Beberapa jam sebelum peristiwa penyerangan rombongan kerajaan Sunda terjadi. “Kakang, makanlah satu atau dua suap nasi. Ibu sangat khawatir kepadamu karena kau bersikap kekanakan seperti ini.” Nertaja berdiri di ambang pintu ruangan kerja Hayam Wuruk—raja keempat Majapahit dan juga kakak kandungnya. Pria dalam balutan kain tenun terbaik di kerajaan itu tidak sampai repot-repot mengalihkan pandangan dari semua tumpukan berkas di hadapannya untuk menjawab ucapan sang adik. “Pergilah, Nertaja. Aku tidak lapar.” Jawaban itu meluncur dari bibir Hayam Wuruk dan segera membuat Nertaja berdecak kesal. Bagaimana tidak? Bahkan suara pria itu saja sudah terdengar lemas dan tidak memiliki tenaga. Namun, putri kerajaan Majapahit itu memilih untuk mengangguk dan pergi dari sana, tidak ingin memperker