“Tu-tujuh belas tahun?” Loka membelalakan matanya. Terkejut? Pastinya. Ia adalah wanita kantoran yang sudah berusia dua puluh empat tahun dan masih jomblo. Namun, kini dirinya justru masuk ke dalam tubuh gadis yang tujuh tahun lebih muda darinya dan akan menghadapi kejadian tragis tentang pernikahannya. Tunggu sebentar. Sepertinya Loka memang tidak pernah beruntung tentang percintaan, deh.
“Memangnya ada apa, Kanjeng Putri?”
“Tidak apa-apa. Aku hanya merasa sedikit terkejut saja.” Loka terkekeh pelan. Ia beranjak dari bale-bale dan masuk ke dalam rumah, meninggalkan Nandini yang kembali dilanda kebingungan akan sikap aneh Loka. Gadis itu melangkah ke dalam kamar miliknya dan tidak lupa menutup pintu erat sebelum bersandar di baliknya dengan wajah yang aneh.
“Tidak ada orang, kan?” gumamnya gusar. Ia kemudian berjalan menuju meja rias yang terletak di samping tempat tidurnya—meja yang belum pernah sama sekali Loka sambangi karena tidak dianggap perlu untuk diselidiki, tetapi kini Loka berdiri di depannya dan sibuk mengobrak-abrik isi laci meja. “Duuuh, di mana, sih.” Dia mencebik kesal, barang yang sedang ia cari tak kunjung melintas di matanya. Loka melebarkan matanya senang saat melihat pantulan cahaya dari dalam laci.
“Ah, ketemu. Ini dia yang kucari!” Ia menariknya ke luar dari laci dan tersenyum senang. “Akhirnya aku mendapatkanmu juga, cermin!” Loka mendengkus gembira, ia buru-buru membalik benda yang bisa memantulkan bayangan itu dan menatap wajahnya sendiri. Percaya atau tidak, dia belum pernah sekali pun melihat wajahnya sendiri sejak terdampar ke masa lalu. Loka pikir fitur wajahnya masih sama dengan dirinya di masa depan, yaitu Pitaloka Evania yang berusia dua puluh empat tahun. Namun, kini, Loka ternyata masuk ke tubuh gadis cantik jelita yang masih muda! Tujuh belas tahun!
“Cantiknyaaa!” Loka tidak mengedip saat melihat kecantikan paripurna yang terpantul di kaca berukuran dua genggam tangan manusia dewasa tersebut. Ia benar-benar berbeda dari rupa aslinya. Yah, Loka pada dasarnya juga tidak jelek-jelek sekali, tetapi saat melihat rupa Pitaloka, kini gadis itu mengerti tentang perbedaan antara langit dan bumi. Pitaloka benar-benar titisan dewi yang turun dari khayangan. Loka sendiri tidak tahu bagaimana cara mendeskripsikan fitur wajahnya saat ini. Pasang matanya terlihat tajam, lembut, dan mempesona. Dihiasi bulu mata lentik bagai sayap kupu-kupu yang merindu, dan juga bola mata Pitaloka sangat jernih, bahkan ia bisa melihat pantulan bayangannya sendiri dari balik netranya. Kulitnya halus dan putih, mirip dengan aktris Korea, tetapi lebih oriental dengan bibir ranum penuh yang mampu menggoda siapa pun saat melengkungkan senyumannya.
“Apa dia benar-benar manusia? Apa ini jenis kecantikan yang mampu memikat para raja, bahkan Hayam Wuruk itu sendiri nantinya? Kentang sepertiku merasa tidak pantas dianugerahi keelokan dewi seperti ini. Aku sungguh merasa insecure.” Loka tidak kuat lagi menatap pantulan wajahnya sendiri. Ia meletakan cermin yang sedang dipegangnya kembali ke atas meja rias dan duduk lemas sembari memangku kepalanya malas. Loka menatap ke luar jendela. Langit hari ini nampak cerah dan semilir angin berembus menggelitik. Sebenarnya, ia cukup senang saat mendengar dirinya kembali ke usia muda, siapa yang tidak mau memiliki kulit kencang dan berseri-seri? Terlebih untuk seorang wanita. Loka tidak memiliki banyak waktu untuk merawat dirinya sendiri semenjak sibuk mencari nafkah dan menghidupi ibu serta kedua adiknya di kampung.
“Kangen Ibuk sama duo bocil rusuh. Mereka lagi ngapain, ya, di rumah? Apa mereka tahu aku hilang dan terdampar ke masa lalu? Mungkin di masa depan aku sedang dinyatakan hilang dan polisi beserta teman-teman sekantorku berusaha mencariku ke mana-mana. Huft. Andai saja ada mesin waktu, pasti segalanya akan lebih mudah.”
“Apa yang sedang anda bicarakan, Putri?”
Loka terkejut. Ia terlalu fokus melamun sampai-sampai tidak mengetahui kedatangan Patih Anepaken Saniscara yang sudah berada di luar jendelanya. Lengkap dengan seragam serta keris yang tersarung di pinggang kirinya. Oh, iya, Loka belum menceritakan apa pun tentang pria tegap dan berkulit eksotis ini. Mereka pertama kali bertemu saat Loka kembali ke rumah peristirahatan setelah menyerah bermain kejar-kejaran dengan Nandini. Satu hal memalukan yang tidak bisa Loka lupakan adalah menatap wajah sang patih tanpa berkedip sekali pun saat bertatap muka dengannya.
“Putri, apa anda mendengar saya?”
Loka menoleh ke arah lain dan segera menutup wajahnya dengan kedua tangan. Dasar Loka bodoh, kenapa kau melakukan hal memalukan itu hanya karena wajahnya adalah tipe idamanmu! Ini pasti efek kutukan terlalu lama menjomblo!
“Ternyata kau, Kakang Saniscara.” Nandini mengatakan jika Pitaloka biasa memanggil Patih Anepaken dengan sebutan Kakang Saniscara saat berada di sekitaran rumah. Hubungan mereka berdua tidak terlalu dekat, tetapi Pitaloka menganggap Saniscara sebagai kakak laki-lakinya, karena Pitaloka merupakan anak sulung sang Prabu dan hanya punya adik laki-laki. Loka sendiri memiliki dua adik perempuan, yang sangat aktif, bandel, bahkan membuatnya kerepotan setiap paginya karena selalu bertengkar tentang piring atau gelas yang akan dipakai.
“Apa kau sedang melaksanakan tugas berpatrolimu?”
“Anda benar, Putri. Lalu, apa yang sedang anda lakukan dengan berbicara sendiri di tepi jendela?” Dia melemparkan pertanyaan polos dengan tampang garangnya. Loka bisa merasakan panah keimutan menancap kuat di jantungnya saat ini. Dia bisa-bisa jatuh hati pada patih tampan dan gagah itu. Loka mengerjap, ia lalu menatap Saniscara secara intens, membuat pria itu refleks mundur beberapa langkah ke belakang karena terkejut.
“Aku hanya memikirkan sesuatu. Kakang Saniscara, berapa umurmu saat ini?”
“Umur? Mengapa anda tiba-tiba bertanya hal itu, Putri?” Saniscara bertanya balik. Ia tidak pernah tahu bahwa tuan putri akan menanyakan tentang usianya. Dia adalah tipe yang tidak pernah mencampuri urusan orang lain untuk menjaga martabatnya sebagai seorang putri kerajaan. Tentu saja Saniscara merasa kaget. Ia juga merasakan detak jantungnya menguat saat melihat wajah Loka yang begitu penasaran.
Loka mendengkus kesal dan langsung mengibaskan tangannya cepat. “Lupakan saja kalau kau tidak mau memberitahuku. Kau benar-benar orang yang pelit, Kakang. Aku tidak bisa berbicara pada orang pelit.”
“Ah.” Saniscara merasa hatinya sakit melihat Loka yang tengah cemberut. “Usia hamba 25 tahun jika tidak salah, Putri. Maaf karena tidak mengatakannya lebih cepat. Silahkan hukum hamba jika berkenan.”
“25 tahun?” Loka kembali sumringah. “Ternyata baru 25 tahun, ya.” Dia tersenyum senang, membuat pipi serta telinga Saniscara memerah dan langsung mengalihkan wajahnya ke arah lain. Ia tidak boleh menaruh perasaan lebih pada tuan yang ia layani. Itu akan mencoreng harga diri dan sumpahnya sebagai seorang patih kerajaan. Meski berkata demikian, Saniscara tidak bisa menyembunyikan ekspresi wajahnya yang jujur akan perasaannya pada Pitaloka.
Loka tidak memperhatikan air muka Saniscara dan mengawang-awang sendiri. Jika 25 tahun, itu berarti hanya satu tahun lebih tua dariku di masa depan. Dia sepertinya mapan dan punya banyak tabungan dilihat dari posisinya sebagai patih kerajaan. Mungkin aku bisa menjadikannya sebagai alternatifku untuk menghindar dari Hayam Wuruk!
“Putri, ada yang ingin saya bicarakan—”
“Patih Anepaken, lapor!”
Keduanya mengalihkan pandangan pada sosok prajurit yang tiba-tiba saja datang dan melakukan pose hormat. Saniscara membalikan tubuhnya dan mengangguk. Ia kembali menyimpan perkataan yang akan ia sampaikan pada Loka. Ia akan menunggu waktu yang tepat untuk mengatakannya. Entah nanti, besok, atau suatu hari di masa depan.
“Katakan. Apa yang terjadi?”
Prajurit itu menurunkan tangannya. Wajahnya sedikit gusar untuk menyampaikan kabar yang ia bawa, takut akan kemurkaan sang patih yang terkenal tegas dan disiplin tersebut. “Be-begini, Patih. Sebenarnya ada sekumpulan bandit yang berhasil masuk ke wilayah peristirahatan dan bersembunyi. Kami sudah melawannya, tetapi para bandit itu membawa parang dan melukai beberapa prajurit. Kami akhirnya memilih mundur dan melaporkannya pada anda, Patih.”
“Ada bandit yang menyerang?” Loka langsung menyahut, kaget. Prajurit itu tidak sadar akan kehadiran Loka yang duduk di balik jendela sebelum gadis tersebut menyembulkan kepalanya ke luar.
“Hormat, Kanjeng Putri Pitaloka!” Dia buru-buru berlutut. Saniscara menghela napas berat, ia mulai memutar otak untuk mengatur strategi agar bisa menangkap bandit sebelum bisa mencapai ke kediaman ratu dan putri. Ia ditunjuk langsung oleh Prabu Linggabuana untuk mengawal kedua wanita paling penting di kerajaan Sunda agar tetap aman dan selamat selama perjalanan ini. Dia tidak boleh membiarkan ada bahaya yang mendekat. Saniscara berbalik pada Loka dan menatapnya lekat. Loka yang ditatap salah tingkah lalu kembali duduk di atas kursi.
“Kenapa kau menatapku seperti itu, Patih?” Loka kembali memanggilnya dengan sebutan Patih Anepaken, karena ada prajurit yang ada di sekitarnya. Nandini memintanya untuk mewanti-wanti agar tidak ada rumor yang tersebar. Duh, padahal aku ingin ada rumor yang tersebar luas mengenai kedekatakanku dengan patih ganteng ini, lalu kami bisa menikah sebagai solusinya dan nyawaku aman, deh.
Saniscara bergerak untuk menutup jendela Loka. “Hamba akan membereskan para bandit itu secepat mungkin. Oleh karena itu, berjanjilah untuk tidak pergi dari rumah ini sampai banditnya tertangkap. Hamba juga akan memperingatkan hal yang sama pada Kanjeng Ratu Lara Lingsing. Apa anda bisa berjanji?”
“Oh?” Loka mengerjap. Ia lalu mengangguk cepat. “Iya, aku berjanji tidak akan pergi ke mana-mana. Jadi, tolong cepat tangkap para bandit sialan itu supaya aku bisa berjalan-jalan lagi, Patih Anepaken.” Loka tersenyum sambil mengacungkan jempolnya. Dia sebisa mungkin ingin memberikan kesan yang bagus pada pria tersebut. Butuh beberapa langkah agar bisa membuat seorang pria jatuh cinta, tetapi wajah Pitaloka yang sangat cantik ini benar-benar membantunya. Meski tidak dengan Saniscara, Loka pikir ia bisa mendapatkan pria mana pun yang ia mau untuk dijadikan sebagai pasangannya. Maafin aku, ya, Pitaloka. Ini kulakukan demi keselamatan tubuhmu, nyawaku, dan keluargamu agar tidak mati.
“Baik, Putri. Hamba akan menangkap mereka secepat mungkin.” Saniscara buru-buru menutup jendela kamar Loka. Ia mengatur napasnya dan berusaha menormalkan kembali ekspresi wajahnya yang tidak beraturan saat mendapat serangan bertubi-tubi dari gadis cantik tersebut. Prajurit yang ada di sebelahnya tidak mengerti mengapa sang patih terlihat begitu gugup, bahagia, dan gelisah di waktu yang sama. Setelah kembali normal, ia menegakan tubuhnya dan mencengkeram keris emas kepunyaannya.
“Ayo kita pergi. Kita harus menangkap semua bandit itu sebelum fajar.”
