Bab 6 - Tanpa Perceraian

1527 Kata
Pertama kali memasuki rumah Reyhan, bohong jika Viola tidak merasa kagum. Rumah pria yang kini menjadi suaminya itu tidak hanya mewah dari luar, tapi dari dalam juga. Benar-benar tipe rumah idaman. Sampai detik ini Viola masih merasa apa yang terjadi hari ini hanyalah mimpi belaka. "Mau makan dulu atau ganti baju dulu? Ah, atau mau mandi buat ngusir keringat? Pilih salah satu sebelum ke pembicaraan serius." tanya Reyhan saat Viola sedang sibuk memperhatikan sekeliling ruang tamu. Viola dan Reyhan memang sudah tidak mengenakan pakaian pengantin lagi. Namun, tetap saja mereka harus berganti pakaian yang lebih santai. Lagi pula bisa-bisanya Reyhan bertanya tentang itu sedangkan Viola tidak punya baju ganti. "Aku lupa, kamu pasti kepikiran baju gantinya, kan? Tenang aja, di kamar udah tersedia banyak. Untungnya ukuran tubuh kamu ukuran standar, jadi aku rasa muat," jelas Reyhan menambahkan. Ya, tubuh Viola memang tidak kurus maupun tidak gemuk. Viola mengernyit. "Itu punya siapa?" "Punya kamulah." "Jangan bohong." Tentu saja Viola tidak percaya. "Aku memang membeli dan sengaja mempersiapkannya untuk calon istriku. Berhubung kamu udah menjadi istriku ... tentu semuanya resmi jadi milik kamu semua sekarang," jelas Reyhan. "Selain itu rumah ini juga otomatis milik kamu. Jadi jangan sungkan, oke?" Bagaimana mungkin Viola tidak sungkan? Sungguh, ia merasa Reyhan bukan sekadar aneh. Tapi super super super aneh! "Itu pasti pakaian yang seharusnya milik calon istri sebenarnya, kan," komentar Viola. "Iya, tapi bagiku 'calon istri' udah nggak penting lagi, karena udah ada istri sebenarnya. Ingat ya Viola, meskipun kamu itu menggantikan posisi Renata, tapi status kamu lebih tinggi dibandingkan dia. Dia itu cuma calon istri, sedangkan kamu istriku," ujar Reyhan. "Lagian ralat, maksudnya Renata itu udah mantan. Jadi jangan pernah berpikir kalau semua hal yang kini menjadi milikmu itu seharusnya milik dia. Pokoknya jangan." Kalau sudah begini, Viola bingung sendiri harus merespons apa. "Oke, mari lupakan segala tentang Renata atau Bram. Mari fokus ke kehidupan baru kita," tambah Reyhan. "Sampai kapan kita harus menjalani pernikahan aneh ini?" "Itu adalah inti pembahasan yang harus kita bicarakan. Makanya aku tadi mempersilakan kamu memilih di antara ganti baju, makan atau mandi dulu. Kita nggak bisa membahas dalam keadaan seperti sekarang karena sejujurnya aku pengen mandi dulu." "Ya udah, kita mandi dulu aja," putus Viola. "Kita?" tanya Reyhan dengan tatapan yang sulit diartikan. "Maksudnya silakan kamu mandi dulu, nanti gantian." "Kenapa nggak bareng aja?" "Astagaaa." Viola langsung memberikan tatapan kesal. "Maksudnya di kamar mandi yang berbeda," potong Reyhan cepat. "Jangan bilang kamu berpikir kalau rumah sebesar ini hanya punya satu kamar mandi." Viola berusaha menstabilkan ekspresinya. Ia tidak mau terlihat gugup apalagi ketahuan wajahnya merona. Ia tidak menyangka Reyhan sanggup memberikan lelucon bodoh seperti itu. Padahal ia kira pria itu akan lebih banyak diam. Ternyata malah sebaliknya. Parahnya lagi, cara Reyhan berbicara pada Viola seakan-akan pria itu sudah sangat mengenal Viola. "Sekarang tunjukkan di mana kamarku," pinta Viola setelahnya. "Dengan senang hati." Reyhan pun mempersilakan Viola untuk mengikutinya ke lantai dua. Selama berjalan, hanya ada keheningan di antara mereka. Sampai kemudian mereka tiba di sebuah kamar yang sangat luas. Semakin masuk, Viola menyadari kalau kamar itu memiliki fasilitas yang lengkap dan mewah. Lebih mewah dari hotel bintang lima. Mungkin Viola hanya melihat kamar-kamar seperti ini melalui film atau drama yang biasa ditontonnya. Dan kali ini ia benar-benar melihatnya langsung. Terlebih ini adalah kamarnya. Catat, kamar seorang Viola Alexandra! Entahlah, mendadak jadi istri Reyhan itu termasuk musibah atau anugerah, Viola tidak punya waktu untuk memikirkan hal itu sekarang. "Silakan mandi di situ." Reyhan berkata sambil menunjuk pintu kamar mandi. "Walk in closet-nya di sana," tambahnya seraya menunjuk ke arah lain. Viola memilih tidak menjawab. Lagian ia tidak mungkin berterima kasih di saat-saat seperti ini. "Kalau gitu aku keluar dulu. Aku juga mau mandi," pamit Reyhan. Setelah mengatakan itu, Reyhan pun pergi meninggalkan Viola. Sementara Viola, selama beberapa saat ia masih tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Sungguh, ini masih seperti mimpi meskipun berkali-kali ia meyakinkan diri kalau semua yang terjadi itu nyata. *** Setelah Viola dan Reyhan selesai mandi, mereka memutuskan makan malam terlebih dahulu. Setelah itu, keduanya akan benar-benar berbicara serius. Tidak terasa, saat ini mereka berdua sudah berada di ruang kerja Reyhan. Viola awalnya bingung saat Reyhan mengajaknya ke sebuah ruangan, tapi saat tahu kalau itu adalah ruang kerja pribadi Reyhan, ia mulai menerka-nerka apa yang sebenarnya Reyhan inginkan. "Kenapa kamu bawa aku ke sini?" "Duduk dulu," balas Reyhan sambil menunjuk kursi yang ada di hadapan kursi kerjanya. Mereka pun duduk dan hanya dipisahkan oleh meja kerja Reyhan. Reyhan lalu memberikan sebuah kertas kosong dan pulpen pada Viola, membuat Viola kebingungan tentang maksud pria itu sebenarnya. "Kamu boleh tulis apa pun yang kamu inginkan dari pernikahan kita. Aku pertegas ... apa pun, tanpa kecuali. Sebanyak-banyaknya tanpa batas, jadi tulis aja sampai kamu nggak kepikiran apa lagi yang ingin ditulis." "Apa yang aku inginkan dari pernikahan kita? Contohnya apa?" Jujur, Viola bertanya begini karena benar-benar tidak mengerti dengan arah pembicaraan Reyhan. "Kamu udah lupa? Keinginan pertamamu adalah terhindar dari rasa malu dan terbebas dari utang yang cepat atau lambat akan menjerat. Itu sebabnya kamu bersedia menikah sama aku, kan?" "Aku perjelas ya ... itu bukan keinginanku, lebih tepatnya itu kesepakatan yang kamu tawarkan kalau aku bersedia menjadi istri kamu. Bukankah kamu sendiri yang bilang kalau pernikahan kita itu simbiosis mutualisme?" "Oh ya? Maaf kalau aku salah mengira. Terserah kalau kamu menganggap itu keinginan atau kesepakatan. Pokoknya sekarang kalau kamu ada sesuatu yang ingin dibuat 'kesepakatan' lagi, tulis aja. Apa pun tanpa kecuali. Aku akan coba kabulkan." "Tunggu, apa kamu akan membuatkan kontrak pernikahan kalau aku udah menuliskan apa aja yang aku mau?" tanya Viola. Ya, baginya ini kemungkinan yang masuk akal. Mereka tidak mungkin hidup bersama dalam waktu lama, entah cepat atau lambat ... bukankah seharusnya mereka bercerai sekaligus mengakhiri pernikahan gila ini? "Buat apa? Ini bukan pernikahan kontrak." Viola mengernyit. "Terus?" "Kita udah resmi menikah, mendadak atau nggak, juga bagaimana pun jalannya ... tetap aja fakta kalau kita suami-istri yang sah nggak bisa terhindarkan. Aku nggak kepikiran kalau pernikahan kita akan menjadi pernikahan kontrak." "Maksud kamu apa?" "Sejak awal, aku ingin menikah sekali seumur hidup. Kapan pun itu dan siapa pun wanitanya bukanlah masalah. Dan kebetulan kamu yang menjadi istriku, jadi ya selamanya kamu akan menjadi istriku." Tentu saja ini mengejutkan bagi Viola. Sungguh, jika kalimat itu keluar dari mulut pria yang Viola cintai mungkin akan sangat manis. Namun, kalimat tersebut baru saja keluar dari pria asing. Jelas terasa aneh kedengarannya. Jujur saja Viola mengira dirinya akan menikah dengan pria yang saling mencintai dengannya. Sayangnya takdir berkata lain. Viola merasa takdir ini benar-benar konyol. Viola sengaja tertawa. Lebih tepatnya tertawa yang dibuat-buat. "Aku yakin seratus persen kamu lagi membuat lelucon bodoh. Kamu bercanda, kan?" "Aku seratus persen serius." Viola merasa ... untuk ukuran pria kaya sekaligus tampan, sungguh Reyhan sangatlah sembarangan dalam mencari istri. Kebetulan Viola yang ada di sana, bagaimana kalau wanita lain? Apa Reyhan sungguh akan menikahi siapa pun demi jabatan yang diinginkannya? "Sebenarnya ... apa arti pernikahan bagi Reyhan, sih?" batin Viola. "Sepertinya kamu nggak percaya kalau aku serius," sambung Reyhan. "Kamu pikir aku sepolos itu sampai percaya hal konyol yang kamu katakan?" "Aku bisa membuktikan keseriusanku." "Dengan cara?" "Buktinya aku mempersilakan kamu menulis apa pun yang kamu inginkan tanpa kecuali." "Apa itu bisa disebut bukti?" "Tentu iya. Kalau aku nggak serius, buat apa aku mempersilakan kamu menulis apa pun yang diinginkan? Juga, buat apa aku repot-repot mengabulkan keinginan kamu setelahnya?" "Sulit dipercaya," balas Viola sambil menggelengkan kepalanya berulang kali. "Baiklah, kalau masih nggak percaya, sangat wajar kok. Biarkan semua terbukti seiring berjalannya waktu. Sekarang, kamu bebas mengisi kertasnya kapan aja. Kamu pasti perlu berpikir apa yang benar-benar kamu inginkan sebelum fix menuliskannya di kertas. Jadi, serahkan kertas yang udah terisi nanti saat kamu benar-benar siap ya, setelah itu kita bisa lanjut membicarakan tentang masa depan pernikahan kita." Di satu sisi Viola tidak memercayai ucapan Reyhan. Anehnya, di sisi lain tatapan pria itu sangat meyakinkan seolah sedang berkata tulus dan jujur. Astaga. Viola tidak boleh lengah apalagi terbuai! Reyhan memang suaminya, tapi fakta bahwa pria itu baru dikenalnya pada hari yang sama semenjak mereka resmi menikah tidak boleh dilupakan sama sekali. "Sebelum kamu kembali ke kamar, ada satu hal lagi yang mau aku katakan," ucap Reyhan yang otomatis mengurungkan niat Viola untuk meninggalkan ruangan ini. "Sementara kamu dibebaskan menulis segala keinginan tanpa batas, aku juga udah menuliskannya. Bedanya kalau aku hanya satu keinginan." Entah kenapa, Viola jadi deg-degan sekaligus penasaran. "Cuma satu yang aku inginkan," ulang Reyhan seraya menyerahkan sebuah kertas yang sudah dilipat. Sebenarnya Viola tadi sempat melihat Reyhan menuliskan sesuatu saat mereka baru saja masuk ke ruangan ini. Hanya saja, Viola tidak menyangka kalau yang Reyhan tulis adalah keinginannya dalam pernikahan ini. Meski ragu, Viola menerima kertas pemberian Reyhan. "Kamu boleh membukanya sekarang. Atau kalau mau buka di kamar juga silakan." Viola menggeleng. Untuk apa repot-repot ke kamar hanya untuk membuka kertas ini? Viola tidak sesabar itu. Ia pun kemudian membuka kertas tersebut. Mata Viola sontak melebar saat membaca isi tulisannya. "Aku mau pernikahan ini berjalan selamanya sampai kita sama-sama menua. Dalam kata lain, tidak akan pernah ada perceraian di antara kita." Tuhan ... kenapa Reyhan menginginkan hal seaneh itu dalam pernikahan yang tidak pernah diharapkan ini? Viola harus bagaimana?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN