Bab 8 - Beruntung atau Malang?

1412 Kata
Pagi datang menyapa. Viola mengerjap-ngerjapkan matanya. Samar-samar ia mendengar suara TV yang menyala. Selama beberapa saat ia mencoba memperhatikan langit-langit kamar yang sangat berbeda dengan kamarnya. Astaga. Viola hampir lupa kalau dirinya sudah menjadi istri orang. "Jangan pernah berpikir kalau tadi malam seharusnya malam pertama, entah itu dengan Bram atau Reyhan. Pokoknya jangan, karena itu gila!" batin Viola. Setelah sepenuhnya mengumpulkan kesadarannya, Viola yang hendak beranjak dari tempat tidur, merasa kakinya agak berat. Seperti ada sesuatu yang menindihnya. Sontak ia menyibak selimut. Detik itu juga ia menyadari ada satu kaki yang menindih kakinya. Tentu saja Viola terkejut bukan main. Sejak kapan Reyhan berada di sampingnya? Kenapa pria itu malah tidur di sini? Hal pertama yang Viola periksa adalah pakaiannya. Syukurlah masih lengkap. Reyhan tidak mungkin macam-macam padanya semalam. Tanpa membuang waktu, Viola langsung duduk lalu menyingkirkan kaki Reyhan. Setelah itu, ia memukul lengan suaminya menggunakan bantal guling. Ia harus melakukannya berkali-kali sampai Reyhan benar-benar membuka matanya. "Bangun, bangun, bangun!" ucap Viola setengah berteriak. "Ada apa? Kenapa pagi-pagi udah heboh gini?" tanya Reyhan dengan suara parau khas orang baru bangun tidur. "Kenapa kamu tidur di sini?!" "Ini kamarku. Kenapa aku nggak boleh tidur di kamar sendiri?" balas Reyhan. "Apa kamu bilang? Kemarin jelas-jelas kamu bilang ini kamarku." "Maksudku kamarku juga, alias kamar pengantin kita," jelas Reyhan santai. Ia lalu beranjak, tampak pria itu mengenakan piyama berjalan mendekati TV. Mengambil remote-nya, Reyhan pun menekan tombol untuk mematikan TV tersebut. "Kamu nggak bilang sebelumnya. Aku kita kita beda kamar. Bahkan seharusnya kita nggak tidur di kamar yang sama." "Masa baru nikah udah pisah ranjang?" "Astaga. Apa yang kamu rencanakan, sih?" Viola jadi kesal sendiri. "Aku lupa bilang kalau kita sebaiknya tidur sekamar. Aku nggak akan macam-macam, kok." "Kamu pikir aku nyaman? Sama sekali nggak. Please, pernikahan dadakan kita ini lebih ke arah bohongan, kenapa harus begini? Aku nggak setuju." "Terlepas dari kita menikah demi meminimalisir masalah, tetap aja orang-orang mengira kita serius dalam pernikahan ini. Apalagi aku udah diwawancara dan menjawab sebaik mungkin. Jangan rusak itu dengan cara tidur di kamar terpisah. Aku nggak mau ada gosip murahan." "Pokoknya aku nggak mau tidur sekamar sama kamu. Kalau kamu merasa ini kamarmu, siapkan kamar lain buat aku. Beres, kan?" "Enggak sesederhana itu, Viola." Viola jadi teringat sesuatu. Ia turut beranjak dari tempat tidur lalu berkata, "Aku berencana menulis keinginan pertama di kertas yang kamu kasih. Dan pisah kamar adalah hal yang aku inginkan. Ingat, kamu udah janji bakal mewujudkannya apa pun keinginanku." "Apa pun tapi bukan itu," tegas Reyhan. "Kenapa pakai tapi? Kamu nggak bilang ada pengecualian." "Karena kita nggak mungkin pisah kamar. ART di rumah ini adalah kepercayaan keluargaku," jelas Reyhan lagi. "Jangan bilang kasih dia bayaran lebih besar supaya tutup mulut, itu bukan solusi karena dia terlalu setia sama keluarga." "Astaga. Ribet banget." "Jadi tolong jangan minta pisah