***
“Engh ….” Suasana di kamar berukuran sekitar empat kali lima meter itu begitu hangat hingga membuat gadis yang tengah bergumul dengan selimut jariknya itu tidak mau turun dari ranjangnya. Entah sejak kapan tidur menjadi hobi Loka. Udara desa di masa lalu yang sejuk membuatnya semakin malas untuk beraktivitas seperti perempuan lainnya yang sibuk dengan ladang, memasak makanan, atau duduk sambil membuat kerajinan tangan untuk dijual kembali. Anggap saja ini adalah hadiahku setelah sekian lama bekerja dari pagi sampai pagi. Cukup tidur itu bagus untuk kulit.
“Ohok! Ohok, ohok!” Seolah terkena karma instan, Loka tiba-tiba saja terbatuk keras karena menghirup kapuk yang keluar dari bantalnya. Kapuk itu bersarang di tenggorokannya dan membuat gatal tak tertahankan. Loka terus batuk sembari memukuli dadanya karena susah bernapas. Air, aku butuh air minum!
Dia buru-buru beranjak dari ranjang dan berjalan menuju ke luar kamar. Loka memanggil nama Nandi berulang kali, tetapi tidak ada yang menyahut. Karena tidak sabar, ia lalu memutuskan untuk pergi ke dapur dan mengambil minum dari tempayan air sendiri. Tenggorokannya semakin gatal.
“Gluk, gluk, gluk.” Tiga tegukan air lolos dari tenggorokannya bersama kapuk yang menyangkut di sana. “Haaa! Akhirnya enggak gatal lagi. Jangan-jangan ini adalah teguran dari Yang Maha Kuasa karena aku terlalu lama berleha-leha? Aku bakal cari pekerjaan mulai besok, deh, hmm.” Loka menggigil ngeri. Ia menyeka bekas air yang ada di wajahnya sebelum berjalan kembali ke kamarnya. Dia sudah diberi ultimatum oleh Saniscara untuk tidak pergi ke mana-mana sejak kemarin siang. Entah pukul berapa sekarang, tetapi yang pasti matahari yang belum muncul menandakan sekarang masih masuk waktu fajar.
“Dingin banget, brrr! Balik tidur saja, ah.”
Ketika Loka membalikan diri untuk kembali ke kamarnya, ia melihat sekelebat bayangan hitam yang berlari dari balik jendela.
“Apa itu?” Loka buru-buru menghampiri jendela dan mencoba untuk mengintip. Matanya terbuka lebar saat mendapati ada dua bandit yang sudah berada tepat di samping rumah peristirahatan kerajaan Sunda. Mereka memakai pakaian hitam serta penutup kepala yang hanya memperlihatkan garis mata mereka. Selain itu, kedua bandit tersebut membawa parang serta karung kosong sebagai tempat untuk barang curian mereka.
“Para bandit! Mengapa mereka ada di sini? Apa Kakang Saniscara kalah melawan mereka? Tidak, mungkin mereka adalah bandit yang berhasil lolos dan langsung menuju kemari. Apa yang harus kulakukan? Apa aku harus melapor pada ibu?” Loka menggigiti jarinya sendiri sambil berkomat-kamit kebingungan. Jika melawan Loka, sudah pasti mereka akan langsung tumbang dengan kemampuan taekwondo dan judo yang ia selalu banggakan. Namun, parang tajam yang mereka bawa cukup berbahaya. Ia hanya takut jika para bandit itu mungkin saja akan melukai orang-orang kerajaannya.
“Serahkan barang-barangmu!”
“Aaah! Siapapun, tolong aku! Mmmph!”
Loka terkejut. Ia kembali menyembulkan kepalanya di balik jendela karena mendengar teriakan tersebut. Matanya membelalak saat melihat siapa yang ditangkap oleh dua bandit tersebut.
“Nandi!” pekiknya. Nandini dibekap dan diseret paksa masuk ke dalam hutan rindang yang mengelilingi wilayah peristirahatan ini. Tidak ada pasukan yang berjaga di sini karena semuanya dibawa oleh Patih Anepaken dan sisanya berjaga di bagian luar. Loka harus menyelamatkan Nandini sebelum mereka melakukan hal buruk padanya. Ia pernah dengar jika bisnis perdagangan manusia sedang marak dan harganya sangat fantastis, terlebih lagi b***k wanita yang cantik. Nandini pasti dalam bahaya jika tidak segera diselamatkan! Loka langsung berlari dari ruang dapur dan menuju ke luar rumah. Ia sempat mengambil tongkat kayu yang tergeletak di atas tanah sebelum mengejar Nandini yang dibawa oleh kedua bandit tersebut.
“Nandi, aku pasti akan menyelamatkanmu.”