“H-hei, lihat ke sana.” Bisikan itu disampaikan pada seorang teman dan membuat mereka berdua menatap ke arah yang sama, tidak hanya mereka, orang lain di sepanjang jalan juga terlihat penasaran tentang kisah cinta macam apalagi yang terjalin di malam penuh cahaya ini. Di sana dengan wajah terus merona, Hayam Wuruk—yang masih dalam penyamarannya sebagai rakyat biasa, menggendong Loka di punggung dan berjalan secara perlahan kembali ke alun-alun Watangan untuk membiarkan gadis itu tidur di atas ranjang, tidak di atas bukit antah berantah dengan bahaya hewan liar datang menggigit. Dia mampu merasakan dengan jelas deru lembut nan hangat yang ke luar dari lubang hidung Loka tepat di tengkuknya. Hayam Wuruk terpaksa berhenti karena rasa geli yang menjalar ke bagian tubuh lain dan membuatnya san