Ada di bagian kanan ketiga." Atha menggeser tubuhnya ke arah yang di tunjuk Mail.
"Ketemu." Senyum mengembang di bibirnya.
Atha meraih salah satu yang kembali menurutnya menarik. Pakaian Mail lumayan tertata rapih dan sepertinya ada beberapa baju yang baru di beli melihat masih ada lebel di bajunya. Yah walaupun di tubuhnya terlihat kebesaran tapi tidak masalah.
"Nggak apa-apa kegedean dari pada gua kedinginan kan yah." ujarnya pada diri sendiri.
"Ketemu?" Atha terlonjak kaget lalu memukul d**a Mail.
"Kaget gua."
"Sorry." Mail meraih jaket lalu memakainya.
"Let's go." Teriak Atha dengan gembira.
Mail tersenyum melihat Atha melangkah di depannya. Terkadang di saat Mail sedang merenung dia berpikir bagaimana bisa bertemu dengan sosok wanita periang seperti Atha. Mail memiliki banyak wanita sejak saat dulu, jika dia bosan hanya perlu tinggalkan setelahnya mencari lagi. Tetapi semua kebiasaan buruknya berubah semenjak bertemu dengannya mantannya. Mail menjadi pria setia pada pasangannya. Terlalu mencintai hingga menutup mata atas apa yang di lakukan mantannya dulu. Sampai pada akhirnya Mail sendiri sadar, pengkhianatan yang di lakukan mantannya membuat hatinya patah. Patahnya lebih dua kali lipat. Sakitnya bahkan lebih parah. Mail tahu sekarang hatinya belum sepenuhnya sembuh tapi mereka sedang menjalaninya untuk menyembuhkan satu sama lain. Begitu susah untuk Move on dari sang mantan.
"Mau makan dimana?" tanya Atha yang sekarang mereka sudah masuk ke dalam lift.
"Gua nggak tahu. Restoran yang sering gua kunjungi kayanya jam segini udah tutup."
"Lo nggak pernah makan makanan pinggir jalan?"
"Pernah."
"Terus kenapa nggak tau?"
"Kan waktu itu makan bareng Lo." Atha menoleh kaget.
"Lo baru pertama kali?" Kepala Mail mengangguk.
Atha menutup mulutnya. Sekaya apa sih Mail sampai dia tidak tidak pernah makan makanan pinggir jalan? Atha tahu Mail anak orang kaya, Orang tuanya saja pemilik gedung sebelah tentu saja mana pernah pria ini mengalami susah.
"Lo nggak pernah makan Cilok?" Kepala Mail menggeleng.
"Es serut?" Masih menggeleng.
"Telur gulung?"
"Emang telur bisa di gulung yah?" Atha tersenyum dengan paksa mendengar nada polos itu.
Atha menganggukkan kepala, mencatat jika Mail tidak pernah memakan makanan pinggir jalan. Atha jadi tidak yakin untuk mengajak Mail makan di pinggir jalan. Waktu itu saja Mail protes mungkin dia bingung dengan makanan nya. Atha kan cuman rakyat kecil di banding makan di restoran lebih baik makan di tempat yang banyak namun murah di kantong.
"Non kenapa nggak di jawab?" Mail menoleh, melihat Atha yang malah melamun.
"Apa?"
"Emang ada yah telur di gulung?"
"Lo beneran nggak tau?"
"Nggak."
"Lain kali deh gua ajak. Jadi mau makan dimana?"
"Terserah." Atha menghela napas.
"Jangan terserah. Kita itu beda lidah masalahnya."
"Beda lidah gimana sih Non?" Mereka keluar dari lift.
Keadaan benar-benar sepi hanya ada beberapa satpam yang berjaga. Maklum apartemen yang di tepati Mail termasuk elit. Masuk ke sini saja mesti di periksa secara keseluruhan. Bahkan tas Atha saja di bongkar untuk berjaga-jaga. Meminta kartu KTP untuk di photo copy. Ribet lah tapi memang Apartemen nya nyaman untuk di huni.
"Lidah gua anak kampungan dan lidah Lo anak Sultan." Salah satu alis Mail terangkat.
"Iya dong, nggak level gua makan di pinggir jalan." Niat Mail hanya bercanda namun ternyata hal itu menyinggung Atha.
"Kalau gitu kita emang nggak cocok." ujar Atha yang menghentikan langkahnya.
"Kok gitu?"
"Lo nggak akan pernah bisa di ajak hidup susah nantinya. Gua tau Lo anak orang kaya jadi rasanya percuma mau berjuang bersama. Gua tipe orang yang apa-apa slalu berjuang dan pikiran kita juga kayanya sejak awal juga udah beda." Setelah mengatakan itu Atha pergi dengan langkah tergesa-gesa.
Mail termenung hingga dia melangkah menyusul Atha.
"Non tunggu sebentar." Mail menangkap lengan Atha.
"Apalagi?"
"Lo kok ngomong gitu sih?"
"Udah yah Mail, gua mau pulang." Atha melepaskan genggaman tangan Mail.
"Gua nggak akan lepasin Lo sebelum ngomong ada apa?" Atha mendongak menatap Mail dengan pandangan berkaca-kaca.
"Nggak ada yang perlu di omongin lagi, sekarang lepasin gua!" Mail bukan orang yang akan mengalah begitu saja. Katakan dia egois karena memang itu sudah sifatnya.
"Lo ini kenapa sih aneh banget?" Atha tidak menjawab dia memalingkan wajahnya.
Atha menarik napas pelan untuk menetralkan perasaannya. Lalu kembali memandang Mail dengan senyum melengkung di bibirnya.
"Kamar mandi di sini, dimana?" Kening Mail mengerut.
"Ngapain?"
"Mau pipis gua." Mail menatap tidak percaya Atha.
"Cepetan ini nggak kuat."
"Di ujung." Atha melepaskan genggaman tangan Mail lalu berlari kecil.
Atha mengusap air matanya yang mengalir dari sudut matanya. Kata-kata Mail barusan seakan menampar dirinya tanpa sadar. Yah benar mereka berbeda. Mail mana mau makan bersama dengannya di pinggir jalan. Salah satu alasan kenapa Atha begini karena dia insecure. Atha tidak tahu siapa orang tuanya dan bukan anak orang kaya. Jika Atha berhubungan dengan anak orang kaya kemungkinan akan menjadi banyak pertanyaan. Belum lagi Mail yang memiliki peran penting di dunia bisnis. Bersama Adit, Atha tidak sampai seperti ini tapi kenapa dengan Mail berbeda. Atha bukan pergi ke kamar mandi tapi dia mencari jalan keluar dari gedung besar ini. Berdiri di pinggir jalan mencari taxi yang masih bisa dia tumpangi. Atha mengigit bibir bawahnya saat taxi yang di harapkan nya tidak terlihat. Jalanan cukup sepi membuat dia mengigit bibirnya.
"ATHA?!" teriakan itu sontak membuat Atha terkejut. Dia membulatkan matanya saat melihat Mail berlari ke arahnya. Kakinya bergetar, dia berdoa semoga taxi yang di tunggu datang.
Harapan Atha terkabul, sebuah Taxi berhenti di sampingnya. Atha langsung masuk dengan cepat meminta sang supir berjalan. Atha menutup telinganya saat mendengar teriakan Mail yang masih terdengar.
"Mbak nggak apa-apa?" Atha membuka tangannya dari telinga.
"Nggak apa-apa Pak."
"Pacarnya Mbak?" Atha tidak tahu harus menjawab apa.
Sang supir taxi mengangguk paham, "Kalau Mbak ngerasa nggak nyaman dan dia lakuin sesuatu mending lapor polisi aja."
Atha mengerutkan kening lalu menatap menampilkannya yang acak-acakan. Supir taxi ini pasti salah paham.
"Terima kasih Pak."
"Sama-sama Mbak. Mau di anter kemana Mbak?"
"Jalan Senopati Pak."
"Baik Mbak." Atha menghela napas. Dia mengusap wajahnya.
Dia benar-benar ketakutan saat melihat Mail berlari seperti orang kesetanan menghampirinya. Atha tidak tahu bagaimana sifat Mail sebenarnya. Bisa-bisanya dia menerima pria itu padahal mereka belum tahu satu sama lain. Terserah! Untuk sekarang Atha akan tidur di apartemen Cassandra saja. Mail pasti akan mencarinya ke rumah jika dia pulang ke rumah.