Chapter 07: Terperangkap di Masa Lalu

2241 Kata
“Apa itu?” Bulu kuduk Loka meremang. Ia jelas-jelas melihat sesosok bayangan yang melesat ke balik Candi Bajang Ratu. Dia lantas menggosok matanya sendiri. Karena masih penasaran, Loka memilih untuk berdiri dan berjalan menuju ke balik Candi Bajang Ratu yang tak jauh dari bangkunya. Namun, ia tidak menemukan apa pun atau siapa pun di sana. Loka mendengkus pelan. “Apa aku salah lihat atau bagaimana?” Ia lalu mengacak rambut ikalnya dengan perasaan frustasi. “Pasti ini gara-gara banyak kejadian aneh yang menghampiriku belakangan ini. Kepalaku jadi ikut tidak waras. Sudahlah, Loka. Ayo cari makanan untuk mengisi perut. Perut kenyang, hati pun senang. Hati senang, kepala pun tenang.” Baru selangkah kakinya beranjak pergi, sudut matanya kembali menangkap bayangan hitam yang kini mengintip dari dalam Candi Bajang Ratu. Loka langsung menoleh ke belakang dan melihat dengan jelas sosok hitam yang berdiri—lebih tepatnya melayang di dalam candi. Sosok tersebut tidak memiliki wajah maupun tubuh fisik yang jelas, hanya saja Loka mampu melihat matanya yang menyala merah, mirip seperti mata Febi saat kerasukan kemarin malam. “Siapa kau?” tanya Loka dengan kaki yang tak berhenti gemetar. Dia takut sekali. Namun, Loka merasa bahwa sosok yang jauh di depannya tersebut memiliki kaitan penting dengan semua masalah yang menimpa dirinya akhir-akhir ini. Tidak ada jawaban. Alih-alih menjawab, sosok tersebut justru berbalik dan melesat masuk ke dalam candi, meninggalkan Loka yang memasang wajah kaget melihat makhluk misterius itu bergerak. “Hei, tunggu! Jawab aku dulu, siapa dirimu?” Loka mengacungkan telunjuknya dan berteriak keras. “Heiiii! Kau mau kemana?!” pekiknya saat melihat sosok misterius itu mengarah ke sisi pintu lain dari Candi Bajang Ratu. Loka mendecih kesal dan menaiki situs budaya itu tanpa berpikir panjang. Ia bahkan mengabaikan papan larangan untuk menaiki candi yang berada tepat di mulut pintu candi tersebut dan melangkahkan kakinya ke dalam. “Tch. Awas saja. Aku akan menangkapmu dan mengulitimu hidup-hidup. Dasar dedemit sialan!” Loka mengepalkan telapak tangannya dengan perasaan kesal. Ia tidak takut lagi pada hantu atau dedemit jika sudah dipancing amarahnya. Tepat ketika kakinya melangkah masuk ke dalam candi, sebuah gelombang kejut datang dan membuat Loka langsung limbung. “Kenapa denganku? Kepalaku ... tiba-tiba saja pusing.” Ia terduduk lemas sambil memegangi kepalanya yang berkunang-kunang. Pandangan Loka ikut memburam dan perutnya bergejolak kuat, padahal Loka baru menginjakan kaki di dalam candi ini, tetapi kenapa reaksi penolakannya sudah sekuat ini? Apa yang sedang Loka hadapi sebenarnya? Kekuatan kuno macam apa ini? Loka mulai kehilangan kesadarannya. Hal terakhir yang ia lihat adalah sosok bayangan misterius yang berada jauh di depannya, mengembangkan senyum lebar mengerikan dipadu dengan mata merah menyala miliknya. Ah, Loka baru sadar bahwa ini adalah jebakan. Dia menggigit bibirnya untuk menjaga kesadaran. Namun, segalanya mulai menghitam. “Cih ... padahal aku harus segera kembali ke teman-teman ....” Brugh! Loka ambruk dan tidak sadarkan diri di bagian dalam candi dengan wajah pucat serta keringat dingin yang terus mengucur dari pelipisnya. *** Sudah berapa lama aku pingsan? Loka mulai mendapatkan kembali kesadarannya. Rasa pening di kepalanya sudah memudar. Berganti dengan nyeri di seluruh tubuh. Tunggu, memangnya Loka jatuh sekeras itu, ya, di bagian dalam candi sampai-sampai seluruh tubuhnya terasa sakit seperti ini? “Ugh ....” Dingin. Sensasi dingin dan menyegarkan yang dirasakan oleh kulit Loka membuat pikirannya bertanya-tanya. Bukannya tadi dirinya sedang berada di dalam candi yang penuh dengan debu dan gersang? Mengapa tiba-tiba sensasinya berubah menjadi sejuk dan menyegarkan seperti ini? Seolah Loka sedang berbaring di atas rerumputan basah. Mungkin seseorang sudah menemukanku dan langsung membawaku ke rumah sakit terdekat. Ini pasti bau dari vas bunga di rumah sakit. Loka masih mencoba untuk berfikir positif. Ia belum bisa membuka mata sekarang, tubuhnya masih terasa lemas. Mengingat penyebab tubuhnya bisa sampai lemas begini, Loka menjadi kesal kembali. Ia pasti akan menemukan dedemit terkutuk itu dan menginjak-injaknya hingga dedemit sialan tersebut meminta maaf pada Loka. Jika perlu, Loka akan menelepon Febi dan memintanya untuk dirasuki sekali lagi agar ia bisa bertanya apa tujuan sebenarnya dedemit itu sampai mengerjai Loka. “Kanjeng Putri! Apa anda baik-baik saja?” Loka mengernyitkan alis bingung—sekarang ini ia masih memejamkan mata dan tidak mengenali suara wanita yang terdengar di sekelilingnya. Loka berdecak pelan di dalam hatinya. Memangnya sekarang masih jaman main Kanjeng Putri-Kanjeng Putrian? “Duh, Gusti, apa yang harus kukatakan pada Kanjeng Ratu nantinya mengenai ini? Saya mohon cepatlah bangun, Kanjeng Putri.” Wanita asing itu mendadak memeluk tubuh Loka dan menangis di atasnya. Loka yang kaget langsung membuka mata cepat dan bergerak mundur. “Tunggu, apa yang sedang kau lakukan? Jangan sembarangan menyentuh tubuh orang lain! Itu pelecehan!” Loka menutupi tubuhnya dengan tangan yang disilangkan di depan d**a. Ia menatap nyalang pada wanita yang kini juga ikutan kaget tersebut. “K ... Kanjeng Putri Pitaloka?” Ia tergagap. Matanya yang bulat berkaca-kaca. Wanita itu mengenakan kemben jarik bermotif sederhana dan rambut hitam yang digelung seadanya ke belakang. Wajahnya polos tanpa polesan riasan sedikit pun. Loka menatap dari ujung rambut hingga ujung kaki. Loka sampai melanga tak percaya. Memangnya ada orang yang berpakaian seperti itu jaman sekarang? “Siapa kamu?” tanya Loka langsung. “Hah?” Dia tidak mengerti maksud dari ucapan Loka. “Ini saya ... Nandini, Gusti Raden Ajeng.” “Nandini? Aku enggak kenal orang yang namanya Nandini. Jangan coba-coba membohongiku! Kau pasti seorang penculik—tidak, komplotan penculik. Di mana sekarang aku berada? Aku harus segera kembali ke Trowulan.” Loka mencoba untuk berdiri dan bersiap melarikan diri. Nandini menggaruk kepala pelan, ia mendadak bingung dengan sikap kanjeng putrinya yang tiba-tiba saja berubah drastis. Padahal tadi dirinya meminta untuk dibiarkan sendiri, ingin menikmati suasana sendang Rendayu yang terkenal akan keindahan dan ketenangan riak airnya. Saat Nandini kembali untuk menjemputnya, ia terkejut melihat kanjeng putrinya itu sudah terkapar di atas rerumputan basah. Kini dia bersikap seolah-olah dirinya adalah orang lain? Nandini benar-benar dibuat tidak paham! “Putri, tapi sebentar lagi sandekala. Kita harus segera kembali ke rumah peristirahatan.” Loka bergidik ngeri. Penculik itu sangat pandai memainkan peran! “Sudah kubilang, aku bukan Kanjeng Putri atau apapun itu! Sekarang cepat katakan padaku, Trowulan ada di mana? Jika kau tidak mau mengatakannya, aku akan berteriak keras dan memanggilmu sebagai penculik,” ancam Loka. Ia sudah mempelajari teknik ancaman yang sangat manjur ini dari rekan-rekan sekantornya. Nandini menyatukan kedua tangannya. Ia semakin bingung. “Eh? Saya Nandini, Gusti Raden Ajeng. Anda tidak ingat—” “Di mana Trowulan berada?” ancam Loka sekali lagi. Dia tidak akan jatuh pada jebakan penculik berwajah polos dan murni sepertinya. Manusia adalah makhluk paling jahat dan mengerikan! Camkan hal itu, Loka! “Di ... di sebelah selatan, Gusti Raden Ajeng. Jangan bilang anda akan pergi ke sana sendiri—Duh, Raden Ajeng Pitaloka! Tunggu saya!” Nandini buru-buru mengejar Loka yang sudah ngacir menuju arah selatan. Ini adalah pertaruhan. Entah info yang diberikan olehnya benar atau pun tidak, Loka harus segera kabur darinya dan mencari rumah warga terdekat untuk meminta bantuan. Berduaan saja di depan danau yang ada di dalam hutan, bayangkan saja! Jelas sekali kalau itu adalah penculikan. Loka harus kabur! “Raden Ajeng Pitaloka!” teriak Nandini dari belakang. Ia sepertinya kesusahan mengimbangi langkah panjang Loka. “Duuuh, jangan ngejar aku terus, sih! Udah sana pergi, aku itu enggak mahal kalau dijual! Asli, deh!” Loka semakin mempercepat irama langkahnya, dia bahkan tidak memperdulikan kaki jenjang miliknya sudah tergores oleh ranting tajam dan menyisakan bekas lecet di mana-mana. Di pikiran Loka saat ini hanyalah bagaimana cara agar bisa kabur dari hutan dan penculik tersebut. Ngomong-ngomong tentang hutan, sejak kapan pulau Jawa punya hutan selebat ini? Duh, di mana sih jalan rayanya? Jangan-jangan aku tersasar ke Alas Roban, lagi? “Ada suara orang.” Telinga Loka mendadak berkedut. Ia mendengar suara orang ramai berbincang dari arah jam sepuluh. Tanpa tanggung-tanggung, dia langsung mengubah haluan larinya dan meloncati sungai dangkal dengan lincah. Untung saja pilihannya menjadi ketua pramuka saat sekolah dahulu bisa sangat membantunya untuk melewati rintangan alam seperti saat ini. Loka sempat menoleh ke belakang, ia sudah tidak melihat Nanrini atau Nagini—nama wanita yang mengejarnya. Pasti dia kehilangan jejak Loka. Kesempatan emas ini tidak boleh lewat begitu saja! “Ketemu!” Loka menyibak semak dan berharap di depannya adalah jalan raya. Namun, semua harapannya pupus ketika melihat pasar tradisional dengan orang-orang berpakaian sederhana yang sedang bertransaksi dagang maupun berbincang riang satu sama lain. Loka melanga lebar. “Ini di mana?” Dia mengacak rambutnya geram dan berteriak keras, membuat orang-orang di pasar tradisional itu kaget melihat Loka yang terlihat seperti wanita gila yang gagal menikah atau ditinggal suaminya mati. Loka mengerang keras, “Aaaaah! Sebenarnya aku ada di mana?” “Ada apa, Cah Ayu?” Seorang wanita paruh baya menghampirinya. Ia memiliki wajah ramah dengan lesung pipi yang terukir di ujung senyumannya. Dia membawa bakul—keranjang dari anyaman bambu yang berisi sayuran segar dan buah-buahan dari pasar. Loka menghentikan kegilaan yang sedang ia lakukan dan memanyunkan bibirnya. Ia menatap wanita itu dengan mata berkaca-kaca. Semoga saja wanita ini adalah orang baik yang mau menunjukan jalan pulang untuknya. “Ini di mana, Buk?” Dia nampak bingung saat Loka bertanya padanya. Namun, ia tetap menjawab dengan senyuman yang belum memudar dari wajahnya. “Di sini adalah desa Babad, di pinggiran Trowulan. Apa kamu tersasar ke Kerajaan ini? Kamu berasal dari wilayah mana, Cah Ayu?” “Ke-Kerajaan?” Loka mengulang kata yang janggal. Ia mulai merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres di sini. Masalahnya, di abad ke-21 seharusnya sudah tidak ada satu pun kerajaan yang masih berdiri, bukan? Kontroversi Sunda Empire dan kerajaan-kerajaan palsu lainnya saja langsung dituntut ke ranah hukum negara. Semua pelakunya sudah diringkus dan dijebloskan ke dalam bui. Apa ini sisa-sisa dari Sunda Empire atau kerajaan bodong lainnya? “Iya, Cah Ayu. Kerajaan Maja—” “Kanjeng Putri!” Hiik! Suara Nandini kembali terdengar. Loka maupun ibu-ibu berwajah ramah tadi kaget dan menoleh ke belakang. “Sial! Dia membawa komplotannya!” Loka meneguk ludahnya kasar. Nandini kini bersama dengan empat orang prajurit laki-laki dan dua orang wanita yang berpakaian sama seperti Nandini—kemben sederhana dengan jarik yang melilit bagian tubuh bawah mereka. Loka sebenarnya