Bab 9 - Papa

1333 Kata
Viola tidak pernah membayangkan dirinya akan datang ke acara kantor untuk merayakan jabatan baru seseorang, terlebih orang tersebut merupakan suaminya. Selama 25 tahun hidupnya, Viola hanyalah seorang kasir yang merangkap sebagai pelayan di kedai sederhana milik keluarganya. Mencari pekerjaan di zaman sekarang memang tidak mudah, apalagi Viola tidak berhasil menamatkan kuliahnya karena harus berhenti di tengah jalan. Biayalah yang menjadi alasan utamanya. Ah, lagian membantu mengurus kedai bukanlah hal buruk. Justru dengan begitu, akan lebih menghemat pengeluaran kedai yang seharusnya bertambah jika digunakan untuk menggaji karyawan. Selama ini Viola tidak menyesali kehidupannya yang seperti itu. Sampai akhirnya ia bertemu Bram yang bukan hanya menawarkan cinta dan kasih sayang, melainkan kenyamanan juga. Andai Viola tahu lebih awal kalau pria itu penuh tipu muslihat, mungkin kejadiannya akan berbeda. Dan pastinya Viola juga tidak akan terperangkap dalam pernikahan konyol ini. Saat ini Viola sedang menuruni tangga menuju ruang makan. Sejujurnya ia merasa jadi orang yang berbeda mengingat betapa bumi langitnya penampilan Viola sebelum dan setelah menjadi istri Reyhan. Tiba di ruang makan, ia mendapati Reyhan sudah duduk manis bersama hidangan yang sudah siap untuk disantap. Tadi Viola juga sempat berpapasan dengan Bi Marni, ART di rumah ini yang merupakan orang kepercayaan orangtua Reyhan, dari wajahnya saja Viola bisa menebak kalau wanita paruh baya itu setia pada majikannya. Viola juga sempat menyapa sejenak dan katanya Bi Marni hendak pergi ke supermarket, yang artinya Viola dan Reyhan akan leluasa bicara tanpa takut terdengar oleh Bi Marni. "Ngapain berdiri aja? Duduk." Suara Reyhan membuyarkan lamunan Viola. Tanpa menjawab, Viola pun duduk. Posisi mereka duduk saling berseberangan. "Kirain mesti ke salon, ternyata nggak perlu karena kamu udah cantik banget," kata Reyhan. Itu pujian atau sekadar lelucon basa-basi? Bukan bermaksud terlalu percaya diri, selama ini Viola tahu dirinya memang cantik. Hanya saja, ia tidak punya waktu untuk sering berdandan seperti ini. Biasanya ia melakukannya saat hendak berkencan atau ke kondangan saja. Mengingat itu Viola jadi kesal sendiri. Dulu ia berusaha terlihat cantik di hadapan Bram. Sungguh buang-buang waktu dan tenaga. "Kenapa jadi kayak kesal gitu? Kamu nggak suka disebut cantik?" tanya Reyhan kemudian. "Lebih tepatnya pusing. Kenapa aku harus repot-repot ikut padahal kamu yang dilantik?" "Karena kamu istriku." Ya, benar. Viola memang istri Reyhan sekarang. Namun, rasanya masih tetap aneh saat pria itu menyebutkan kata 'istriku'. "Aku harus ngapain di sana? Serius, aku belum pernah datang ke acara begini. Ini sungguh pertama kali." "Kamu hanya perlu mendampingiku. Itu aja." Viola rasa, Reyhan selalu menjawab pertanyaannya dengan sangat tenang. Berbeda dengan Viola yang sering kali merasa campur aduk dengan perkataan pria itu. "Sejujurnya ini ngerepotin banget," jujur Viola. "Maaf, tapi kita udah memulai semuanya dengan cara menikah, jadi mari bertanggungjawab dengan peran masing-masing. Aku juga nggak akan keberatan kalau kamu butuh didampingi kapan pun kamu mau. Tinggal bilang aja." "Acaranya lama nggak? Aku harap sebentar, ya. Aku nggak mau terlihat canggung di sana," tanya Viola yang kini sudah pasrah untuk ikut. Ya, dirinya memang harus ikut. "Sebentar, kok. Orang-orang pasti paham kalau kita pengantin baru. Kita pasti diperbolehkan pulang lebih cepat meskipun aku bintang acaranya." Viola mengangguk-angguk paham. "Oh ya, tentang bulan madu...." "Kamu serius bahas itu?!" potong Viola. Baginya itu pembahasan yang tidak perlu. "Maksudnya bulan madu bohongan. Suka atau nggak suka, kita harus tetap berangkat. Ya anggap aja liburan sekaligus bisa menjadi ajang untuk saling mengenal satu sama lain. Walau bagaimanapun, kita tetap suami-istri." "Serius, aku muak dengar kata suami-istri," kesal Viola. Alih-alih tersinggung, Reyhan malah tertawa. "Kamu tinggal kasih tahu aja mau bulan madu ke mana," balas Reyhan. "Ah, maksudku liburan, ya. Liburan," ralatnya sengaja dengan penuh penekanan pada kata liburan. Sungguh, Viola memang sudah lama sekali tidak pernah bepergian terlebih dalam rangka liburan. Hanya saja, ia merasa tidak bersemangat dengan penawaran suaminya. "Memangnya kapan?" tanya Viola terpaksa. "Bebas, bisa kapan aja. Cuma yang pasti paling cepat sebulan setelah kita menikah karena selama waktu tersebut, aku akan mengurus pekerjaanku dulu, apalagi aku baru hari ini diangkat menjadi CEO." "Oke, biarkan aku berpikir dulu mau pergi ke mana," balas Viola. "Oke. Aku tunggu," jawab Reyhan. Setelah itu, tidak ada lagi pembicaraan di antara mereka. Keduanya fokus dengan makanan di piring masing-masing. Sampai kemudian, saat mereka sudah sama-sama selesai makan, Reyhan kembali membuka pembicaraan, "Tentang utang dan sertifikat yang kamu jadikan jaminan ... rencananya hari ini asistenku akan mengurusnya. Paling lambat nanti sore sertifikat rumahnya akan kembali ke tangan kamu." Untuk pertama kalinya, Viola ingin berterima kasih. Lebih tepatnya harus. "Makasih," ucap Viola akhirnya. "Aku juga mau bilang terima kasih. Utangmu bisa dibilang nggak seberapa mengingat kamulah yang membawaku ke jabatan sekarang," kata Reyhan. "Viola, terima kasih udah mau hadir di acara kantorku, dan terutama makasih banget udah bersedia menjadi istriku," pungkasnya. *** Menjadi istri CEO dari perusahaan yang cukup besar mungkin idaman banyak wanita, sayangnya Viola yang kini ada di posisi tersebut justru merasa aneh. Itu sebabnya Viola hanya bisa berpura-pura menjadi istri paling bahagia demi mengusir kecurigaan orang-orang. Ah, lama kelamaan Viola sepertinya sungguh akan tenggelam dalam pernikahan konyol ini. Lagi pula ia tidak punya pilihan selain melakukannya. Kabur? Ini sangat mustahil. Untuk itu Viola memutuskan menjalani perannya sampai ada cara untuk melepaskan diri. Usai mendampingi Reyhan berpidato di atas mimbar, Viola yang tangannya masih digenggam oleh suaminya, mereka berjalan menuju kursi yang sudah tersedia. Semuanya bertepuk tangan. Setelah sama-sama duduk, Reyhan tentu pelan-pelan langsung melepaskan genggamannya terhadap tangan Viola. Wajahnya sangat kentara menunjukkan ekspresi seolah berkata 'maaf' sudah sangat lancang memegang tangan Viola. Sejujurnya interaksi antara Viola dan Reyhan terbilang canggung. Namun, semua sudah terlewati dengan baik. Viola bahkan sempat diajak ngobrol oleh orang-orang yang ada di sana termasuk orangtua Reyhan, beruntung wanita itu bisa mengatasinya tanpa menimbulkan masalah. "Kenapa malah duduk? Bukannya pulang," tanya Viola setengah berbisik, membuat Reyhan refleks mendekatkan telinganya ke arah Viola. Jujur saja Viola sudah sangat ingin meninggalkan tempat ini. "Sebentar lagi. Sabar, ya." Reyhan berkata dengan tenang. Viola tidak menjawab, ia pun memilih membuka tasnya untuk mengambil ponsel. Betapa terkejutnya ia saat melihat ada 27 panggilan tak terjawab dari Lenna. Juga bom chat yang berisi permintaan agar Viola mengangkat panggilan saudara tirinya itu. Perasaan Viola mendadak tidak enak. Ia sontak berdiri untuk mencari tempat sepi. Wanita harus menelepon balik Lenna dan menanyakan sebenarnya ada apa. "Mau ke mana? Aku bilang sebentar lagi. Tolong sabar," kata Reyhan. "Aku mau nelepon seseorang dulu. Ini penting," balas Viola sambil bergegas pergi meninggalkan Reyhan. Reyhan yang hendak mengejar Viola pun mengurungkan niatnya saat Fathan mendekatinya. Sepertinya ada hal serius yang ingin dibicarakan asistennya itu. Sementara Viola, memilih toilet sebagai tempat untuk dirinya menelepon balik Lenna. Dengan tangan gemetar, ia menunggu sampai saudaranya itu mengangkat panggilannya. Jujur, firasatnya sangat buruk. Viola mendengar dering cukup lama sampai kemudian suara Lenna mulai terdengar di ujung telepon sana. "Astaga Viola. Kamu ke mana aja? Aku nelepon banyak banget nggak diangkat. Andai tahu rumah suamimu, mungkin aku udah ke sana dari tadi." "Ponselku di-silent, Len. Maaf. Ada apa? Jangan bikin aku takut." "Kamu lagi di mana sekarang?" "Di kantornya Reyhan. Bilang sekarang ada apa, Len. Jangan bikin aku khawatir." "Papa Vi, Papa...." Jantung Viola berdetak semakin cepat saat mendengarnya. Ada apa dengan sang papa? "Papa kenapa, Len? Bilang sekarang papa kenapa?" tanya Viola takut-takut dan cenderung tidak sabaran. Selama beberapa saat Viola mendengarkan penjelasan Lenna. Tangan Viola yang memang sedari tadi gemetar, menjadi semakin parah gemetarnya. Ya Tuhan ... Papa! Tanpa terasa, butiran bening lolos begitu saja dari mata Viola. Ya, Viola menangis. Setelah Lenna selesai bicara, Viola cepat-cepat memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Viola yang masih menangis, bergegas keluar dari toilet. Baru saja keluar, rupanya Reyhan tampak sedang mencarinya. Begitu melihat keberadaan sang istri, pria itu langsung mendekat. "Kamu nangis?" tanya Reyhan dengan wajah cemas. Viola hanya menggeleng, tentu masih menangis meskipun tanpa suara. "Aku harus pergi sekarang juga," ucap Viola kemudian. "Lewat mana pintu keluar terdekatnya?" "Aku ikut," jawab Reyhan. "Aku tahu kamu mau pergi ke mana," lanjutnya. "Papa, Rey. Papa...." Kali ini tangisan Viola semakin menjadi-jadi. "Iya, aku tahu. Makanya ayo aku antar ke sana. Untuk menemuinya," pungkas Reyhan sembari merangkul tubuh Viola.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN