Kesalahan utama Viola adalah terlalu percaya. Ia begitu yakin bahwa Bram merupakan pria baik sehingga tidak pernah mengira kalau apa yang pria itu lakukan hanyalah bagian dari cara untuk membodohinya.
Viola terlalu yakin kalau Bram akan menjadi pasangan hidupnya selamanya. Itu sebabnya ia terbuai, tidak menaruh sedikit pun keraguan atau rasa curiga pada pria itu.
Sampai Bram mengajaknya mengambil pinjaman besar demi bisa melakukan resepsi mewah dengan dalih menikah itu sekali seumur hidup jadi harus menjadi momen tak terlupakan, Viola sama sekali tidak curiga. Padahal pinjaman itu ditujukan atas nama Viola sendiri.
Setelah uangnya cair, selayaknya orang yang terhipnotis, Viola memercayakan sepenuhnya pada Bram untuk mengelola uang tersebut.
Sekarang, yang tersisa hanyalah utang besar yang harus Viola bayar agar rumahnya tidak sampai disita.
Menerima tawaran Reyhan untuk menikah menjadi solusi dari ke-frustrasian Viola. Ia bersyukur pria itu tidak ingkar janji untuk membereskan masalah utang ini. Lebih cepat lebih baik karena Viola takut papanya tahu. Syukurlah Reyhan menjanjikan paling lambat sore ini persoalan tentang utang beres.
Semua rencana tampak indah. Namun sayang, kenyataannya tidak sejalan. Baru saja Viola menerima kabar dari Lenna bahwa sang papa masuk rumah sakit.
Lenna menceritakan bahwa sang papa terkejut saat kedai didatangi oleh para penagih utang.
Hal yang membuat Viola bingung adalah ... Lenna bilang, para penagih utang itu lebih mirip preman. Bagaimana tidak, saat sedang proses pinjam-meminjam, Viola datang ke kantornya langsung yang terlihat seperti kantor resmi. Ia tidak menyangka akan ditagih dengan cara seperti itu. Parahnya lagi, mereka datang ke kedai.
Sang papa yang tidak tahu apa-apa jelas terkejut. Pria itu yang memang memercayakan sertifikat rumah dipegang oleh Viola, jelas nyaris tidak percaya dengan kekacauan ini. Ia pun memutuskan pulang ke rumah untuk mengeceknya sendiri, karena seingatnya, kertas berharga tersebut disimpan di kamar Viola.
Penyakit jantung sang papa memang tidak kumat. Namun, pikiran yang kalut membuatnya tidak konsentrasi dalam menyetir motor sehingga kecelakaan itu terjadi.
Itu saja sudah membuat Viola menangis karena merasa bersalah. Dan yang membuat tangisnya semakin menjadi-jadi adalah ... sang papa dinyatakan kritis.
Viola tidak ingin sampai terjadi hal buruk pada papanya, terlebih ia belum menjelaskan apa pun. Viola takut.
Di saat tangisnya semakin tak terkendali, Reyhan menghampirinya dan mengatakan akan mengantarnya ke rumah sakit. Pria itu bahkan merangkul tubuh Viola, memberikan sedikit ketenangan sekaligus kenyamanan. Reyhan membuat Viola tidak merasa sendirian.
***
Tiba di rumah sakit, lebih tepatnya di depan ruang operasi, Viola disambut oleh Lenna dan ibu tirinya. Perasaan Viola semakin tak menentu saat melihat dua wanita itu menunduk sedih.
Viola masih ngos-ngosan karena harus berlari lantaran tidak sabar ingin mengetahui kondisi sang papa.
Tanpa bertanya pun, Viola sepertinya tahu separah apa kondisi papanya. Namun, ia tetap menanyakannya, "Gimana keadaan papa, Ma? Len?"
Eriska, ibu tiri Viola hanya menggeleng. Sementara Lenna tidak jauh berbeda. Raut frustrasi tampak jelas di wajah mereka.
Viola terduduk di lantai. Menyalahkan diri sendiri bukanlah cara untuk mengubah segalanya. Hanya saja, Viola sadar betul ini merupakan kesalahannya.
Tak lama kemudian, datanglah Reyhan yang memang membiarkan Viola masuk lebih dulu lantaran dirinya harus memarkirkan mobilnya.
Pria itu langsung berjongkok di hadapan Viola. Mengulurkan tangannya untuk mengajak Viola berdiri.
Selama beberapa saat Viola mendongak, menatap Reyhan yang jauh lebih tinggi darinya.
"Bangun," kata Reyhan lembut.
Tanpa peduli siapa Reyhan, juga tentang status pernikahan mereka, Viola pun menyerahkan tangannya untuk digenggam oleh suaminya.
Perlahan, Reyhan membantu Viola bangun sampai wanita itu benar-benar berdiri.
Di saat yang bersamaan, seorang dokter menghampiri Lenna dan ibunya. Tentu saja Viola dan Reyhan pun langsung ikut merapat.
Selama beberapa saat mereka mendengarkan penjelasan sang dokter. Sampai kemudian, ketika dokter memberi tahu tentang kondisi papa, semuanya lantas terkejut. Lenna dan ibunya sontak histeris, sedangkan Viola seolah kehilangan seluruh tenaganya.
Viola merasa ini lebih parah dibandingkan saat mengetahui Bram kabur dan dirinya ditipu WO. Ya, Viola bukan hanya merasa kehilangan seluruh tenaganya, melainkan seakan kehilangan segalanya.
Bagaimana tidak, yang didengar Viola merupakan kabar buruk. Sangat buruk. Papanya meninggal dunia.
Bagaimana mungkin ini terjadi? Apa ini nyata?
Kenapa dalam dua hari ini kemalangan seakan bertubi-tubi menghampiri Viola?
Viola merasa pandangannya mengabur. Sampai kemudian perlahan tubuhnya ambruk, beruntung Reyhan langsung menahannya agar tidak terjatuh.
Ya, Viola pingsan.
***
Pertama kali membuka mata, Viola mendapati dirinya sedang berbaring di ruangan yang didominasi warna putih. Di tangannya juga terpasang jarum infus.
Di samping Viola ada Reyhan yang sedang menunggu sang istri.
Viola berusaha mengingat apa yang terjadi. Seketika ia teringat tentang sang papa. Tunggu, Viola berharap itu hanyalah mimpi buruknya. Papanya tidak mungkin pergi untuk selamanya secepat ini.
"Kenapa aku di sini? Papa mana?" tanya Viola.
"Sstt, kamu tenang dulu. Kamu istirahat dulu aja."
"Papaku mana?" Kali ini Viola bertanya dengan penuh penekanan.
Reyhan terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa di saat seperti ini.
"Papaku masih hidup, kan? Aku cuma mimpi, kan? Atau seenggaknya ... dokter tadi bohong. Tolong jawab, Reyhan."
"Maaf, Viola...."
"Aku cuma mimpi buruk?"
Reyhan menggeleng. Turut prihatin dan berduka dengan apa yang terjadi.
Seketika Viola menangis. Rupanya ini mimpi buruk yang seakan menjadi kenyataan. Bagaimana ini? Bagaimana Viola melanjutkan hidup dengan rasa bersalah yang pasti akan terus menghantuinya?
"Di mana papa sekarang?" Viola mengubah pertanyaannya.
"Baru aja jalan pulang."
"Terus kenapa kita masih di sini?!" Viola setengah membentak. Ia sungguh frustrasi.
"Karena kamu pingsan."
Tanpa menjawab, Viola melepaskan jarum infus di tangannya.
"Viola, Viola, tunggu...." Reyhan secepatnya membantu istrinya.
"Aku mau pulang sekarang juga."
"Iya, aku antar. Kita pergi sama-sama."
Viola tentu tidak menolak karena hal itu hanya akan membuang waktu. Akhirnya mereka bergegas meninggalkan rumah sakit.
***
Terakhir Viola meninggalkan rumahnya yaitu kemarin, saat dirinya hendak menuju gedung pernikahan. Sampai Viola melangkah keluar pun semua masih baik-baik saja.
Di gedung pernikahan pun, saat mempelai pria yang akan menikahi Viola bukan Bram, melainkan Reyhan, papanya sama sekali tidak langsung mempertanyakan alasannya. Ya, sang papa jelas menahan diri dan pasti akan menanyakannya di waktu yang tepat.
Namun, semua itu menjadi mustahil karena pria itu sudah terbujur kaku di ruang depan. Bahkan, rumah ini tampak lebih ramai dari kemarin.
Ya, cukup ramai karena banyak tamu yang datang untuk melayat. Tapi, anehnya rumah ini justru terasa kosong bagi Viola.
Begitu melihat sang papa siap untuk dimakamkan, tangis hebat Viola pecah. Ia tidak rela semua ini terjadi. Rasanya ini tidak adil. Papanya belum mendengar penjelasan yang sebenarnya, baik tentang Bram maupun tentang pinjaman yang dengan bodohnya Viola terlibat.
Reyhan yang berdiri di samping Viola, berusaha menenangkan istrinya itu. Ia sudah seperti suami sungguhan. Ia bahkan merangkul Viola.
"Papa...," lirih Viola.
Perlahan Viola melangkah mendekati jenazah sang papa. Dokter bilang, kepala papa Viola terbentur sangat keras. Ya Tuhan, Viola tidak pernah membayangkan akan ada hari seperti sekarang.
"Kematian memang udah digariskan sama Tuhan, tapi aku belum siap kehilangan papa," lirih Viola sambil menatap wajah pucat sang papa. Dan ini adalah kali terakhir Viola melihatnya.
Reyhan yang ada di samping wanita itu tentu bisa mendengarnya. Tangannya perlahan menepuk-nepuk bahu Viola. Hanya itu yang bisa dilakukannya.
***
Usai prosesi pemakaman sekaligus doa bersama, satu per satu para pelayat mulai meninggalkan makam. Kini hanya tersisa Viola, Reyhan serta Lenna dan Eriska.
Jangan ditanya bagaimana ekspresi Lenna dan Eriska, tidak jauh berbeda dengan Viola. Matanya pun sembap.
"Kalian kalau mau duluan nggak apa-apa, aku masih pengen di sini," kata Viola.
"Tapi cuaca udah mending banget, Vi. Sebaiknya kamu juga pulang sekarang, ya," bujuk Eriska.
"Aku belum bisa pergi dari sini, Ma. Kalau Mama sama Lenna mau duluan, nggak apa-apa. Tolong biarkan aku sendirian di sini."
"Kalau gitu aku sama Mama pamit ya, Vi. Jangan lupa jaga kondisi. Aku nggak mau kamu pingsan lagi seperti di rumah sakit." Kali ini Lenna yang berbicara. Ia dan sang mama kemudian bergegas meninggalkan tempat itu.
"Titip Viola ya, Nak. Mama memang belum mengenalmu, tapi mama percayakan dia sama kamu karena kamu suaminya," ucap Eriska pada Reyhan. Setelah itu, ia dan Lenna mulai melangkah pergi.
Kini, hanya ada Viola dan Reyhan yang tersisa.
"Kamu nggak dengar apa yang tadi aku bilang?" tanya Viola yang masih berjongkok di depan batu nisan bertuliskan nama sang papa. Sopyan Firmansyah.
Sedangkan Reyhan sedari tadi memang berdiri, tidak jauh dengan Viola.
"Aku bilang tolong biarkan aku sendirian di sini," lanjut Viola dengan suara bergetar.
"Ini bukan salah kamu, jangan pernah menyalahkan diri," balas Reyhan alih-alih menuruti permintaan Viola. Ya, Reyhan tahu betul betapa Viola menyalahkan dirinya atas semua keadaan ini.
"Kamu mau bilang ini takdir?"
"Kurang lebihnya begitu. Viola, ini sesuatu yang nggak bisa dikendalikan apalagi diubah. Apa yang terjadi sudah digariskan. Entah apa pun caranya, kalau sudah waktunya ... nggak akan ada yang bisa mengelak lagi."
"Kenapa jadi mendadak religius?"
"Serius ini bukan salah kamu, Vi. Papamu pasti tahu kalau kemalangan yang menimpamu bukanlah kesengajaan. Kamu bahkan nggak menginginkannya, bukan?"
"Kalau ini bukan salah aku, terus salah siapa? Salah Bram? Atau salah WO fiktif yang bekerja sama dengan Bram?" Viola mengatakan itu masih menatap nisan, tidak sedikit pun mau mendongak atau balas menatap suaminya.
Belum sempat Reyhan menjawab, Viola sudah berbicara lagi, "Ini semua gara-gara aku."
Reyhan menggeleng. "Ini bukan salahmu, Viola. Justru kamu korban, jadi nggak perlu menyalahkan diri."
Ucapan Reyhan membuat Viola tersadar. Pria itu benar, dirinya adalah korban dari penipuan pernikahan, kenapa harus menanggung beban mental tambahan dengan merasa bersalah?
"Ini bukan salahmu," ulang Reyhan. "Baik, ini memang takdir yang harus terjadi, tapi untuk sampai ke tahap ini ... ada campur tangan Bram, dan tentunya aku. Maaf aku terlambat membereskan semuanya. Seharusnya aku lebih cepat mengambil alih sertifikat rumah yang menjadi jaminan. Kalau saja aku tepat waktu, para rentenir itu nggak mungkin datang menemui papamu untuk menagih. Maaf, aku nggak tahu kalau mereka akan mendatangi kedai papamu pagi-pagi sekali," lanjutnya menjelaskan.
Lagi-lagi ucapan Reyhan membuat Viola tersadar bahwa tidak seharusnya ia menyalahkan diri.
"Kamu benar," balas Viola. "Sekarang aku sadar, ini bukan sepenuhnya kesalahanku." Viola bangkit dari jongkoknya, lalu berdiri tepat berhadapan dengan Reyhan. Dengan posisi seperti ini, sangat memungkinkan bagi mereka untuk menatap satu sama lain.
"Kesalahanku adalah terlalu bodoh. Ya, aku tahu betul betapa bodohnya aku yang semudah itu percaya pada Bram. Aku sama sekali nggak curiga sedikit pun kalau tujuan dia itu menipuku, membawakan WO fiktif bahkan sepertinya orangtua yang dikenalkan sama aku pun palsu. Aku bodoh banget," ucap Viola lagi. "Tapi terlepas dari itu semua, aku korban dan Bram-lah pelakunya. Dialah yang seharusnya bertanggung jawab atas semua ini."
"Itu maksudku, aku bersyukur kamu mulai mengerti," balas Reyhan.
Viola mengangguk-angguk. "Aku nggak seharusnya menyalahkan diri. Kamu juga, nggak perlu menyalahkan diri. Kamu udah bantu aku membayar utang-utang sialan itu, justru seharusnya aku berterima kasih. Tanpa kamu, aku nggak akan bisa semudah itu membayar utang yang jumlahnya hampir nggak masuk akal. Apalagi dengan bunganya."
"Kalaupun kamu terlambat mengambil alih sertifikat itu lantaran mereka menagih lebih pagi, itu bukan salahmu," tambah Viola.
"Utang dan bunganya udah beres. Tadi di rumah sakit aku mendapat kabar dari asistenku kalau sertifikat rumahnya bahkan sudah ada di tangannya."
"Sepertinya aku memang harus berterima kasih sama kamu. Reyhan, sadarkah kamu kalau secara nggak langsung aku memanfaatkan uangmu untuk kepentinganku?"
"Aku juga memanfaatkanmu untuk naik jabatan. Kita impas, bukan?" balas Reyhan.
"Sekarang aku tahu, apa yang harus aku lakukan selanjutnya," kata Viola.
"Apa?"
"Mencari orang yang seharusnya bertanggungjawab dari semua hal buruk yang terjadi. Ya, dia harus mempertanggungjawabkannya."
"Aku bisa bantu kalau kamu mau," tawar Reyhan.
Viola mengangguk. "Dan sekarang aku udah tahu apa hal pertama yang harus aku tulis di kertas yang kamu kasih tadi malam."
"Aku ingin mencari Bram untuk memberinya pelajaran," sambung Viola.
"Aku siap membantu."
"Semalam, saat kamu menginginkan nggak ada perceraian dalam pernikahan kita ... aku bertanya-tanya apa alasanku untuk setuju? Dan sekarang aku udah tahu alasannya. Rupanya aku bisa memanfaatkanmu untuk membantuku dalam segala hal. Sesuatu yang nggak mungkin aku dapatkan dari orang lain."
Reyhan tersenyum. "Silakan manfaatkan aku sepuas hatimu, Viola. Karena aku juga sedang memanfaatkanmu. Kita saling memanfaatkan satu sama lain."
"Jadi, apa kamu setuju kalau kita menjalani pernikahan ini sampai tua meskipun tanpa cinta?" tanya Reyhan memastikan.
Viola mengangguk. "Ya, aku bersedia."
"Kamu serius?" Mata Reyhan tampak berbinar.
"Aku bicara di depan makam papaku. Apa ini belum cukup membuktikan kalau aku nggak main-main?"
"Baik, mari bersalaman sebagai tanda dimulainya hubungan mutualisme di antara kita. Aku pastikan pernikahan ini akan memudahkan hidup kita serta memberikan keuntungan satu sama lain," ucap Reyhan sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Viola.
Tanpa ragu, Viola menerima uluran tangan suaminya.
Secara tidak langsung, kesepakatan pernikahan antara mereka pun resmi disetujui.