ingin tertawa saat melihat pakaian keempat laki-laki yang mirip seperti aktor film kolosal di Indosiar, bertelanjang d**a dan memakai celana pendek dengan jarik yang melilit sampai selutut. Topi, mungkin lebih ke helm, atau pelindung kepala, Loka bingung bagaimana untuk mendeskripsikannya, mereka benar-benar sangat aneh. Terlebih tombak tajam di tangan kanan mereka. Tunggu sebentar, mereka semua berniat untuk membunuh Loka di tempat, ya? “Kanjeng Putri Pitaloka. Kanjeng Ratu meminta anda untuk kembali ke rumah peristirahatan.” Nandini kini meminta dengan lebih hati-hati. Dayang lainnya juga saling berpandangan satu sama lain saat melihat penampilan Loka yang begitu acak-acakan, sangat berbeda dari biasanya. Wanita di samping Loka terkejut bukan kepalang saat mengetahui siapa wanita cantik tersebut. Dia langsung tunduk sembah di atas permukaan tanah. “Ma-maafkan hamba yang lancang ini, Kanjeng Putri. Mohon hukum hamba karena lancang berbicara tidak sopan pada anda, Kanjeng Putri.” “Hah?” Loka kebingungan. “Apa-apaan, sih? Aku bukan Kanjeng Putri atau apa pun itu. Ayo berdiri, Buk.” Ia mengulurkan tangannya, tetapi wanita paruh baya itu tidak berani untuk menjawab ulurannya atau pun mengangkat kepala. Orang-orang desa lainnya juga berbisik-bisik takut satu sama lain. Loka jadi bertanya-tanya, sebenarnya sekuat apa pengaruh nama kanjeng putri di desa kecil seperti ini. Lagi pula, memangnya dia benar-benar seorang kanjeng putri, ya? Bukannya salah orang? Mungkin saja Loka hanya memiliki wajah yang mirip dengan kanjeng putri yang Nandini cari-cari sejak tadi. “Kanjeng Putri, ayo kembali.” Loka memiliki firasat aneh. Ia harus memastikan sesuatu. Loka menengadahkan wajahnya dan menatap lurus pada Nandini serta kedua dayang lainnya. “Nandini, katakan padaku, tahun berapa sekarang?” “Tahun 1279 Saka, Kanjeng Putri.” “Tahun 1279 Saka di kalender Jawa berarti sekitar abad ke-14 di kalender Masehi.” Loka mulai bergumam sendiri. Ia menghitung perbedaan rumus antara kalender Jawa dan kalender Masehi. Dia menjentikan jarinya. “Tahun 1357 Masehi! He, tunggu sebentar, berarti aku terlempar ke masa lalu?” “Apa maksud anda, Kanjeng Putri? Terlempar ke masa lalu?” tanya Nandini. Loka dengan wajah ketakutan menghampiri Nandini dan mencengkeram bahunya kuat. Ekspresi Loka saat ini benar-benar horor dan membuat pelayannya itu sampai menggigil takut. Padahal setiap hari Pitaloka membuat wajah yang mendamaikan siapa pun saat melihatnya, tetapi sekarang wajah tersebut lebih horor dari dedemit mana pun. “Katakan padaku, Nandini, siapa raja yang memerintah di sini? Tidak, maksudku, siapa raja yang sekarang memerintah daerah ini, Trowulan, Majapahit?” “Ah?” Nandini mengerjap. Ia lalu menjawab dengan sedikit gagap karena tatapan tajam Loka. “P-Paduka Bathara Sri Rajasanagara.” Nandini meringkuk ketakutan. Sepertinya ketiga prajurit dan dua dayang lainnya juga tidak berani mendekati Loka karena dianggap sebagai majikan mereka. Gadis jelita itu menaikan sebelah alisnya. Ia pernah mendengar gelar itu, tetapi entah di mana. “Sri Rajasanagara? Aku sepertinya familiar dengan nama itu. Siapa nama lainnya?” tuntut Loka lagi. Dia benar-benar seperti preman yang menakutkan. Nandini sampai ingin menangis dibuatnya. “H-Hayam Wuruk, Kanjeng Putri.” Jdar! Loka melepaskan cengkeramannya dan mundur beberapa langkah ke belakang. Matanya membelalak lebar. Ia tidak percaya ini. Mungkinkah hal ini terjadi? Sesuatu seperti garis takdir yang membawanya ke masa lalu dan ke dalam situasi mengerikan yang akan ia hadapi? Ini tidak mungkin terjadi. Bagaimana bisa aku kembali ke masa lalu? Ke tubuh seorang putri yang ditakdirkan untuk mati dalam sejarah?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN