Chapter 09: Petilasan dan Bangsawan Sombong

2286 Kata
“Kanjeng Putri, bangun! Ini sudah pagi. Waktunya anda mandi dan berganti baju.” Sreeek! Dengan sekali seret, gorden yang terbuat dari kain katun tebal itu terbuka lebar dan sorot matahari pagi merayap masuk ke dalam kamar Loka.  Gadis itu masih menempel manis di atas ranjangnya, ia benar-benar tertidur lelap semalam. Biasanya Loka mengalami gejala amnesia parah akibat stress dan semua pekerjaannya di kantor. Namun, ia tertidur nyenyak setelah makan malam dan bermimpi indah.  Benar-benar surga bagi pekerja kantor langganan lembur sepertinya! Andai saja Loka bisa terdampar ke masa lalu lebih cepat. “Kanjeng Putri … bangun.” Nandini—gadis dengan hidung mungil itu tidak kunjung menyerah, ia kini menggoyang-goyang tubuh Loka dan membuat wanita itu menguap lebar sembari mengucek matanya malas.  Nandini mendesah pelan, apa dia benar-benar seorang putri kerajaan Sunda yang terkenal dengan keanggunan dan kecantikan tiada tara? Memang benar, sih, meski Loka sedang menguap atau mengupil sekali pun, kecantikannya tidak berkurang sama sekali.  Hanya saja! Nandini bisa pingsan di tempat jika Loka melakukan hal tidak bermoral itu di depan khalayak umum. “Aaaah, jam berapa, sih? Padahal masih enak tidur.” Loka manyun. Ia sebal. Sebenarnya dirinya sudah lupa kapan terakhir kali bisa tidur senyaman itu, ia ingin menikmatinya sebentar lagi. Nandini menyibak selimut jarik yang dikenakan oleh Loka dan membuntalnya di tangan. Loka langsung terserang angin dingin di pagi hari yang membuatnya menggigil. “Nandi, Nandi … selimutnya sini … dingin banget tahu … brrr!” “Kanjeng Putri, ini sudah hampir siang. Anda seharusnya pergi membasuh diri ke petilasan sejak satu jam yang lalu.” Loka melanga, mandi di cuaca sedingin ini? Ini namanya bunuh diri pelan-pelan! “Memangnya siapa yang mau mandi sepagi itu?” protes Loka. “Anda biasanya sudah bangun dan pergi membasuh diri sebelum fajar menyingsing, Kanjeng Putri.” Nandi menurunkan bahunya lemas. Ia mungkin sudah lelah menjelaskan pada tubuh tuan putrinya yang kini diisi oleh jiwa bebal dan mageran seperti Loka. “Ah, baiklah. Aku akan pergi mandi sekarang. Tunjukan padaku di mana petilasannya, Nandi. Kau tahu, kan, aku masih sedikit lupa ingatan.” Loka menaikan bahunya pasrah. Ia harus menjaga sandiwaranya sebagai seorang putri kerajaan, meski dirinya sangat tahu bahwa ia sangat buruk dalam menyamar ataupun saat berbohong pada orang lain.  Mereka berdua keluar dari kamar Loka dan berjalan menuju petilasan umum yang terletak tepat di samping kanan rumah peristirahatan ini. Loka baru menyadari betapa luas dan indahnya rumah yang ia tinggali, banyak sekali patung batu yang terletak di tengah kolam kecil dan bunga teratai yang mengapung di sekelilingnya. Benar-benar pemandangan damai dan menyejukan untuk dilihat berlama-lama. Nandini membawa baju milik Loka yang dilipat dan disunggi di atas kepalanya. “Woah, dia benar-benar jago menyungginya.” Loka sampai kagum dibuatnya. Mereka sudah sampai di tempat petilasan yang ramai ditempati oleh banyak wanita muda, anak kecil, hingga paruh baya sedang mandi dan berbincang ringan mengenai topik pagi hari, seperti sarapan apa yang disiapkan untuk para suami hingga masalah intim yang tidak mau Loka bahas karena memalukan. Nandini meletakan pakaian kering di atas keranjang khusus yang sudah disiapkan untuk menyimpan barang saat mandi di petilasan. “Kanjeng Putri, silahkan mandi terlebih dahulu.” Loka menoleh horror. “Hah?” “Kau tidak bermaksud untuk memintaku membuka baju dan mandi di tengah keramaian ini, kan, Nandi? Iya, kan?” Nandi memiringkan kepalanya, bingung. “Biasanya juga begitu, Kanjeng Putri. Semuanya di sini juga perempuan. Tidak akan ada yang bisa mengintip.” Ia menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tidak ada satu pun laki-laki c***l yang melintas dan berniat untuk mengintip petilasan wanita. Loka mengerang. “Aku tahu mereka semua wanita! Namun, tetap saja … mandi bersama banyak orang itu sedikit terasa memalukan, aku malu, Nandi.” Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan.  Loka tumbuh dan besar di lingkungan di mana ia dididik untuk mandiri sejak kecil. Loka tidak pernah mandi bersama lagi sejak usianya menginjak sepuluh tahun sampai dua puluh empat tahun. Itu artinya, selama empat belas tahun Loka sudah terbiasa mandi sendiri di ruangan tertutup.  Ia pasti kaget dan marah jika dipaksa merubah kebiasaan yang sudah melekat sejak kecil. “Begitu, ya …” Nandini langsung memikirkan jalan keluarnya. “Kalau begitu, kita pergi ke petilasan pribadi saja, Kanjeng Putri. Namun, karena ini pribadi mungkin akan memakan biaya yang cukup mahal.” “Tidak apa-apa!” sahut Loka cepat. “Ibu pasti membawa banyak uang saat memilih untuk berangkat ke Trowulan, benar, kan?” Ucapannya membuat Nandini mengeluarkan senyuman tipis serta asem untuk dilihat. Mereka berdua kemudian pergi dari petilasan umum itu dan menuju petilasan pribadi yang terletak cukup jauh dari rumah peristirahatan. Loka bahkan harus berhenti sejenak karena kakinya mengalami keram ringan. Mereka akhirnya sampai di petilasan pribadi di saat matahari sudah semakin meninggi. “Petilasan pribadi ini milik seorang bangsawan. Kita harus membayar biaya masuknya dulu, Kanjeng Putri.” “Eh?” Loka mengerjap kaget. Ia terkesima dengan arsitektur bangunan di depannya yang terlihat begitu menarik dan semua relief timbul terukir di dinding-dindingnya. “Oh, baiklah. Bayar saja, Nandi. Hanya hari ini saja, mulai besok aku janji untuk menggunakan petilasan umum.” Nandini mendesah berat, setidaknya Loka sudah mengucap janji. Ia membuka kantong uang dari balik jarik dan mengeluarkan beberapa keping koin tembaga dari sana. Nandini menghampiri laki-laki kerempeng yang membawa gentong untuk menaruh uang. “Satu petilasan untuk dua orang.” “Enam Kepeng.” Nandini meletakan enam buah koin tembaga itu ke dalamnya dan menoleh cepat pada Loka seolah memberinya syarat agar masuk ke dalam petilasan pribadi sebelum matahari semakin meninggi.  Loka menyadari sesuatu saat Nandini mengeluarkan koin tembaga itu, di zaman ini, mata uang yang digunakan adalah Kepeng. Loka sendiri tidak tahu berapa satuan konversinya jika dibandingkan dengan rupiah, tetapi ia yakin koin tembaga ini pasti lebih berharga daripada selembar kertas yang cepat sobek.  Loka menyudahi semua lamunannya dan bergegas mengejar Nandini. Ia mengikuti Nandini untuk masuk ke dalam petilasan pribadi yang sudah disekat menjadi beberapa bagian dan pintu masuknya ditutup menggunakan kain jarik lebar. “Wah, petilasannya tersusun rapi. Pantas saja harga per-orang sampai tiga Kepeng.” Loka bergumam takjub sembari berjalan di belakang Nandini dan memasuki salah satu petilasan yang lebih mirip seperti kamar sauna tersebut. Di samping kiri dan kanan terdengar suara tawa dan obrolan orang-orang. Mungkin mereka juga keturunan bangsawan di tanah ini. “Monggo, Kanjeng Putri.” “Oh, iya. Nandi, apa kau bisa mandi sambil berbalik?” Nandi menghela napas yang sudah entah keberapa kalinya sejak pagi ini. Dia mengangguk pelan. “Kalau begitu, saya akan menunggu Kanjeng Putri di luar sampai selesai membasuh diri.” Nandini kemudian pergi ke luar dan meninggalkan Loka yang merasa bersalah karena terlalu banyak menuntut ini-itu. “Huuuh, mau bagaimana lagi.” Loka melepas pakaiannya dengan wajah yang masih dipenuhi rasa bersalah. Ia sudah memutuskan untuk minta maaf pada Nandini dan membelikannya makanan enak saat di perjalanan pulang nanti.  Loka juga tidak mau merepotkan orang lain seperti ini. Namun, ia perlu sedikit waktu untuk menyesuaikan diri dengan budaya dan kebiasaan orang-orang pribumi enam ratus tahun yang lalu.  Loka mencelupkan kakinya ke dalam petilasan dan rasa dingin air langsung merayap naik. Ia buru-buru mengangkat telapak kaki dan duduk bersimpuh di tepi petilasan. “Dingin,” lirihnya. Loka lalu mengambil gayung yang terbuat dari batok kelapa—orang Jawa menyebutnya dengan siwur dan mulai membasahi diri. Semilir angin yang berembus dari atas petilasan menambah kesejukan air yang mengalir dari ujung kepala Loka.  Meski dingin, Loka justru ingin berlama-lama di tempat ini. Begitu menenangkan dan cocok untuk meditasi. Di tengah-tengah prosesi membasuh diri, pikiran Loka kembali teringat tentang ucapan Lara Lingsing kemarin malam. “Perjamuan besar? Seingatku tidak ada yang menyebutkan hal itu di dalam sejarah. Hmm, mungkin saja peristiwanya memang tidak tercatat di dalam sejarah atau prasasti yang mencatatnya sudah hancur ditelan waktu. Namun, tetap saja ini terasa aneh.” Loka berdeham lirih. Ia lalu menggeleng cepat. “Sudahlah, Loka. Jangan terlalu banyak dipikirkan. Aku harus mencari cara untuk kembali ke masa depan, jika itu tidak mungkin, aku akan mencari cara untuk menghindar dari kematian. Apa sebaiknya kutolak saja pinangan Prabu Hayam Wuruk? Toh, dia nantinya akan menikah dengan Sori.” Di dalam sejarah aslinya, Prabu Hayam Wuruk yang kehilangan calon permaisurinya—Dyah Pitaloka karena gugur di medan perang Bubat, akhirnya memilih untuk menikahi Sri Sudewi, sepupu perempuannya sendiri dan mengambil gelar Paduka Sori. Pada dasarnya, Loka datang ke sini hanya untuk bunuh diri.  “Benar, kalau begitu aku tolak saja pinangannya. Tidak ada yang akan menghukumku karena menolak pinangan seorang raja, bukan? Jika saja kutolak pinangan Hayam Wuruk dan arak-arakan pernikahan itu tidak datang ke Majapahit, pasti perang Bubat tidak pernah terjadi dan aku tetap hidup.” Loka terkikik licik, ia sudah menemukan jawaban atas masalahnya. “Duh, apa-apaan, ternyata sesimpel ini jawabannya.” Jeda sejenak. “Tapi, apa aku boleh mengubah sejarah yang sudah pakem, ya? Gimana kalau perang Bubat enggak pernah terjadi, lalu sejarahnya tiba-tiba berubah karena alurnya berantakan?” Loka menepuk jidatnya. Ia dilanda kecemasan lagi. “Masa aku harus menerima takdir kematianku dengan pasrah?” “Aaaah bingung!” racau Loka. Ia tidak mau mati, tetapi dia juga tidak berani mengambil langkah besar yang bisa saja menghancurkan tatanan waktu. Lalu, apa yang harus Loka lakukan sekarang? “Kanjeng Putri? Apa anda sudah selesai mandi?” tanya Nandini dari luar. Loka mengerjap, ia terlalu larut dalam masalahnya sendiri sampai lupa bahwa Nandini sudah menunggunya sedari tadi. Loka buru-buru menyelesaikan prosesi mandinya dan mengenakan pakaian bersih yang dibawakan oleh Nandini. Ia melilitkan jarik yang dilipat sampai di atas mata kaki. Untungnya, dahulu saat SMP Loka sering mengikuti lomba menari Jawa dan terbiasa mengenakan pakaian kontes. Ia kemudian mengeringkan rambutnya dan menyisirnya rapi menggunakan sisir kayu. Loka mengepalkan tangannya erat. Ia menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Ia sudah membuat sebuah keputusan. “Huft. Jalani saja kehidupanku dengan damai. Jika memang terpaksa harus mengubah alur sejarah, aku akan melakukannya dan siap menanggung semua konsekuensi yang akan terjadi ke depannya. Aku akan hidup, Ibu, Ayah, Nandini, dan semuanya akan kupastikan tetap hidup. Perang Bubat tidak akan pernah terjadi.” Dia lalu berjalan sembari menyunggi pakaian kotor di dalam keranjang bambu dan keluar dari petilasan, menghampiri Nandini yang tengah duduk dan bercengkerama dengan burung-burung di atas kolam teratai mini. Gadis itu menyadari kedatangan Loka dan langsung menoleh. Ia buru-buru mengambil keranjang dari atas kepala Loka. “Kanjeng Putri, apa yang anda lakukan? Air kotornya bisa merembes dan membasahi anda lagi. Biar saya saja yang membawanya.” Loka tersenyum tipis dan menatap gadis yang sungguh baik hati dan sangat perhatian padanya tersebut. Loka tidak bisa membayangkan Nandini harus mati gara-gara takdir kejam tersebut. Ia harus melindungi gadis itu dengan tangannya sendiri. “Terima kasih, Nandi. Masuklah ke dalam petilasan dan basuh dirimu juga. Aku akan duduk di sini menunggumu. Nikmati saja waktumu.” Nandini merasa tersentuh dengan ucapan Loka yang benar-benar tulus keluar dari dalam lubuk hatinya. Dyah Pitaloka memang gadis yang baik dan sangat mandiri, bahkan ia menjadi kiblat panutan para perempuan di tanah Sunda karena kepribadiannya yang begitu mengagumkan. Namun, entah kenapa, Nandini selalu merasa sang putri berada jauh di atas, bak rembulan yang hanya bisa dinikmati keindahannya dari kejauhan. Ia tidak mengeluh karena hal itu, Nandini bersyukur dan selalu mendoakan sang putri untuk keselamatan serta kebahagiaannya.  Nandini tersenyum manis, ia merasa sang putri kini bukan lagi rembulan yang hanya bisa ia kagumi dari kejauhan, melainkan sosok dewi yang turun ke bumi dan memberikan kehangatan serta kebaikannya. Ia senang sekali. Nandini bersyukur karena dibawa ke istana saat masih belia dan diberi kesempatan untuk melayani putri Pitaloka sejak usia dua belas tahun. “Terima kasih, Kanjeng Putri.” Setelah punggung gadis muda itu menghilang ke balik petilasan, barulah Loka bisa menarik napas lega. Ia menatap ke lantai yang terbuat dari susunan batu tumpul agar tidak melukai kaki orang lain. “Aku merasa sedikit bersalah, mempermainkan semua orang dengan bersandiwara menjadi seorang putri.” “Seandainya saja aku tahu bagaimana cara ke luar dari situasi ini,” lirihnya, sambil mencengkeram erat ujung pakaiannya. “Mungkin Sang Putri yang kupinjam tubuhnya pun merasa kesal dan jijik padaku karena berpura-pura sebagai dia. Hmm, kalau aku bunuh diri apa aku akan kembali ke masa dep—” “KYAA!” Loka menoleh cepat ke sumber teriakan itu. Matanya membelalak saat melihat seorang wanita muda yang tengah digoda secara paksa oleh pria bangsawan yang memasang wajah m***m.  Benar-benar mengerikan! Entah di masa lalu maupun di masa depan, pasti ada saja orang semacam ini yang menggunakan harta dan kekuasaannya untuk mendapatkan segala sesuatu yang ia inginkan. Tipe orang yang paling dibenci oleh Loka. Dia membenci Jarwo juga karena hal itu, menggunakan jabatannya sebagai anak Pak RT dan pemilik sawah paling luas di desa sehingga tidak ada satu pun yang berani melawan perkataan Jarwo. “Tolong … tolong lepaskan saya, Kyai Sanca.” “Ho, ho, ho. Kamu ayu tenan, ikut Aki ke rumah malam ini. Aki akan menjamumu dengan banyak makanan dan pemusik terbaik di Trowulan. Kau tahu sendiri, aku adalah Kyai Sanca, penguasa Babad yang diakui oleh sang Prabu. Lebih baik kau jangan membuat Aki marah, Cah Ayu.” Bangsawan yang ternyata penguasa wilayah itu mulai merangkul gadis muda yang kini nampak sangat ketakutan hingga ingin menangis. “b*****h gila.” Loka mencebik murka. Dia harus segera menghentikannya! “Setan alas!” Loka terperangah saat kepala bangsawan bau tanah itu dihajar menggunakan ranting dari arah belakang hingga menimbulkan bunyi yang membuat telinga ngilu. Kyai Sanca menoleh ke belakang sambil terus memegangi kepalanya yang terasa memar dan berdenyut sakit. Ia akan menjatuhi hukuman mati pada siapa pun yang berani melakukan hal itu padanya.  Loka mencondongkan kepalanya untuk melihat siapa jagoan tersebut. Ia tidak dapat melihat seluruh tubuhnya karena tertutup jubah coklat dan berdiri membelakangi Loka.  Kyai Sanca menatapnya berang. “Siapa kamu?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN