Chapter 08: Dyah Ayu Pitaloka Citraresmi

2112 Kata
Loka mengedarkan pandangannya. Ruangan ini cukup luas dan mewah. Tidak ada lampu pijar di sini. Hanya lentera minyak yang menempel di sudut-sudut dinding dan membuat suasana malam yang dingin terasa sedikit hangat. Loka duduk di atas ranjang miliknya—sebenarnya milik Dyah Pitaloka yang asli, tetapi entah sihir atau ilmu hitam macam apa yang mengenainya, kini tubuh itu menjadi milik Pitaloka Evania. Tidak. Jiwa Loka yang berpindah ke dalam tubuh ini dan melintasi dimensi waktu. Loka mendesah pelan. “Pada akhirnya aku menyerah dan mengikuti mereka ke rumah peristirahatan ini. Namun, bagaimana caranya aku bisa kembali ke masa lalu? Ingatanku samar-samar.” Loka memijit pelipisnya. Hal terakhir yang ia ingat adalah Loka mengejar sesuatu—dia tidak ingat apa itu dan saat Loka masuk ke dalam sebuah candi, dia tiba-tiba kehilangan kesadarannya lalu terjatuh. Ketika Loka terbangun, ia sudah berada di Trowulan, enam ratus tahun yang lalu. Loka lagi-lagi mendesah. “Sudah kubilang, apa semua ini masuk akal?” Ia menjentikan jarinya. “Bisa saja aku sedang bermimpi yang di mana terasa mirip seperti kenyataan. Itu, lho, orang-orang biasa menyebutnya dengan lucid dream. Berarti hal yang harus kulakukan adalah membuat tubuhku terbangun. Hmm, apa aku harus mencubit pipi sekuat tenaga?” Loka menjiwit pipinya dengan kuat dan meringis kesakitan hingga matanya berair. “Sakiiit!” racaunya sendiri. Dia langsung menyerah dan mengusap pipinya yang masih terasa perih. “Kanjeng Putri, waktunya makan malam. Ibu anda memanggil ke ruang makan.” Nandini mengetuk pintu dan memanggil Loka yang masih duduk menyendiri di dalam kamarnya. Nandini dibuat kewalahan, dia tidak mau makan, mandi, ataupun mengganti pakaiannya yang jelas-jelas sudah basah dan kotor. Kanjeng putrinya tidak biasanya melakukan hal aneh seperti ini. Dia adalah wanita berkelas dan anggun yang selalu berpegang teguh pada aturan, kedisplinan dan kebersihan. “Oh, baiklah. Aku akan menyusul, pergilah lebih dahulu.” Loka menoleh dan mengibaskan tangannya untuk mengusir Nandini pergi. Gadis yang kira-kira lebih muda dari Loka tersebut memanyunkan bibirnya dan menurut untuk pergi. Kini hanya tinggal keheningan yang menemani Loka bersama semua pemikiran rumitnya. Ia sudah memegang sebuah kertas yang terbuat dari kulit hewan—sungguh, memangnya belum ada pembuatan kertas dari bubur kayu, ya? Loka merinding saat menorehkan tinta di atas kulit hewan mati. “Maafkan aku karena membuat tato di kulitmu, mbek.” Ia mulai menuliskan semua hal yang dia ingat dan barangkali bisa menjadi petunjuk agar Loka bisa keluar dari lingkaran takdir mengerikan ini. Secara garis besarnya, Loka menghadapi sebuah masalah berbahaya yang menyangkut nyawa banyak orang termasuk dirinya sendiri. “Di sini, namaku adalah Dyah Pitaloka Citraresmi. Putri dari Kerajaan Sunda—ah, mungkin sekarang disebut Kerajaan Galuh. Kalau dilihat dari tahun dan semua kebetulan yang terjadi, hanya ada satu kesimpulan yang bisa ditarik, yaitu tragedi Perang Bubat tahun 1357 Masehi.” Loka berhenti menorehkan tinta. Ia menggebrak meja yang terbuat dari kayu cendana dengan wajah terkejut. “Itu artinya tahun ini! Sial, aku benar-benar dalam masalah!” Bagi kalian yang belum tahu, akan kujelaskan sedikit. Perang Bubat adalah perang antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Majapahit yang terjadi di Desa Bubat, tahun 1279 Saka atau 1357 Masehi. Prabu Hayam Wuruk yang memerintah sejak remaja belum juga memiliki permaisuri, dia terus dipaksa untuk melihat lukisan wanita cantik di penjuru tanah Jawa, tetapi tidak ada satu pun yang menarik hatinya. Sampai suatu saat, lukisan Dyah Ayu Pitaloka Citraresmi, putri kerajaan Sunda membuat Hayam Wuruk jatuh hati dengan keelokan parasnya. Ia bermaksud untuk meminang sang putri dan arak-arakan keluarga kerajaan Sunda datang ke Majapahit dengan maksud untuk melangsungkan pernikahan. Namun, patih kerajaan Majapahit, Gajah Mada, memiliki maksud lain dan meminta sang putri untuk diserahkan sebagai upeti sehingga kerajaan Sunda menyatakan tunduk kepada Majapahit. Merasa harga diri kerajaan diinjak-injak, arak-arakan kerajaan Sunda yang hanya berjumlah sekitar seratus orang memilih untuk berperang sampai mati melawan pasukan Majapahit. Prabu Linggabuana dan istrinya menjadi korban perang. Seluruh pelayan, prajurit hingga pembawa tandu juga mati di dalam peperangan yang sangat berat sebelah itu. Pitaloka menolak untuk dijadikan upeti dan memilih jalannya sendiri, dia bunuh diri dengan menusuk jantungnya menggunakan tusuk konde. Akibat perang tersebut, hubungan kedua kerajaan renggang dan berimbas hingga masa sekarang. Bahkan ada larangan orang Sunda menikahi orang Jawa akibat dendam kedua belah pihak yang menurun dari generasi ke generasi berikutnya. Loka mendapati sebuah alur yang sedikit ganjil di sini. “Seharusnya Pitaloka belum pernah pergi ke Majapahit kecuali saat arak-arakan pernikahan. Lalu, kenapa aku dan Ibuku berada di wilayah pinggiran Trowulan saat ini? Jangan-jangan …” Ia menjatuhkan pena dan berlari kencang keluar kamar. Nandini yang berjalan lunglai di koridor rumah sampai hampir terjatuh saat Loka berlari melewatinya. “Kanjeng Putri!” panggilnya, ikut berlari mengejar. Duh, kenapa seharian ini dia terus berlari, sih? Padahal Nandini tidak berniat untuk menurunkan berat badan atau mengikuti lomba lari di desa. Loka menemukan meja makan dan ruangan lebar lainnya yang tidak terlalu ia perhatikan saat masuk ke dalam. Dia menghampiri Permaisuri Lara Lingsing—nama sang ibu yang sedang khidmat memakan kudapan malam. Dia mendongak dan menatap Loka sebelum tersenyum lembut layaknya seorang ratu. “Dyah, kemarilah dan makan malam bersama Ibu.” “Permaisuri—maksudku, Kanjeng Ibu. Boleh aku bertanya sesuatu padamu?” “Hm? Ada apa, anakku? Duduk dan katakanlah. Ibumu ini memang tidak tahu segalanya, tetapi Ibu akan berusaha menjawabnya dengan sebaik mungkin. Katakan saja apa yang mengganjal di dalam hatimu, Dyah.” Loka mengulum bibirnya dan mendudukan bokongnya di atas kerasnya kursi kayu yang terbuat dari cendana tersebut. Dia menatap makanan sederhana yang kebanyakan tidak ia ketahui namanya. Loka hanya tahu ada sejenis sup yang berisi sayuran hijau dan potongan daging ayam rebus dengan sambal hijau yang diulek kasar. Nasi putih yang baru selesai dimasak dan uapnya mengepul hangat. Itu membuat perut Loka mendadak bergemuruh lancang sampai sang ibu menahan tawa. Loka meringis kecil. Sialan kau perut jahannam! “Makan dulu, Dyah. Setelah itu katakan pertanyaanmu. Ibu tidak bisa melihatmu seperti anak perempuan yang tidak pernah diurus oleh keluarganya. Nandini, cepat siapkan makanan untuk Kanjeng Putri.” Dia menoleh pada Nandini yang tiba-tiba sudah berdiri khidmat di belakang Loka. Itu membuat Loka cukup merinding. “Baik, Kanjeng Ratu.” Tangan gadis tersebut begitu sigap dalam mengambil piring gerabah dan melapisinya dengan daun pisang yang sudah dijemur agar sedikit lemas. Dia memasukan secentong nasi putih beserta lauk, tak lupa Nandini mengambilkan potongan ayam yang paling besar dan terlihat berlemak. Loka sampai harus meneguk ludahnya dua kali. Saat tinggal di kontrakan, ia hanya makan mie instan atau