kamar. Sebagai gantinya, silakan tulis di kertas kalau kamu nggak menginginkan kontak fisik di antara kita. Itu yang kamu takutkan kalau sekamar sama aku, kan? Jadi tulis aja. Lagian aku nggak mungkin macam-macam sama kamu, kok. Kita cuma tidur berdampingan tanpa ngapa-ngapain." "Kamu bisa tidur di sofa atau di lantai, kan?" "Kalau sekali dua kali mungkin bisa, tapi kalau setiap hari nggak akan nyaman. Pakai dua kasur pun mustahil," jawab Reyhan. "Oke, gantian aja deh. Pakai jadwal siapa yang harus di sofa atau di tempat tidur. Aku nggak masalah kalau begitu," saran Viola. "Itu juga bukan solusi. Ya Tuhan, percayalah aku nggak mungkin macam-macam. Aku pastikan nggak ada kontak fisik di antara kita." "Terus kaki kamu nindih kakiku apa namanya?" "Oh ya?" Reyhan tampak bingung. "Maaf kalau iya, aku pastikan itu nggak sengaja." "Aku nggak bisa tidur sama kamu." "Semalam bisa." "I-itu karena aku nggak tahu. Lagian kamu tidur di samping aku tanpa izin." Sial! Kenapa Viola jadi tergagap begini? "Sumpah demi apa pun, aku nggak akan macam-macam." "Siapa yang menjamin?" "Aku yang jamin. Aku nggak akan aneh-aneh, kok. Kecuali...." "Kecuali apa?!" potong Viola. "Kecuali kamu yang aneh-aneh duluan. Aku nggak akan nolak." "Sialan," kesal Viola. Apa Reyhan bilang? Viola aneh-aneh lebih dulu? Itu sangat tidak mungkin! Viola mendadak ingin menjotos Reyhan. Sayangnya tidak semudah itu. "Pernikahan kita emang nggak seperti pernikahan orang-orang normal biasanya, tapi kita sebaiknya menunjukkan kalau pernikahan ini baik-baik aja, bukan seperti kecurigaan para wartawan. Aku yakin kamu udah lihat video-nya, kan? Itu viral banget hampir di semua platform media sosial. Makanya aku rasa kamu pasti udah nonton." "Sebenarnya apa tujuan kamu bicara gitu ke media?" Akhirnya pertanyaan yang semalam dipendamnya setelah menonton video, kini tersampaikan juga pada Reyhan. "Aku mau kita terlihat seperti suami-istri sungguhan. Semua yang aku lakukan, termasuk kita tidur sekamar ... semata-mata untuk mewujudkan itu semua." "Tapi buat apa? Buat apa kamu ingin orang-orang mengira kita suami-istri sungguhan?" "Ya Tuhan, baru semalam kamu udah lupa apa yang kita bicarakan sebelumnya?" "Oke, aku paham. Tapi sampai kapan? Kamu bercanda, kan, saat bilang kalau nggak akan pernah ada perceraian dalam pernikahan kita?" "Aku serius. Aku nggak mau kita bercerai." "Kamu nggak waras. Seharusnya kamu menikahi wanita yang kamu cintai. Aku juga sama, seharusnya aku menikahi pria yang mencintaiku. Mana bisa pernikahan konyol ini langgeng? Lagian kita nggak punya alasan buat mempertahankannya." "Cinta? Kalau begitu mari tumbuhkan perasaan itu sama-sama," ajak Reyhan. "Dengan begitu pernikahan kita nggak akan sia-sia." Viola menggeleng tak percaya dengan apa yang didengarnya. Sumpah demi apa pun ia semakin heran. Kenapa Reyhan bisa mengatakan hal itu dengan sangat tenang? Seolah-olah yang dikatakannya merupakan hal biasa. "Kamu terlalu menyepelekan cinta," balas Viola. "Katanya, cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu. Tapi kalau cinta gagal tumbuh dalam pernikahan kita ... aku tetap menolak adanya perceraian. Dalam artian, ada atau tanpa cinta, kita akan tetap menjadi pasangan suami-istri sampai menua sama-sama." "Kamu pikir aku mau menghabiskan sisa umurku sama kamu?" "Kenapa nggak mau? Aku akan membahagiakan kamu. Mewujudkan segala keinginanmu. Itu sebabnya aku memberimu kertas untuk menulis daftar yang akan aku penuhi untukmu." "Tuan Reyhan Danubrata dengar, aku tahu kita menikah demi menghalau rasa malu. Dan aku lebih tahu tujuan utamamu adalah jabatan. Kamu menolak adanya perceraian karena itu, kan? Ya, kalau kita bercerai, apa semua yang kamu dapatkan akan kembali diambil termasuk jabatan?" Reyhan mengangguk. "Bisa dibilang begitu. Jadi, anggap aja pernikahan kita yang tadinya demi mengusir malu, menjadi bisnis. Aku mendapatkan jabatan yang diinginkan, dan kamu bisa melunasi utang. Bahkan, kamu juga bisa membeli apa pun dengan uangku. Silakan pakai uangku, habiskan sesukamu." Sungguh, Viola sering melihat keadaan seperti ini di drama, film atau novel. Namun, ia tidak menyangka berasa di posisi tersebut. "Lagian perceraian itu nggak ada untungnya bagi kita. Supaya bisa menikah lagi? Dengan status aku duda dan kamu janda? Selain itu, apa kamu yakin akan bertemu pria yang tepat? Gimana kalau ketemu penipu lagi? Jadi, daripada mengulang kemalangan, lebih baik kita melanjutkan pernikahan ini. Mari buktikan kalau pernikahan kita langgeng selamanya." Viola terdiam. Tentu saja Viola tahu maksud Reyhan. Pria itu menginginkan pernikahan ini berjalan selamanya meskipun tanpa cinta. Jika Viola setuju, itu artinya ia akan menjalani hidup dengan pria yang tidak dicintai dan tidak pula mencintainya. Sama halnya dengan Viola menyerahkan hidupnya sekaligus mengubur harapan untuk hidup bahagia dengan pria yang setiap harinya memberikan cinta sepenuh hati padanya. Apa Viola bisa seperti ini? "Seperti yang aku bilang semalam, kamu nggak perlu menjawabnya sekarang. Kamu boleh memikirkannya. Walau bagaimanapun, ini adalah keputusan besar. Menyangkut seluruh hidupmu," kata Reyhan lagi. "Sekarang mendingan kamu mandi. Aku akan mandi di kamar mandi lain seperti kemarin," sambung Reyhan. Lagi, Viola memilih diam. Reyhan pun kembali berbicara, "Setelah itu aku tunggu di ruang makan buat sarapan, ya. Bi Marni, ART di rumah ini, pasti udah menyiapkannya untuk kita berdua." Reyhan baru saja hendak keluar kamar, tapi ia kembali memutar tubuhnya sehingga matanya kembali menatap Viola yang masih berdiri di dekat tempat tidur. "Oh ya, jangan lupa pakai pakaian formal ya, Viola." Viola sudah melihat sendiri, pakaian yang Reyhan siapkan begitu lengkap, termasuk tersedia juga pakaian formal. "Kenapa pakaian formal?" tanya Viola kemudian. "Kamu harus ikut sama aku, ke kantor." "Hah? Ngapain?" "Kamu lupa? Hari ini aku punya jabatan baru. Akan ada perayaan kecil-kecilan di sana, tentu istriku harus hadir," balas Reyhan. "Ah iya, make-up juga tersedia lengkap. Atau mau ke salon aja?" Viola menggeleng. "Oke, kalau begitu sampai jumpa di meja makan." Viola masih berdiri di tempatnya, memperhatikan punggung Reyhan yang mulai menjauh bahkan menghilang. Terkadang kemustahilan bisa benar-benar terjadi. Siapa yang bisa mengira kalau nasib Viola akan begini. Viola bahkan sempat bertanya-tanya, menjadi istri Reyhan itu keberuntungan atau kemalangan? Sebenarnya ... hidup seperti apa yang sedang Viola jalani?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN