“Saya punya ... kelainan aneh saat tidur di malam hari.”
“Ya?” Loka menaikan salah satu alisnya. Dia tidak paham—sebenarnya, Loka hanya berusaha untuk tidak paham dengan ucapan wanita aneh di depannya. Loka bisa merasakan pertanda buruk yang datang darinya. Wanita tersebut menutup bukunya pelan lalu menaruhnya di atas nakas. Wajahnya terlihat semakin sendu. Oh, tidak, Loka tidak mau mendengar ceritanya atau apa pun itu! Loka ingin menghentikannya sekarang juga.
“Namaku Febi, Mbak. Aku sudah dua minggu ini kabur dari rumah dan pindah-pindah penginapan.” Febi mulai menuturkan kisahnya yang sama sekali tidak mau didengar oleh Loka. Terdengar jahat, memang. Namun, Loka sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak ikut campur pada urusan orang lain karena itu akan sangat merepotkan.
“Aku seorang indigo.”
Loka terdiam. Ia lalu menggaruk pipinya kikuk. “Indigo ... indigo yang bisa lihat setan itu, maksudnya?”
“Iya, Mbak. Aku bisa lihat setan, buktinya di belakang Mbak ada dua—”
“Pssst! Udah, jangan dibilangin, oke? Simpen sendiri aja. Terus, apa masalahnya sampai kamu kabur dari rumah?” Loka buru-buru menghentikan ucapan Febi. Dia takut dengan hantu dan tidak mau mengetahui ada apa di belakang dirinya saat ini. Loka bisa mati ketakutan karenanya! Febi mendesah pelan. Ia mengucek matanya yang sudah memerah karena lelah.
“Aku seorang indigo, tapi tubuhku lemah banget, Mbak. Orang tua bilang kalau tulang rusukku renggang, jadi setiap aku tidur pasti ada arwah yang bisa masuk ke dalam tubuhku. Aku selalu kerasukan setiap jatuh tertidur.” Loka melanga lebar. Apa-apaan itu ... kerasukan setiap jatuh tertidur? Berarti hampir setiap malam, dong?
Febi mulai terisak. Ia seakan lelah dengan kehidupannya. “Aku ... juga enggak mau terus-terusan begini, Mbak. Aku mau hidup dengan tenang tanpa diganggu oleh makhluk halus seperti mereka. Setiap malam selalu saja menjadi mimpi buruk untukku dan keluargaku. Mereka sampai harus memasungku di ranjangku sendiri, hanya karena takut aku akan kerasukan kembali. Setiap malam pasti ada pendeta atau ustadz yang bergiliran datang ke rumah.”
Mendengar kisah yang sedikit di luar nalar itu, Loka meneguk ludahnya kasar. Dia tidak pernah tahu bahwa hal-hal mistis bisa menjadi semengerikan itu. Febi memainkan kunciran rambutnya, ia masih terisak pelan, memikirkan kedua orang tuanya yang pasti mencarinya ke mana-mana saat ini.
“Aku sedih, Mbak. Orang tuaku pasti sangat terbebani. Aku enggak mau jadi beban mereka terus-menerus. Jadi, aku memutuskan untuk kabur dan hidup menjauh. Setiap malam aku meminta kamar pribadi di penginapan dan menguncinya dari luar sehingga aku tidak bisa ke mana-mana saat kerasukan. Namun, malam ini berbeda. Aku harus minta tolong bantuan orang lain untuk menjagalku supaya tetap berada di kamar.”
Dia lalu menatap Loka dengan tatapan memohon. “Tolong aku, ya, Mbak. Tolong ikat aku di ranjang nanti. Mau pake tali tambang atau apa pun itu, yang penting pastikan aku enggak bisa pergi ke mana-mana. Aku cuma takut bakal melukai orang lain.”
“Apa kamu yakin, Feb?” tanya Loka.
Febi mengangguk. “Tolong, ya, Mbak.”
Loka menghela napas. Ia tidak pernah berpikir bahwa malam di perjalanan wisatanya akan menjadi serumit ini. Apakah setelah semua ini selesai, masih ada yang lainnya? Loka ingin pulang saja kalau begitu! Namun, saat mendengar kisah Febi yang sangat memprihatinkan, Loka tidak punya pilihan lain selain membantunya.
Benar, kan, apa yang dia bilang! Loka lemah terhadap orang lain, oleh karena itu dia tidak mau mendengar cerita orang lain dan menjadi lemah karenanya. Loka tidak bisa lepas dari masalah orang tersebut sampai benar-benar tuntas. Ini adalah sifat buruk Loka yang membuatnya sering dipermainkan oleh takdir dan keadaan.
“Oke, kamu tidur aja. Biar Mbak yang iket kamu di kasur nanti, tapi maaf, ya, kalau iketannya kenceng banget nantinya.” Loka mengangguk dan menyetujui rencana Febi, membuat gadis yang kira-kira baru menginjak usia dua puluhan itu berbinar senang. Dia merasa nyaman berbicara dengan Loka, seolah bersama kakak perempuannya sendiri. Febi masuk ke dalam selimut dan mulai memejamkan matanya untuk berusaha tidur. Dia sudah tidak tidur selama dua hari lebih, dan sekarang adalah batasnya. Ayu masuk ke dalam kamar dan melihat Loka yang sedang mengikat tangan serta kaki Febi menggunakan selimut di kasur Loka. Ayu menjatuhkan gayungnya hingga berbunyi keras dan menghampiri Loka cepat.
“Ya Allah, Lok! Kamu lagi ngapain?!” Ayu mengucap histeris. Loka juga terkejut melihat ibu hamil itu sudah kembali dari kamar mandi penginapan. Namun, ia memilih untuk tidak menggubrisnya dan tetap fokus mengikat simpul selimut yang sudah disobek menjadi empat bagian panjang untuk diikat ke masing-masing kaki ranjang tempat Febi tertidur. “Loka! Ini anak orang, loh! Kamu jangan iket-iket gitu, nanti dianggep penculikan!” Ayu menarik tangan Loka dan menatapnya penuh amarah. Dia tidak habis pikir mengapa sahabatnya itu berbuat aneh-aneh di malam hari.
“Tunggu sebentar, Yu. Aku mau nyelesain iketannya dulu sebelum dia mulai kerasukan.”
“Ke ... kerasukan kamu bilang, Lok?” Ayu perlahan melepaskan genggaman eratnya pada Loka. Wanita itu mengangguk dan menyelesaikan semua ikatannya. Setelah dirasa cukup kuat, baru dia berbalik dan menatap Ayu yang memilih diam karena menunggu penjelasan dari Loka. Ayu diceritakan tentang permasalahan penghuni wanita lain di kamar ini—Febi dan kelainan anehnya saat tidur. Ayu menutup mulutnya yang melanga penuh keterkejutan.
Ia lalu menatap Febi yang mulai mendengkur halus dengan wajah takut. “J-jadi, sebentar lagi dia bakal kerasukan, gitu?”
“Iya, aku cuma diminta untuk ngiket dia biar enggak kabur pas kerasukan.” Loka mendesah pelan, ia memang sudah mengikatnya sesuai dengan permintaan Febi. Namun, permasalahan yang sebenarnya baru saja akan dimulai. Ayu lantas mendekat pada Loka dan menggandengnya erat dengan tangan yang berkeringat karena ketakutan.
“Aku takut, Lok. Gimana kalau—”
“Hi!” Keduanya kaget. Atensi mereka beralih cepat pada Febi yang masih terbaring di atas ranjang. Ayu langsung berteriak ketakutan dan memeluk Loka yang juga gemetaran. Mata Febi terbuka sempurna, tetapi hanya bagian putihnya yang terlihat. Selain itu, mulutnya menyengir lebar sehingga terlihat mengerikan untuk dipandang.
“Hihihihihi! Hihihi!” Tawanya melengking, membuat kedua wanita yang tidak mampu bergerak itu buru-buru menutup telinganya karena berdenging sakit. Ayu mulai menasbihkan ayat-ayat kitab di dalam hatinya, membuat Febi yang tengah kerasukan langsung menatapnya nyalang.
“Diamlah! Manusia rendahan! Tidak berguna! Biar kucakar habis wajahmu sampai tak berbentuk! Hihihihi!”
Loka berbisik pelan pada Ayu. “Kerasin bacaanmu, Yu. Sepertinya dia benci saat mendengarnya.” Ayu mengangguk kecil dan mulai mengeraskan bacaannya dengan bibir yang bergetar takut. Febi meronta-ronta di ranjangnya, ia ingin pergi dari sana, tetapi tangan dan kakinya sudah diikat kuat oleh Loka.
“Diam! Diam! Diaaaaam! Jangan katakan apa pun lagiii! Aaaaaah!”
Seperti ada bom asap hitam yang meledak, Febi mendadak terdiam kaku. Loka memberanikan dirinya untuk menghampiri Febi sementara tangan kirinya masih dipegangi oleh Ayu. “Hati-hati, Lok.” Dijawab anggukan singkat oleh Loka. Ia hanya ingin mengecek keadaan Febi, apakah setan yang merasukinya sudah menghilang atau belum.
“Febi? Kamu masih di sana?” tanya Loka dengan suara lirih. Bulu kuduknya mendadak meremang kuat saat mendekati tubuh wanita indigo tersebut. Tidak ada jawaban apa pun dari Febi. Loka menghela napas lega, sepertinya Febi sudah terbebas dari setan mengerikan itu. Dia berbalik dan menatap Ayu.
“Udah aman, Yu. Tenang aja.”
“Beneran?” tanya Ayu masih dengan wajah yang ketakutan. Loka mengiyakannya. Ayu akhirnya bisa menarik napas lega, dia duduk di ranjangnya sendiri dan mencoba untuk mengatur napas yang daritadi tidak beraturan. Loka berbalik kembali dan berbaik hati untuk menaikan selimut milik Febi agar gadis itu bisa kembali tidur dengan nyenyak.
Fuh, akhirnya selesai juga.
Deg! Jantung Loka seolah tertusuk benda tajam saat mata Febi kembali terbuka dan menatapnya. Loka tidak bisa bergerak sedikit pun dari posisinya saat ini karena takut dengan mata merah menyala seperti iblis tersebut. Keringat dingin menetes ke luar dari pelipis Loka ketika senyum Febi—yang tengah dirasuki untuk kedua kalinya, perlahan mengembang mengerikan.
“Baumu sangat enak. Sangat enak.”
Loka menggulirkan netranya perlahan. Menatap wajah Febi yang kini mirip seperti iblis dengan urat-urat hitam yang timbul di balik kulit wajahnya dan bibir hitam yang sedang tersenyum lebar. Suaranya terdengar seperti bisikan kematian.
“Aku menginginkanmu untuk menyempurnakan kekuatanku. Aku sangat menginginkanmu, aku akan membuatmu datang kepadaku.”
“S-siapa kau?” Dari sekian teriakan hingga pertanyaan di dalam benak Loka yang tercampur aduk, mulutnya justru mengeluarkan pertanyaan bodoh seperti itu. Mana ada hantu yang mau mengatakan siapa dirinya, dasar Loka! Febi terdiam sejenak. Ia masih dikuasai oleh iblis yang menghuni jasadnya saat ini. Dia menarik senyumnya kembali, lebih lebar dan lebih menakutkan. Pupil mata Loka melebar seiring mendengar bisikannya. “Malaikat pencabut nyawamu. Hihihihihihi!”
“Loka!” Tepukan singkat di pundak wanita tersebut membuat Loka menolehkan kepalanya dengan sigap. Ia melihat Ayu yang menatapnya bingung. “Kamu lagi ngapain, sih? Sejak tadi kupanggil enggak nyahut. Aku takut, tahu. Gimana keadaannya Febi?”
“Yu, tadi Febi kesurupan lagi—” Loka buru-buru melaporkan kejadian yang baru saja ia alami pada Ayu dan kembali menatap Febi yang tiba-tiba saja sudah kembali tenang. Dia tertidur lelap dengan wajah damai. Tidak ada tanda-tanda gadis itu baru saja kerasukan lagi.
Ayu melirik Febi yang tertidur dan mendengkus pelan. “Kesurupan dari mananya, Lok? Orang dia diem gitu, tidur. Kamunya aja yang aneh, dipanggil daritadi enggak nyahut. Bentar, jangan-jangan kamu indigo juga?”
“Enggak, lah.” Loka menolak gagasan konyol itu cepat, dia bukan seorang indigo dan tidak mau menjadi salah satunya. Dia mengulum bibirnya lama sembari berpikir keras tentang kejadian aneh tadi. Loka mendadak merinding sendiri, ah, dia tidak mau memikirkannya lagi! Anggap saja mimpi yang sudah berlalu. Loka akhirnya memilh untuk berbaring di ranjangnya sendiri dan menatap langit-langit kamar penginapan. Ayu yang ketakutan sejak tadi, ternyata sudah jatuh terlelap. Loka tersenyum tipis, dia pasti sudah kelelahan. Loka juga sudah mengantuk, tetapi matanya belum mau terpejam. Dia berganti posisi dan mengarah pada Febi yang masih mendengkur pelan.
“Nyenyak sekali tidurmu setelah membuat orang lain tidak bisa tidur karena terbayang-bayang jurig tertawa.” Loka mencibir lirih, dia lalu memikirkan semua kejadian aneh yang terjadi padanya seharian ini. Loka kemudian bertanya-tanya di dalam benaknya sendiri. Aku merasa seperti masih ada kepingan yang hilang, tetapi apa?
***
“Cissss!” Suara kamera ponsel berbunyi keras saat menjepret Ayu dengan salah satu patung peninggalan yang ada di Museum Majapahit Trowulan, destinasi pertama mereka. Wanita itu buru-buru menghampiri Loka dan melihat hasil jepretannya. “Aaah, Loka. Pipiku keliatan gendut banget di sini, tau. Harusnya kamu foto di-angle yang pas,” protes Ayu dengan bibir manyun saat menggulir foto-fotonya di galeri.
Loka mendengkus ringan. “Sudah untung kufotokan. Kalau begitu foto sendiri saja, aku mau melihat-lihat ke sana, dah!” lambai Loka sambil berjalan menjauhi Ayu yang merengek untuk difotokan lagi. Dia ingin mengabadikan banyak momen dan dicetak saat sudah sampai di rumah sebagai kenangan. Karena Loka sudah menjauh, Ayu akhirnya memilih untuk menempel pada Fania dan memintanya menjadi tukang fotonya.
Loka melangkah mengitari museum luas itu sambil melihat satu per satu artifak peninggalan masa Majapahit dengan teliti. Di tengah pikirannya yang tengah sibuk membaca semua informasi artifak, ia mendadak teringat dengan kejadian heboh pagi tadi, Febi memutuskan untuk pergi dari penginapan dan kedua orang tuanya tiba-tiba sudah berada di depan pintu penginapan untuk menjemputnya.
“Papa? Mama?”
“Febi! Kamu kemana aja, Nak? Papa sama Mama udah cari kamu ke mana-mana.”
“Tapi, bagaimana kalian bisa ...,” gantung Febi. Salah seorang resepsionis penginapan maju dengan wajah kikuknya. Wanita itu mulai menjelaskan kronologi kejadiannya.
“Itu saya, Mbak. Saya enggak sengaja lihat pengumuman anak hilang di media sosial yang dipasang oleh orang tua Mbak, terus saya keinget mukanya sama persis kayak Mbak. Jadi, saya coba untuk hubungi mereka. Enggak nyangka ternyata Mbak benar-benar anak yang lagi dicari.”
Febi yang mendengar cerita resepsionis wanita tersebut mendadak berkaca-kaca. Ia menatap kedua orang tuanya lagi. “Ma-maafin Febi, Mah ... Pah ..., Febi cuma enggak kuat lihat Mama sama Papa terus-terusan menderita gara-gara Febi yang aneh ini.”
Ibu Febi memeluknya erat, disusul usapan kepala lembut oleh ayahnya. “Enggak apa-apa, Sayang. Mama sama Papa enggak pernah menderita gara-gara kamu, kok. Maafin kami juga, ya, Febi, Mama sempat depresi dan membuat keputusan salah dengan cara memasung kamu. Padahal itu enggak bener, maafin Mama, ya, Febi ...,” lirih sang ibu.
“Iya, Mah ... Febi bakal selalu maafin Mama sama Papa, kok.”
“Kita akan coba bawa kamu ke professional, Papa sama Mama bakal selalu dampingi kamu apa pun yang terjadi ke depannya. Kita pulang, ya?” bujuk ayah Febi. Gadis itu mengangguk cepat, ia ingin pulang, ia ingin berada di pelukan ibunya lagi.
Meski masalah utama Febi—indigo dan kelainan anehnya saat tidur, belum teratasi sedikit pun, Loka turut merasa senang untuknya. Dia akhirnya bisa berkumpul lagi dengan keluarganya. Memang orang pertama dan terakhir yang akan selalu membuka tangannya untuk kita adalah keluarga. Febi menoleh sejenak pada Loka, ia tersenyum lebar dengan mata merah dan sembab—khas orang sehabis menangis.
Loka membalas senyumannya singkat. Febi melepas pelukannya dan berlari menuju Loka. “Makasih, ya, Mbak. Kalau semalem enggak ada Mbak, pasti aku sudah masuk rumah sakit hari ini karena kelelahan parah.”
“Cuma bantuan kecil, Feb. Lagi pula, Ayu juga membantumu, kan.” Febi mengangguk, ia juga memeluk Ayu yang balas merengkuhnya dengan hangat.
“Jadi anak yang baik dan jangan main kabur-kaburan lagi, ya!”
“Siap, Tante!”
“Hisss! Aku belum jadi tante-tante, tau.” Ayu protes tak suka dan dibalas gelak tawa gadis tersebut. Dia hendak berbalik dan kembali ke tempat orang tuanya sebelum menoleh lagi pada Loka yang langsung memiringkan kepalanya.
“Ada apa lagi, Feb?”
“Mmm, Mbak.” Febi mendekat pada Loka. Wajahnya terlihat ragu-ragu. “Semalem aku dirasuki sama dua arwah, ya?”
Loka mengiyakan. “Memangnya kenapa?”
Febi menghela napas berat. “Kejadian seperti ini jarang terjadi soalnya, Mbak. Biasanya dalam semalam hanya satu arwah yang bisa mengambil alih tubuhku, setelah itu tidak ada lagi yang bisa menempatinya karena jejak aura arwah sebelumnya yang masih tertinggal. Kejadian aneh ini biasanya terjadi kalau ....”
“Kalau?”
“Kalau arwah yang selanjutnya masuk adalah ruh jahat, ruh pesugihan, atau ruh yang menggunakan ilmu sihir hitam maka jejak aura tidak akan berpengaruh sama sekali pada mereka. Mbak Loka hati-hati, ya ... perasaanku enggak enak soalnya, Mbak.” Mendengar ucapan Febi membuat Loka terdiam dan merenungkan ucapan arwah yang mirip seperti iblis kemarin. Dia mengatakan hal-hal seperti kekuatan dan kematian.
Loka menepis pemikiran buruknya dan tersenyum lebar. “Eyyy! Tenang saja. Aku pasti baik-baik saja. Sekarang pulang dan makan yang banyak, kau mengerti? Tidak perlu mengkhawatirkan hal-hal yang tidak penting.”
Benar. Tidak perlu mengkhawatirkan hal-hal yang tidak penting. Ucapan arwah hanyalah ucapan kosong. Memangnya sebuah arwah bisa melakukan apa pada manusia hidup? Tidak mungkin.
“Ardhanari.” Loka kemudian berhenti dan membaca penjelasan sebuah patung arca bertangan empat yang ada di depannya. “Merupakan lambang persatuan Dewa Civa dan istrinya Parvati. Oleh karena itu, ia diwujudkan setengah pria dan setengah wanita. Ardhanari digambarkan memiliki empat tangan, dua tangan di belakang memegang Aksamala dan Camara, sementara dua tangan berada di depan perut.” Dia memperhatikannya lekat. “Detailnya cakep banget, rapi, jelas mana bagian yang wanita dan mana yang laki-laki. Aaah, aku jadi ingin melihat proses pembuatannya. Pasti memakan waktu yang lama.”
“Kau menyukai hal-hal seperti itu, ya?”
“Hm?”