rames yang berisi tempe kering dan tahu. Untuk urusan makanan dan kehidupan mewah, Loka mendadak bersyukur karena bisa masuk ke dalam tubuh putri kerajaan Sunda ini. Dia akan makan sampai kenyang! “Terima kasih, Nandini.” Loka tersenyum lebar saat menerima piring yang penuh dengan makanan tersebut. Nandini sedikit tertegun melihat senyuman majikannya, bahkan sang Permaisuri juga ikutan kaget melihat putrinya yang terlihat berbeda malam ini. Dia biasanya bertingkah sangat tertutup, lembut dan anggun layaknya angsa di atas danau, tetapi kali ini putrinya terlihat luwes dan makan dengan santai. Wajahnya pun sangat cerah saat menikmati semua makanan di atas meja. Lara Lingsing sudah mendengar ceritanya dari Nandini, mengenai Pitaloka yang tiba-tiba saja berubah menjadi aneh dan seolah tidak mengenali dirinya sendiri. Namun, ketika melihat Pitaloka yang sedang makan dengan perasaan bahagia di depannya, Lara Lingsing tersenyum lembut, dia justru merasa putrinya terlihat lebih manis daripada biasanya. “Jadi, apa yang ingin kau tanyakan, Dyah?” Lara Lingsing memulai pembicaraan. Loka sudah selesai dengan makanannya dan meneguk air dari cawan bambu. Rasanya segar dan manis, ia belum pernah mencicipi kesegaran air seperti ini. Sepertinya, kualitas air enam ratus tahun yang lalu masih sangat alami karena diambil langsung dari mata air pegunungan. Belum ada polusi maupun sampah plastik yang berserakan dan mengotori lingkungan. Loka jadi sedikit berharap jika manusia seharusnya musnah saja. Jangan ngawur ke mana-mana, kamu, Loka. Khawatirkan dirimu dulu baru orang lain! “Ah, em … begini, Kanjeng Ibu. Sepertinya siang tadi kepalaku membentur batu sungai dan membuat ingatanku menjadi tidak beraturan. Namun, aku sudah ingat sedikit mengenai kalian dan diriku sendiri.” Loka menjeda kalimatnya, Nandini dan Lara Lingsing langsung melemparkan pandangan satu sama lain. Mereka terlihat kaget, tetapi mampu menyembunyikannya dengan baik. Lara Lingsing paling anti dengan namanya keributan dan masalah sepele yang dibesar-besarkan. “Masalahnya, aku tidak ingat alasan kita datang kemari, Kanjeng Ibu.” “Sebelumnya, apa kepalamu baik-baik saja, Dyah? Ibu akan meminta Nandini untuk memanggil dukun tabib dan mengobati kepalamu.” Loka mengangguk cepat. “Aku baik-baik saja, sangat sehat! Lihat ini!” Dia mengetuk-ketuk kepalanya sendiri keras seolah-olah itu adalah batok kelapa. Lara Lingsing meringis ngilu saat melihatnya. Bagaimana bisa putrinya melakukan hal yang jelas-jelas menyakiti dirinya sendiri itu? “Kanjeng Putri, jangan dipukul terus, nanti tambah rusak kepalanya ….” Nandini buru-buru menghentikan tangan Loka yang masih menjitaki kepalanya sendiri. Loka terkekeh pelan, ia sedari dulu dikenal dengan julukan si kepala batok karena tengkorak kepalanya bulat dan sangat keras. Loka bahkan sering memecahkan semangka hanya dengan kepalanya saja, meski itu dahulu karena ibunya langsung marah-marah dan menaboki punggung Loka sampai memerah akibat kenakalannya di saat remaja. “Aku baik-baik saja, Kanjeng Ibu. Kau sudah melihatnya sendiri. Bisakah Kanjeng Ibu menjawab pertanyaanku sekarang? Sedang apa kita—maksudku, sebenarnya apa tujuan kita datang ke Trowulan?” Loka mengajukan pertanyaannya secara pelan dan hati-hati. Di dalam benak Loka, ia takut jika saja dirinya masuk ke dalam tubuh Pitaloka disaat arak-arakan pernikahan kerajaan Sunda sudah tiba di Trowulan dan langsung menghadapi kematian. Loka masih jomblo, ia sama sekali belum ingin merasakan mati. Loka ingin mencari cinta sejatinya terlebih dahulu! Lara Lingsing mengangguk lembut. “Kita datang ke sini karena undangan dari sang Ratu.” Loka meneguk liurnya takut. “Undangan?” Undangan pernikahan maksudnya? Tidaaaak! Emak, aku belum mau matiii! “Iya, Kanjeng Putri. Kanjeng Ratu Tribhuana mengundang para ratu dan putrinya di seluruh penjuru tanah Jawa untuk mengikuti perjamuan besar. Ini diadakan untuk memperingati pemerintahan Paduka Hayam Wuruk yang ketujuh sekaligus berniat mencarikannya seorang pendamping. Prabu Linggabuana sudah menyetujuinya karena ingin mencoba berhubungan baik dengan kerajaan Majapahit. Perjamuan besarnya diadakan di dalam keraton dua minggu lagi. Kanjeng Ratu Lara Lingsing terlalu bersemangat sampai-sampai meminta untuk datang lebih awal.” Nandini terkekeh manis di akhir penjelasan panjangnya. “Aku tidak sesemangat itu, Nandini. Jangan menyebarkan kabar burung di depan Dyah.” “Benarkah itu?” Loka tidak terlalu memperhatikan detail dari penjelasan Nandini, ia hanya memastikan bahwa takdir kematiannya masih jauh di depan mata. Loka lalu berkaca-kaca dengan raut wajah bahagia sekaligus sedih tiada tara. “Kanjeng Putri.” Lara Lingsing terkejut dengan ekspresi Loka yang berubah tiba-tiba. Suasana di ruang makan itu langsung dipenuhi oleh kepanikan. “Dyah, ada apa denganmu, Nak? Kenapa kau menangis?” “Benarkah aku belum akan mati sekarang?” ulangnya lagi. Gembira dalam tangisan. Loka tidak tahu bahwa dirinya bisa sefrustasi ini saat menghadapi sebuah takdir pasti yang bernama kematian. Padahal kematian adalah teman sejati yang selalu menyertainya kemanapun, menanti waktu yang tepat untuk menggandeng tangan Loka dan membawanya pergi ke alam akhirat. Lara Lingsing beranjak dari kursinya lalu memeluk Loka yang masih sesenggukan. “Tenanglah, Dyah. Tidak ada yang akan mati sekarang. Kau baik-baik saja, aku juga baik-baik saja. Jangan menangis, anakku yang cantik. Tenanglah. Ibu selalu di sini untukmu.” Lara Lingsing merengkuh Loka yang langsung menangis seperti bayi dan memeluknya erat. Nandini tidak mampu berkata apapun, sejujurnya ia sendiri juga bingung. Lara Lingsing mungkin merasakan hal yang sama, tetapi ia mengalah pada semua kecurigaannya dan membiarkan sisi keibuannya muncul. Dia hanya seorang ibu bagi putrinya, tidak kurang dan tidak lebih. “Kanjeng Putri, apa anda mau minum sesuatu? Atau makan sesuatu? Akan kucarikan segalanya, kumohon berhentilah menangis. Rasanya begitu menyakitkan sampai-sampai aku juga ingin menangis ….” Nandini mengusap air mata yang sudah keluar begitu saja. Melihat sikap polosnya membuat Loka merasa bersalah karena kabur dan berprasangka buruk padanya sejak siang tadi. “Jangan menangis, Nandi. Maafkan aku karena tidak mengingatmu siang tadi.” Nandini melebarkan matanya senang. Kanjeng putri selalu memanggilnya dengan panggilan ‘Nandi’ dan itu membuat hatinya terasa hangat. Meskipun aslinya Loka hanya sengaja menyingkatnya karena nama Nandini terlalu panjang untuk diucapkan. Loka tersenyum tipis, dia masih nyaman di dalam pelukan Lara Lingsing yang terasa begitu hangat—sangat mirip dengan ibunya di kampung. Loka perlahan menutup matanya. Takdir … kau yang membawaku ke dalam pusaran waktu ini. Entah harus marah atau kesal, aku justru berterimakasih padamu. Karenamu, aku bisa bertemu dengan mereka. Sosok baik yang selalu mengucurkan kehangatan tanpa batas padaku. Takdir … meski kau akan menyakiti dan menghancurkanku nantinya, aku berjanji, aku bersumpah atas nama nyawaku sendiri. Aku tidak akan membiarkan orang-orang baik ini menjadi korban perbuatan kejammu. Aku akan menyelamatkannya darimu. Meski itu artinya aku harus mengorbankan seluruh diriku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN