Chapter 11: Sri Maharaja dan Sang Patih Nusantara

2151 Kata
Percayalah, jika seorang raja juga memerlukan pertolongan dari orang lain. “Kakang, bagaimana dengan lukisan yang ini?” Dyah Nertaja menunjukan sebuah lukisan. Hayam Wuruk mendesah berat. Ia sudah duduk di ruangan kehormatan selama lebih dari tiga jam hanya untuk melihat wajah wanita asing dan menilainya satu per satu. Dia tidak menyukai cara seperti ini. Hayam Wuruk selalu mendambakan sebuah pertemuan mendebarkan yang mampu menggugah seluruh hatinya. Ia tidak bisa melihat karakter orang hanya dari sebuah lukisan. “Dia gadis yang baik.” “Duh, Kakang. Semua lukisan yang kutunjukan semuanya kau bilang mereka gadis yang baik. Memangnya tidak ada satu pun dari kembang desa ini yang menarik perhatianmu, ya, Kakang? Kau bisa dirumorkan tidak menyukai perempuan, lho, jika terus menunda-nunda pernikahanmu.” Dyah Nertaja menggembungkan pipinya kesal. Kakak laki-lakinya itu sungguh bebal dan menyebalkan jika sudah diajak berdiskusi tentang pasangan hidup. Dia lebih suka kabur ke tempat Mahapatih atau Laksamana Nala untuk mendengar kisah petualangan mereka. Dasar laki-laki! “Nertaja, apa sudah selesai?” “Terserah Kakang saja!” Nertaja bangkit dari tempat duduknya dan pergi dengan langkah yang sengaja disentak. Ia meninggalkan Hayam Wuruk dalam perasaan bersalah karena bersikap abai terhadap Nertaja. Sri Gitarja mengikuti putrinya pergi dengan langkah yang lebih halus. Dia membiarkan Hayam Wuruk untuk memikirkan masalah ini, ia harus menyadari bahwa pernikahannya bukan sekadar mengikat janji suci di antara dua insan, tetapi memiliki makna lebih besar. “Ibunda ….” Hayam Wuruk melirih saat melihat kedua wanita itu sudah menghilang di balik pintu. Dia menyandarkan punggungnya ke kursi dan mengambil gelas berisi minuman. Ia menenggak habis minuman manis yang terbuat perasan buah segar dan menaruh cawan kosong itu kembali di atas nampan. Raja muda itu kembali mendesah. Benar kata ibu dan adik perempuannya, ia harus mulai memikirkannya sejak sekarang. Hayam Wuruk tidak memiliki masalah meski menikah di usia tiga puluh atau empat puluh tahun, tetapi rakyat Majapahit pasti akan merasa was-was karena pemimpin mereka cacat—tidak memiliki pasangan. Hal itu bisa membuat kepercayaan rakyat jatuh dan mungkin saja menimbulkan masalah di kemudian hari. “Namun, tetap saja. Aku juga tidak mau menikahi perempuan yang sama sekali tidak kukenal. Pada akhirnya permaisuri adalah satu-satunya wanita yang mengisi hidupku, aku tidak bisa memutuskannya dengan gegabah.” Di tengah kebingungannya, punggawa yang bertugas mengumumkan kedatangan kembali memegang kerang raksasa yang ia gunakan sebagai corong pengeras suara. “Mahapatih Gajah Mada telah tiba di ruangan raja!” Pintu terbuka, menampakan sosok pria paruh baya yang dalam usia kejayaannya. Gajah Mada datang dengan tubuh besar dan tegapnya, sosok perkasa yang sudah menaklukan hampir seluruh Nusantara dan semenanjung Malaya. Hayam Wuruk beranjak dari singgasana dan turun untuk menyambut sang patih yang baru saja kembali dari perjalanannya dalam mengawasi daerah-daerah pendudukan. Sebenarnya ada satu lagi, yaitu Laksamana Nala. Jika Gajah Mada yang menguasai dataran Jawa dan sekitarnya, maka Laksamana Nala adalah sosok tangguh yang berlayar melintasi lautan dan menaklukan wilayah di luar Jawa hingga ujung kepulauan Filipina. Mereka berdua adalah pria-pria kebanggaan Majapahit dan juga Hayam Wuruk yang selalu ia nantikan pulang dan mendengarkan semua kisah petualangan mendebarkan serta penuh bahaya. “Kau sudah pulang, Kakang Mahapatih.” Mereka berdua berpelukan, melepas rindu setelah lama tidak bertatap wajah. Mahapatih Gajah Mada langsung berlutut dan menghaturkan penghormatannya. “Sendhiko dhawuh, Kanjeng Prabu. Saya telah kembali ke Kotaraja setelah menyelidiki bibit pemberontakan di sekitar wilayah Batu.” Kotaraja adalah nama lain dari Trowulan, dikatakan seperti itu karena menjadi pusat ibukota Majapahit—tempat tinggal para raja, sehingga diberi nama Kotaraja. “Apa yang terjadi, Mahapatih? Apa kau sudah berhasil memadamkan pemberontakannya?” “Para pelaku pemberontakan sudah dieksekusi di tempat. Tidak ada yang akan berani membangkang pada Majapahit, sebagaimana yang hamba katakan dalam sumpah, seluruh Nusantara akan tunduk di bawah Majapahit.” Hayam Wuruk mengangguk. Meski caranya sedikit ekstrim dan selalu penuh dengan pertumpahan darah, tidak dapat dipungkiri bahwa Gajah Mada adalah orang penting yang paling bekerja keras di antara semua orang. Dia bersumpah di hadapan ibunya—Ratu Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi saat masih muda untuk menyatukan Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit. Bisa dibilang, Hayam Wuruk hanya menumpang nama atas kerja keras Gajah Mada dan Laksamana Nala selama ini. Rakyat Majapahit dan para Rakryan juga lebih mematuhi perintah Gajah Mada daripada dirinya. Bukan masalah besar. Hayam Wuruk akan tetap berusaha yang terbaik untuk menjaga kedamaian Majapahit sesuai peran yang ia jalankan. Dia tidak akan membiarkan tanah kakek moyangnya ini sampai jatuh saat ia masih bernapas di dunia. “Hamba melihat Ratu Sri Gitarja dan Putri Dyah Nertaja keluar dari ruangan ini dengan ekspresi murung. Sebenarnya apa yang terjadi, Tuanku?” “Oh, itu, Ibunda memintaku untuk cepat-cepat mencari seorang permaisuri. Aku tidak bisa menentukan pasangan hidupku hanya dengan melihat lukisannya saja, Mahapatih. Kau adalah seorang pria yang sudah melanglang buana di dunia pertempuran maupun wanita. Kau pasti tahu apa yang kumaksud.” “Hahaha!” Gajah Mada tertawa mendengar penuturan Hayam Wuruk yang lebih mirip seperti curahan hatinya karena tidak mau menikah dengan wanita asing. Mereka berdua lalu berjalan menuju kursi dan duduk di sana. Gajah Mada menepuk pundak Hayam Wuruk dan membuat pria muda itu terkesiap. “Dengarkan hamba, Tuanku. Memilih pasangan hidup sama saja dengan memilih seorang patih yang akan anda percayai untuk membawa pasukan ke medan perang. Benar seperti yang anda katakan, tidak bisa memilih hanya dengan melihat kemolekannya saja, banyak wanita berwajah molek dan berhati busuk, hamba sudah melihat banyak di antaranya. Namun, anda tidak pernah memiliki hubungan khusus dengan wanita mana pun sebelumnya. Tuanku pasti tidak memiliki gagasan bagaimana cara memulai hubungan cinta dengan seorang wanita.” Hayam Wuruk merasakan hatinya teremas kuat. Ia benar-benar tertohok dengan ucapan Gajah Mada. Dia benar, Hayam Wuruk tidak pernah memiliki hubungan khusus dengan seorang perempuan sebelumnya. Ia dididik untuk menjadi raja di usianya yang masih sangat belia dan hanya memiliki pengetahuan tentang bagaimana mengatur kerajaan serta permasalahan diplomatik lainnya. Tidak pernah terlintas sekali pun di pikirannya mengenai percintaan atau seorang wanita. Hayam Wuruk baru menyadari betapa payahnya dia saat ini. “Lalu, apa yang harus kulakukan, Mahapatih?” “Jalan yang paling cepat adalah langsung berhubungan badan dengan seorang wanita, Tuanku. Jika anda mau, hamba akan memanggilkan wanita penghibur paling cantik untuk melatih anda tentang—” “Sudah. Hentikan saja, Mahapatih. Aku tidak mau mendengarnya lagi.” Hayam Wuruk menyerah. Ia tidak bisa menahan wajahnya yang langsung memerah saat Gajah Mada mulai memberikan sarannya. Para dayang dan prajurit sampai kagum melihat wajah tampan sang raja yang memerah malu. Benar-benar pemandangan langka untuk diabadikan seumur hidup! “Anda masih hijau, Tuanku.” “Aku juga tahu itu, mungkin aku akan melakukannya perlahan saja. Seperti orang-orang pada umumnya, berkenalan, pendekatan, dan merasakan semua getarannya secara lamat serta seksama. Seperti perjalananmu dalam menaklukan seluruh wilayah dan menyatukannya di bawah kekuasaan Majapahit, aku juga ingin menaklukan siapa pun wanitaku nantinya dengan usahaku sendiri.” Hayam Wuruk tanpa sadar mengatakan hal yang berasal langsung dari dalam hatinya. Itu membuat Gajah Mada tersentuh dan menepuk pundak Hayam Wuruk sekali lagi. “Anda memang calon raja yang luar biasa, Tuanku. Jika anda membutuhkan bantuan, hamba sudah siap untuk mengirimkan selusin wanita cantik langsung ke kediaman anda. Hahahaha!” “Mahapatih ….” Hayam Wuruk menatapnya lelah. Mereka berdua mengganti topik pembicaraan dan mulai larut dalam obrolan hingga malam. Setelah itu, Gajah Mada pamit undur diri untuk kembali ke kediamannya. Hayam Wuruk berjalan melewati koridor istana dan menatap Istana Dalem yang menjadi kediaman para wanita di kerajaan. Dia berniat untuk meminta maaf pada Nertaja karena mengabaikannya dan membuatnya kesal siang tadi. Hayam Wuruk beserta arak-arakan dayang dan prajurit yang selalu mengikutinya berbelok ke arah Istana Dalem. Ia langsung menuju ke kediaman Dyah Nertaja yang terletak di sayap kiri paling ujung. “Nertaja, kita tidak bisa melakukan hal ini secara terus-menerus.” Hayam Wuruk berhenti. Ia mendengar suara orang lain. Seorang pria di kediaman Dyah Nertaja. Raja itu meminta arak-arakan dayang yang mengikutinya untuk berhenti dan melangkah sendirian masuk ke wilayah kediaman Nertaja. Suara itu terdengar dari taman belakang adik Hayam Wuruk. “Kakang pasti akan marah saat mengetahuinya. Namun, aku benar-benar tidak ingin berpisah denganmu. Pasti ada jalan untuk kita berdua!” “Nertaja, aku sadar akan posisiku. Kau adalah adik sang Raja yang dikagumi oleh semua rakyat Majapahit. Aku hanya orang rendahan yang bahkan tak pantas bersanding denganmu. Maafkan aku, Nertaja. Kita tidak bisa bersama.” “Nertaja!” Hayam Wuruk keluar dari tempat persembunyiannya setelah cukup lama bersabar dan mendengarkan semua omong kosong itu. Apa? Ada pria b******n yang berani mendekati adik perempuannya? Terlebih mereka bertemu secara diam-diam di kediaman Nertaja? Maka pria itu harus siap dikebiri di depan umum olehnya. “Kakang!” Dyah Nertaja terkejut. Ia merentangkan tangannya untuk menutupi sosok pria berjubah yang langsung kabur melompati pagar rendah yang menjadi batas kediaman Nertaja dengan yang lainnya. Hayam Wuruk berlari untuk mengejarnya, tetapi Nertaja menahan kakak laki-lakinya sekuat tenaga. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika pria itu sampai tertangkap basah oleh raja Majapahit tersebut. “Nertaja, lepaskan Kakang. Kakang akan menangkap b******n itu dan menghukumnya mati di tempat. Dia adalah pria rendahan yang sudah menodaimu, lepaskan Kakang, Nertaja!” “Hentikan, Kakang! Jangan mengejarnya, kumohon. Aku mohon padamu, biarkan dia pergi dengan tenang. Dia sudah menolakku, Kakang. Sedari awal aku yang jatuh hati padanya, tetapi dia tidak mau denganku dan datang untuk menolak perasaanku. Dia sama sekali tidak bersalah, Kakang. Kumohon …” Pelukan Nertaja semakin erat dan teriakannya berganti dengan isakan tangis yang menyayat hati Hayam Wuruk, membuat emosi pria itu semakin menjadi-jadi. “Kalau begitu, Kakang akan menangkap dan mengeksekusinya karena telah berani membuat adik perempuan raja menangis.” “Jangan, aku baik-baik saja. Aku sudah tidak menangis lagi, Kakang.” Nertaja masih tetap tidak mau melepaskan pelukannya pada Hayam Wuruk, membuat pria tersebut akhirnya memilih untuk mengalah. Dia bisa mencari dan membunuhnya nanti, saat Nertaja sudah lebih tenang. Siapa pun k*****t b******n yang telah membuat adiknya menangis, tidak akan pernah Hayam Wuruk ampuni. Dia menatap sendu langit malam yang hanya dihiasi oleh rembulan. “Apa kau begitu mencintai pria itu sampai tidak mau melepaskanku, Nertaja?” Nertaja menggeleng. “Tidak, aku sungguh membencinya! Aku membencinya karena telah membuatku jatuh hati padanya dan dia justru membuatku, adik raja Majapahit yang sangat cantik jelita ini patah hati. Dia tidak akan pernah kumaafkan, jadi tolong, Kakang, berjanjilah padaku untuk tidak mencari dan menghukumnya. Aku membutuhkannya untuk tetap hidup. Karena hanya dengan kebencianku padanya yang bisa membuatku menemukan alasan untuk hidup lebih bahagia tanpa dirinya.” Hayam Wuruk mengangguk. “Baiklah. Aku berjanji padamu. Namun, kau harus berjanji satu hal padaku, Nertaja. Jangan pernah menyembunyikan rahasia lagi dari Kakangmu ini. Apa kau mengerti?” Dyah Nertaja akhirnya melepaskan pelukannya dan mengangguk lemah. Wajahnya terlihat berantakan setelah puas menangis di d**a Hayam Wuruk. Dia kemudian mengantarkan sang adik kembali ke kamar tidurnya dan menungguinya sampai jatuh terlelap. Hayam Wuruk mengusap puncak kepala adiknya yang terlihat lemas secara perlahan. “Benarkah cinta bisa menyakitimu sampai seperti itu, Nertaja?” *** “Bagaimana cara mengayamnya, Nandi?” Loka mengerang frustasi. Ia dan Nandini sedang duduk di bale-bale sambil menghabiskan waktu dengan membuat keranjang bambu. Mereka mempelajari ini saat kembali dari petilasan dan melewati pemukiman orang-orang desa. Mereka semua nampak kagum akan kecantikan Loka yang dianggap melebihi Subadra dan Dewi Tara lalu mengajak kedua gadis itu untuk mampir atau memberi mereka cinderamata. Saat pulang Loka dan Nandi membawa dua bakul makanan mentah serta keranjang bambu yang nampak begitu menarik perhatian Loka. Ia langsung meminta Nandi untuk mengajarinya cara membuat keranjang bambu tersebut. “Anda perlu menganyamnya seperti ini, Kanjeng Putri.” Nandini memberi contoh dengan perlahan. Namun, tetap saja, Loka mencoba sesuai instruksi yang diberikan oleh Nandini dan tidak berhasil. Loka menghempaskan keranjang setengah jadi itu di depannya dan mendengkus kesal. Ia tidak pandai jika berurusan dengan hal-hal yang berhubungan dengan kerajinan tangan. Loka pasti selalu mengacaukannya. Nandini terkekeh pelan melihat tingkah Loka yang terlihat lucu tersebut. Ia mengambil keranjang setengah jadi buatan kanjeng putrinya itu dan menyelesaikannya. Merasa bosan, Loka menggigit jambu air pemberian warga dan menatap Nandini yang masih fokus dengan keranjang bambu di tangannya. Ibunya, Lara Lingsing, sedang tidur siang di dalam rumah. Padahal Loka ingin bertanya lebih lanjut mengenai kehidupan Pitaloka sebelumnya—agar dirinya bisa menyesuaikan diri dengan baik. Bukan masalah. Ia bisa menunggu dan menanyakannya saat sudah bangun saja. “Hei, Nandi, berapa usiamu?” tanya Loka tiba-tiba. Nandini menghentikan kegiatannya. “Em, enam belas tahun, Kanjeng Putri.” Loka melanga. Dia masih sangat muda! Enam belas tahun dengan badan sebongsor itu, benar-benar tidak dapat diduga. Dirinya mengira Nandi berusia sekitar sembilan belas atau dua puluhan awal. Tidak pernah terpikirkan sedikit pun olehnya tentang usia Nandini yang masih sebelia itu. Tunggu, berarti dia sudah bersama dengan Pitaloka sejak masih sangat kecil? Wah, menakjubkan. Loka mengerjap. “Nandi.” “Iya, Kanjeng Putri.” “Berapa umurku sekarang?” tanya Loka. Ia menjadi penasaran berapa usia Pitaloka. Nandini mengetuk dagunya singkat. “Kalau tidak salah, tujuh belas tahun lebih empat bulan.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN