Chapter 10: Sri Rajasanagara dan Problematikanya

2268 Kata
“Siapa kamu?” Kyai Sanca sebenarnya hendak memaki siapa pun pelakunya. Namun, entah kenapa, dia langsung mengurungkan niat dan memilih untuk bertanya secara hati-hati. Kyai Sanca tidak mau terlibat urusan dengan bangsawan yang memiliki posisi lebih tinggi darinya. Ia cukup sadar diri akan hal itu. “Seharusnya aku yang bertanya padamu, Kyai Sanca Panggrawa Bhre Laksmana. Apa yang hendak kau lakukan pada gadis tidak bersalah itu? Tidakkah kau malu dengan usiamu yang seharusnya sudah udzur itu? Bukankah sudah saatnya kau melepaskan semua kenikmatan duniawi dan mulai berdoa pada Sang Hyang Widhi untuk keselamatanmu?” Kyai Sanca mendadak menggigil. Ia tidak tahu siapa pria dengan sorot mata menyeramkan yang berdiri di depannya tersebut. “Siapa kau? Beraninya kau merendahkan Kyai Sanca, penguasa wilayah Babad yang diakui oleh Prabu Hayam Wuruk atas keberanian dan kemurahan hatinya. Jika kau berkata satu hal lagi, akan kupastikan kepalamu tergantung di alun-alun desa.” Seorang prajurit yang menjadi pengawal Kyai Sanca maju dan mengacungkan tombaknya yang sudah diasah tajam-tajam di pande besi. Satu kali tebasan batang pisang pun langsung terbelah menjadi dua bagian. “Heh, diakui oleh Prabu Hayam Wuruk?” Dia terkekeh pelan, dengan nada sedikit merendahkan. Kyai Sanca tahu bahwa permasalahan ini akan bertambah buruk jika diteruskan. Tentu saja, ia berbohong tentang mendapat pengakuan dari sang prabu demi menaikan popularitasnya di kalangan bangsawan miskin di wilayah pinggiran ini. “Kau! Tidak bisa dimaafkan! Majulah—" “Arya, diamlah. Hentikan semua ini, ayo kita pergi saja.” Kyai Sanca memilih untuk melepaskan gadis malang itu dan berjalan pergi dengan langkah kesal menjauhi pria bertudung kain cokelat yang masih berdiri di sana. Arya, nama prajurit yang selalu menempel bangsawan licik itu merasa bingung, tetapi ia langsung mematuhi dan pergi dari sana. Arya sempat memelototi pria misterius itu dengan tajam. Setelah kedua orang tersebut pergi, barulah gadis muda yang malang itu mampu menarik napas lega. Ia berulang kali mengucapkan terima kasih pada pria misterius yang telah menyelamatkannya. Loka juga pasti akan melakukan hal yang sama jika diselamatkan, dia ikut merasa lega. “Kamu sudah baik-baik saja, tenanglah.” “Maturnuwun, Raden. Saya hanya gadis dukuh yang ditawari untuk menjadi pembersih petilasan. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi jika Raden tidak menyelamatkan saya tadi.” Pria misterius itu mengulurkan tangannya ke depan. “Kamu berasal dari dukuh mana?” “Eh? Dukuh Selasih, Raden.” “Begitu, ya. Ambillah dan jangan pernah kembali lagi ke tempat ini. Cari pekerjaan yang lebih layak untuk gadis muda sepertimu.” Loka bersiul pelan. Betapa dermawannya pria misterius itu saat memberikan bingkisan kain berisi tumpukan Kepeng kepada gadis muda yang nampak bergetar karena tidak pernah menerima uang sebanyak itu. “Raden … tapi … ini ….” Dia tergagap. Dengan uang sebanyak ini dia bahkan bisa membeli sepetak tanah kecil untuk mulai berkebun dan menanam sayuran serta buah-buahan segar. Pria itu menggenggam tangan gadis muda itu dan meletakan bingkisan berisi uangnya di sana. Dia kemudian berbalik. Tanpa sadar matanya beradu tatap dengan Loka yang masih penasaran dengan apa yang baru saja terjadi. Hiik! Tatapannya begitu tajam sehingga membuat Loka langsung mengalihkan wajahnya ke samping kiri, mencoba untuk berpura-pura sibuk dengan hal lain. Pantas saja bangsawan licik itu sampai ketakutan dibuatnya! Pasti dia seseorang yang memiliki masa hidup kelam, seperti pembunuh bayaran atau tangan kanan orang berkuasa yang melakukan pekerjaan di malam hari. Loka tidak mau berurusan dengan orang berbahaya sepertinya, meski kelihatannya dia pria yang cukup tampan. Tunggu, Loka! Jangan sampai wajah tampan mengelabuimu. Psikopat saja kebanyakan berwajah tampan dan cantik. Pria itu mengabaikan Loka dan berjalan sambil menarik tudung jubahnya ke depan, semakin menenggelamkan wajahnya di balik bayang-bayang hitam yang tercipta. Gadis tadi mencengkeram erat uang pemberian pria misterius tersebut dan menundukan badan. “Terima kasih, Raden! Saya sangat berterimakasih dengan kemurahan hati Raden. Semoga anda selalu diberikan kesehatan serta umur panjang!” Pria misterius itu tidak membalas ucapan terima kasihnya dan melenggang pergi ke pintu keluar petilasan pribadi ini. Loka mendesah pelan. “Yah, mau pembunuh bayaran atau apa pun itu, dia pria yang cukup baik serta dermawan di mataku. Hanya saja tatapan matanya perlu dikondisikan, siapa pun yang bertemu dengannya pasti akan menyangka bahwa dia sedang menantang berkelahi hanya dari tatapan matanya itu. Menyeramkan. Aku tidak mau memiliki kekasih dengan tipikal wajah menyeramkan sepertinya. Kalau seukuran Lee Min Ho boleh, lah.” “Siapa Li Min Ho, Kanjeng Putri?” “Hiss! Kau membuatku terkejut saja, Nandi.” Loka hampir saja melompat mundur karena kaget akan kedatangan Nandini yang begitu tiba-tiba. Gadis itu terkekeh pelan, mengulas senyuman manis tanpa dosa di wajahnya yang memang sudah cantik tersebut. Rambutnya masih basah dan di pakaiannya tercetak beberapa jejak air karena tubuhnya belum benar-benar kering. Nandini hanya takut membuat Loka menunggu terlalu lama. “Apa yang baru saja terjadi, Kanjeng Putri? Saya mendengar ada ribut-ribut dari luar petilasan. Saat saya mengintip, ternyata Kyai Sanca dengan punggawanya Arya sudah pergi dengan raut wajah kesal.” Nandini menggaruk pipinya yang gatal. Loka menutup mulutnya yang melanga. “Kau mengenal rubah tua yang licik itu?” “Rubah … tua? Memangnya ada rubah liar yang berkeliaran di Trowulan, Kanjeng Putri? Kalau begitu gawat, kita harus segera kembali ke rumah—” “Bukan! Bukan begitu maksudku, Nandi. Itu julukan untuk Kyai Sanca yang terlihat sombong dan suka menyalahgunakan kekuasaannya. Bagaimana kau bisa mengenalnya? Apa dia orang yang begitu penting di kerajaan ini?” Loka bertanya sambil berbisik pelan, takut salah satu antek-antek Kyai Sanca mendengarnya dan ingin balas dendam padanya. Nandini menggeleng. “Saya sudah berteman dengan para gadis di desa ini, Kanjeng Putri. Mereka senang berbincang gosip tentang para bangsawan dan hal-hal lainnya. Saya hanya duduk dan mendengarkan mereka berbicara sambil memakan singkong rebus. Sangat menyenangkan.” “O-oh … begitu, ya.” Loka meneguk ludahnya perlahan. Tidak salah, sih, di mana-mana kaum hawa memang tidak bisa lepas dari namanya dunia pergosipan bahkan sejak enam ratus tahun yang lalu. Loka menepis pemikiran buruknya itu dan tersenyum. “Kalau begitu mari kita pulang ke rumah, Nandi. Aku ingin kau bercerita lebih banyak tentangku, tentang Ibu, tentang semuanya. Kau mau, kan?” Nandi mengangguk. Dia pasti akan membantu sang putri dalam hal apa pun. “Baik, Kanjeng Putri!” Mereka berdua berjalan ke luar petilasan. Loka mendadak berhenti. “Ada apa?” “Kita tidak perlu membayar tiket keluar, kan?” Loka bertanya dengan raut horror. Ia lebih pelit dalam urusan uang dibanding yang lainnya. Penghematan adalah yang terpenting! Menghamburkannya hanya hari ini saja. Mulai besok Loka harus menabung uang, siapa tahu hal penting yang mengharuskannya untuk membayar lebih. Dia bisa juga menyewa kereta kuda paling cepat untuk kabur ke kerajaan tetangga. Nandini menahan tawanya. Ia baru tahu sang putri memiliki sisi yang seperti itu. “Tenang saja, Kanjeng Putri. Ayo kita pulang.” Keduanya kembali berjalan, menjauhi petilasan yang menjadi saksi bisu pertemuan Loka dengan takdir kematiannya. Dari kejauhan pria misterius itu menatap Loka dan Nandini yang semakin menjauh dari pandangannya. Di belakangnya muncul seorang pria memakai pakaian punggawa kerajaan. “Kanjeng Prabu, Ibunda Ratu memanggil anda untuk kembali ke istana.” Pria misterius tersebut menyingkap tudung dan memperlihatkan wajah tegas serta berwibawa meski baru menginjak usia dua puluh tiga tahun. Dia menatap pria di belakangnya. “Apa aku harus pergi sekarang, Dharmawangsa? Semua pekerjaanku untuk hari ini sudah kuselesaikan sejak fajar.” “Ibunda Ratu meminta anda untuk datang meski harus dengan paksaan, Prabu Hayam Wuruk.” Dharma menegaskan ucapannya kembali. Hayam Wuruk mendesah, padahal ia baru saja menemukan sosok yang menarik perhatiannya. Namun, perintah ibu tidak bisa ia bantah sekali pun dirinya adalah seorang raja. “Dan juga, tolong kurangi kebiasaan anda untuk menyelinap keluar dari istana, Kanjeng Prabu. Banyak prajurit yang harus berkeliling Majapahit hanya untuk mencari anda yang sering menghilang dari ruangan anda.” Dharma mengatakannya dengan nada yang sedikit kesal. Ia memang hanya seorang ajudan Hayam Wuruk yang berasal dari bangsawan tingkat rendah, tetapi dia sudah berteman sejak kecil bersama pria nomor satu di Majapahit itu dan mengetahui segala sifat buruknya. Termasuk kebiasaan Hayam Wuruk yang senang menyelinap keluar dan berjalan-jalan di sekeliling Majapahit. “Aku tidak hanya menyelinap, Dharma. Saat pulang nanti, catatkan nama Kyai Sanca dan punggawanya, Arya, di buku besar kerajaan. Dia menyalahgunakan kekuasaannya untuk memaksa seorang gadis lemah pergi bersamanya. Dia akan diturunkan dua tingkah menjadi pejabat desa biasa. Apa kau mengerti, Dharma?” Tatapan mata Hayam Wuruk kembali tidak nyaman untuk dilihat. Ia memang sedikit sensitif dengan para bangsawan yang kotor dan senang bermain licik. Hayam Wuruk ingin membasmi mereka semua demi ketenteraman wilayah Majapahit. Dharmawangsa tersenyum tipis. Pria itu memang selalu begitu. Dia terjun langsung ke masyarakat dan mencari tahu fakta yang ada di lapangan, dia tidak begitu percaya pada laporan para pejabat yang mungkin saja sudah dimanipulasi. Hayam Wuruk cukup trauma saat mendengar kisah pemberontakan yang pernah terjadi dahulu di wilayah kerajaannya. Dia tidak mau hal itu terjadi lagi. “Baik, Kanjeng Prabu.” “Ngomong-omong, apa kau tahu siapa saja bangsawan yang tinggal di wilayah ini?” tanya Hayam Wuruk. “Eh?” Dharma mengerjap. Tumben sekali, raja mudanya itu bertanya perihal bangsawan yang selalu dibencinya. “Selain Kyai Sanca, hanya ada keluarga Renggowuni dan Sarangsari. Mereka tergolong ke bangsawan tingkat rendah. Apa ada hal penting atau mereka melakukan tindak kejahatan, Prabu?” Hayam Wuruk menggeleng kecil. “Apa kedua keluarga itu memiliki anak gadis perempuan?” “Renggowuni hanya memiliki dua pewaris laki-laki. Sementara anak perempuan Sarangsari baru saja melangsungkan pernikahannya dua bulan yang lalu,” jelas Dharma dengan wajah yang masih penasaran. Soalnya, rajanya itu tidak pernah bertanya soal perempuan kecuali tentang adiknya, Dyah Nertaja. “Begitu, ya.” Dia tidak terlihat seperti wanita yang baru saja menikah. Lalu, siapa sebenarnya identitas gadis yang kutemui di petilasan tadi? Kenapa tatapan matanya seolah memikatku untuk mencaritahu lebih dalam tentangnya? “Prabu Hayam Wuruk? Apa jangan-jangan anda menyukai—” Hayam Wuruk meliriknya tajam. “Jangan bicara hal bodoh, Dharma. Cepat siapkan kuda untukku. Kita akan langsung berkuda pulang ke Trowulan.” “Baik, Kanjeng Prabu.” *** “Paduka Bathara Sri Rajasanagara telah tiba di ruangan raja!” Punggawa yang bertugas mengumumkan kedatangan raja menggaungkan suaranya keras dan disusul terbukanya pintu yang mengarah ke ruangan raja—tempat pertemuan serta di mana sang ibu meminta Hayam Wuruk untuk datang. Setelah kembali dari desa Babad, dia langsung mengganti pakaian dan bergegas pergi. Setelah masuk ke dalam dengan pakaian lengkapnya, Hayam Wuruk langsung disambut dengan kehadiran Ratu Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi atau ibu kandung dari pria tersebut. Selain sang ibu, Hayam Wuruk juga mendapati Dyah Nertaja yang duduk di kursinya sendiri, melambai riang saat mata mereka saling beradu pandang. “Salam, Ibunda.” “Selamat datang kembali, Putraku.” Ratu Sri Gitarja menganggukan kepalanya perlahan. Wajahnya masih saja cantik memesona di usianya yang sudah menginjak kepala lima, dia adalah ratu tangguh yang memerintah Majapahit setelah ayahnya—Prabu Jayanagara mati karena diracun oleh tabibnya sendiri. Hayam Wuruk lalu duduk di kursinya sendiri, yang langsung diberi pijakan kaki serta disuguhi minuman oleh dayang yang berjaga di sekelilingnya. “Selamat datang, Kakang! Kau pasti menyelinap ke luar istana lagi, benar, bukan?” Dyah Nertaja bertanya dengan ekspresi jahilnya. Hayam Wuruk langsung mendapat pukulan telak, dia melirik kesal ke arah adik perempuannya tersebut. Dyah Nertaja memeletkan lidahnya kecil lalu terkekeh senang karena berhasil memojokan orang nomor satu di Majapahit tersebut. Sri Gitarja menatapnya curiga. “Apa itu benar, Putraku? Kau menyelinap ke luar istana lagi?” “Itu benar, Ibunda. Aku keluar untuk melihat kondisi kehidupan rakyat Majapahit. Aku tidak bisa hanya diam dan menerima laporan para bangsawan licik itu seperti bayi yang disuapi tanpa tahu apa-apa.” Hayam Wuruk membela diri. Sri Gitarja memegang pelipisnya yang mendadak berdenyut. Ia selalu saja dibuat pusing dengan tingkah kedua anaknya itu. Hayam Wuruk dan kebiasaan bebasnya yang susah untuk dikendalikan, serta Dyah Nertaja dengan semua rasa penasaran dan kejahilannya pada kakaknya sendiri. “Kau memang diperbolehkan untuk ke luar dari istana, Hayam Wuruk. Namun, itu bukan berarti kau bisa setiap hari kabur dan menghilang. Sudah berapa kali Ibu yang harus menangani keluhan para Rakryan—pejabat pemerintahan Majapahit karena kau terlalu sering absen.” “Baik, Ibunda. Aku akan berusaha untuk menguranginya. Mungkin empat kali seminggu?” “Hayam Wuruk ….” “Kakang! Kau ini benar-benar!” Hayam Wuruk mengalah. “Baik, hanya dua kali dalam seminggu. Aku juga harus memantau semua perkembangan pembangunan di sudut-sudut Majapahit, Ibunda. Aku tidak mau pemberontakan sampai terjadi karena timbulnya ketidakpuasan rakyat terhadap kerajaan.” Dia sudah tidak bisa menguranginya lagi. Hayam Wuruk juga ingin mencaritahu lebih lanjut mengenai gadis misterius yang ia temui pagi tadi di petilasan. “Baiklah, kalau begitu. Nertaja, apa kau membawanya?” Sri Gitarja menoleh pada putrinya. Dyah Nertaja mengangguk dan langsung beranjak untuk mengambil sesuatu. Hayam Wuruk tidak memiliki ide mengenai apa yang sedang direncanakan oleh kedua wanita paling penting di dalam hidupnya tersebut. “Sebenarnya apa yang membuat Ibunda sampai memanggilku kemari—” “Ini dia!” Dyah Nertaja menunjukan setumpuk lukisan yang diikat dengan tali jerami. Hayam Wuruk memiliki perasaan tidak enak tentang lukisan tersebut. Sri Gitarja tersenyum dan kembali menatap raja muda yang masih sendiri itu. “Ibu membawakanmu lukisan para gadis bangsawan tercantik dari seluruh negeri, Hayam Wuruk. Kau harus segera memilih satu di antara mereka untuk kau jadikan pendamping hidupmu.” Jdar! Benar firasat Hayam Wuruk. Pasti urusan pernikahan lagi. Sudah tujuh tahun lamanya ia berperan menjadi raja Majapahit dan sang ibu tak henti-hentinya meminta dirinya untuk mencari seorang permaisuri. Namun, Hayam Wuruk selalu bisa lolos dengan berdalih usianya masih terlalu muda untuk menikah. Kini dia sudah menginjak usia dua puluh tiga tahun, alasan apa lagi yang harus ia buat untuk menghindari perjodohan ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN