Chapter 04: Sebuah Mimpi dan Penginapan

2262 Kata
“Aku sedang bermimpi, ya?” Loka mengedarkan pandangannya perlahan. Loka masih ingat tadi dirinya tengah duduk di dalam bus yang menuju ke Trowulan. Namun, sekarang semua pemandangannya berubah dalam sekejap mata. Ia tidak kenal di mana saat ini dirinya berada, tetapi tempat itu rasanya begitu familiar di ingatannya. “Wilayah pedesaan, ya? Jadi ingat kampung.” Sejauh mata memandang hanya ada hamparan sawah yang menguning dengan bulir-bulir emas indah menempel di batang padi yang merunduk malu. Burung pipit terbang rendah, mencoba untuk mematuk satu-dua biji beras untuk dibawa ke sarangnya. Pasokan makanan di kala musim hujan tiba. Embusan angin berbisik lembut di belakang telinga Loka, merayunya untuk ikut turun dan berlarian di atas galengan dengan wajah gembira. “Mimpi yang indah.” Loka tersenyum tipis. Dia serasa ingin tinggal di tempat ini selamanya. Bisakah ia tetap berada di mimpinya dan tidak kembali lagi ke dunia nyata? Loka mendengkus kecil. “Mana mungkin itu terjadi, kau kebanyakan berimajinasi, Pitaloka.” “Diajeng? Apa itu kau?” Jantung Loka berdegup keras. Suara itu, irama yang tidak pernah ia dengar sebelumnya, tetapi mampu membuat Loka ingin menangis saat mendengarnya. Wanita tersebut berbalik secara perlahan, mencoba untuk melihat siapa yang berada di belakangnya. “Siapa kau?” Loka memiringkan kepalanya. Di depannya ada seorang pria. Jelas sekali terlihat dari posturnya yang tegap dan gagah. Loka juga melihat perutnya yang dihiasi oleh sari roti sobek dan nampak begitu kencang. Mungkin jika dipegang sensasinya akan terasa berbeda. Mikir apa kamu, Loka! Dia tidak mengenalinya. Bukan. Bagaimana cara Loka mengenalinya jika wajahnya tertutup oleh cahaya putih? Memangnya Loka sedang bermain tebak wajah? Ada-ada saja! “Apa ... kamu tidak mengingat diriku?” Dia mengangkat tangannya ke depan dadanya dan berkata dengan irama nanar. Loka menggeleng. “Maaf, aku tidak bisa melihat wajahmu karena tertutup cahaya putih. Mungkin jika kau menyingkirkannya aku bisa mengenalimu. Tidak, tunggu sebentar. Kemungkinan juga tidak. Aku tidak pernah punya banyak teman laki-laki sebelumnya, jadi kurasa ... aaah! Maaf! Aku terlalu banyak bicara.” Pria itu terdiam sejenak. Namun, ia lalu tertawa kecil. Tawa singkatnya mampu membuat seluruh pertahanan diri Loka langsung hancur lebur dalam sekejap. Saat ini Loka sudah tidak kuat untuk berdiri lagi. Kakinya meleleh seperti agar-agar yang baru matang. Manis banget! “Kau memang tidak pernah berubah Diajeng.” “Eh?” bingung Loka. Dia tidak mengerti apa yang pria itu katakan. Apa mereka pernah bertemu sebelumnya? Namun, di mana? Loka tidak pernah ingat memiliki teman pria semanis dia. Jika punya, sudah ia pepet dan nikahi di tempat. Ampun, Mak, Loka sudah bosan jomblo. “Maaf, tapi ... apa aku mengenalmu?” “Tentu saja. Kita sudah saling kenal satu sama lain.” Dia terdiam sejenak. “Kau adalah orang yang selalu kurindukan sejak dahulu.” Loka tertegun. Ia tidak mengenalnya. Sama sekali tidak. Semuanya terasa asing di ingatannya. Namun, ada sesuatu yang aneh. Ini sangat aneh. Loka merasakan matanya menghangat dan perasaan yang membuncah di dalam dadanya. Ia ingin mengeluarkannya, semua perasaan aneh yang terkunci sekian lama di sana. “Aku ...,” lirih Loka. Dia mengusap air mata yang tiba-tiba keluar dari pelupuk matanya. “Aku juga!” Meski sama sekali tidak terlihat wajahnya, Loka mampu merasakan pria itu terkejut dan menegang saat mendengar ucapan Loka. “Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Mimpi aneh ini. Kau yang tertutup cahaya aneh. Semuanya terasa aneh. Begitu juga perasaan aneh yang membuncah di dalam dadaku. Perasaanku seolah ingin berteriak hal yang sama padamu. Aku juga merindukanmu. Sangat. Lebih dari yang kau kira.” Diam sejenak. “Hei, tolong katakan padaku. Kita ini sebenarnya apa? Mengapa perasaan ini terasa begitu sesak?” Pria tersebut tidak menjawab. Ia hanya mengepalkan tangannya erat. “Kau akan segera mengetahuinya, Diajeng. Kita pasti akan bertemu lagi, entah di masa lalu, masa sekarang, atau di masa depan. Aku pasti akan selalu mencari dan menemukanmu.” Loka tidak paham apa yang pria itu katakan. Mengapa dia mengucapkan hal-hal rancu seperti itu? Masih penasaran, Loka memilih untuk maju dan menghampiri pria misterius tersebut. Loka ingin memastikan semuanya. “Hei, bisakah kau berikan petunjuk yang lebih jelas—” “LOKA!” Matanya mengerjap kuat. Loka merasakan sedikit kejutan listrik saat ruh miliknya dipanggil paksa dari alam bawah sadarnya. Dia terengah-engah dan melihat bahwa sekelilingnya sudah kembali normal. Jendela bus, bau rokok, suara wanita yang saling berbincang dan desingan mesin bus yang mengiringi perjalanan. “Loka, kamu enggak apa-apa? Kamu tadi nangis, lho, pas tidur. Kukira kamu ketindihan atau gimana, jadi kubangunin. Maaf, ya.” Ayu menatapnya dengan perasaan penuh bersalah. Namun, jika tidak segera dibangunkan Ayu takut akan terjadi sesuatu pada sahabatnya itu. Ayu mendapati Loka menggumam tidak jelas dan berkeringat dingin dalam tidurnya. Loka menggeleng pelan. “Enggak apa-apa, kok. Makasih udah dibangunin, Yu.” “Beneran?” “Hem.” Ia mengangguk. Loka memijit pelipisnya yang terasa pegal. Sepertinya tadi ia bermimpi sesuatu, tetapi apa? Bayangannya semakin memudar saat Loka berusaha untuk mengingat-ingat mimpi aneh yang baru saja ia alami tersebut. Mencoba untuk melupakannya, Loka menatap ke luar jendela. Jalanan aspal serta deretan pertokoan kecil menghiasi pemandangan di jendela kaca. “Kita udah sampai mana, Yu?” Ayu mengambil ponselnya dan membuka aplikasi peta digital. Dia memiliki hobi yang sedikit aneh, Ayu senang sekali melihat aplikasi peta digital itu dan mengamati perjalanan dari sana. Menurutnya, menyenangkan melihat titik biru yang bergerak sesuai arah dia pergi. Dia bisa melihatnya berjam-jam sampai baterai ponselnya habis. “Solo, Lok. Bentar lagi masuk perbatasan.” “Masih lama, dong. Udah hampir dhuhur ini.” Loka menilik arloji yang tersemat rapi di pergelangan tangan kirinya dan mendapati jarum jam sudah hampir tepat pukul dua belas siang. Tiket dua hari satu malam ini memang ditujukan untuk perjalanan wisata di hari Minggu. Mungkin rombongan Loka akan sampai di Trowulan saat matahari sudah condong di barat. Mereka sudah bersepakat akan berhenti di penginapan murah untuk beristirahat. “Hmm. Ya, begitulah. Ngomong-ngomong, kamu tadi mimpi buruk, ya? Sampai berkeringat dingin gitu.” Loka mengerucutkan bibirnya. Entahlah. Dia juga tidak mengingatnya dengan jelas. “Aku juga tidak tahu, Yu. Apakah itu mimpi indah atau mimpi buruk.” Ayu mencibir pelan. “Dih, gak jelas banget. Ya, kan, Dek?” Dia berganti mengusap perutnya yang mirip seperti bola bekel raksasa. Memikirkan membawa benih manusia di dalam perut dari sekecil buah kenari hingga sebesar itu, membuat Loka merinding ngeri. Bagaimana cara benda itu ke luar dari perutnya nanti? Ia tidak dapat membayangkan jika nanti bagian tubuh bawahnya bisa saja robek saat mengeluarkan bayi sebesar itu dari perutnya. Dia menepis pemikiran buruk tersebut dengan cepat. Loka kemudian berusaha mencari pengalih agar dia tidak jatuh tertidur kembali. “Yu, kamu sama Mas Zuhdi sudah menentukan nama buat dedek bayinya apa belum?” “Sudah, dooong. Kemarin pas cek di bidan, mereka bilang kalau bayiku nanti laki-laki. Aku udah diskusi sama Mas Zuhdi buat kasih nama yang keren.” Ayu terlihat sangat bersemangat. Hal itu Loka terkekeh pelan. “Oh, iya? Siapa namanya kalau begitu?” “Respati Mahakala. Dipanggilnya Ares. Gimana, Lok? Keren banget, kan.” Loka mengangguk mengiyakan. Dia bahkan mengacungkan dua jempol sebagai tanda bahwa nama itu sangat cocok untuk calon jabang bayi yang sebentar lagi akan terlahir. Sekarang gantian Ayu yang terlelap karena lelah terus-terusan bercerita betapa senangnya dia bisa pergi berwisata sebelum proses persalinannya. Ia takut ketika setelah menjadi seorang ibu, dia pasti hanya memiliki sedikit waktu untuk bersantai dan menyenangkan dirinya sendiri. Karena setelah Ayu menjadi seorang ibu, dunianya kini bukan miliknya sendiri lagi. Melihat betapa damainya wajah ibu hamil di samping dirinya, Loka bergegas membuka koper Ayu dan mengambil selimut untuk menghangatkannya selama perjalanan. Ponsel wanita itu masih menyala, ternyata masih di dalam aplikasi peta digital. Loka melihatnya sekilas dan mengetahui posisi mereka yang semakin dekat dengan Trowulan. Loka mematikan ponsel Ayu dan menaruhnya di dalam koper agar aman. Setelah selesai mengurusi ibu hamil yang tengah tertidur lelap itu, Loka akhirnya bisa bersandar santai di bangkunya dan menatap ke luar jendela bus. Deru mesin terdengar nyaman di telinganya. Loka menggumam pelan, “Satu jam lagi, ya.” *** Suara ban yang berdecit saat mengerem membangunkan semua penumpang bus yang terlelap selama perjalanan. Loka juga ikut terbangun. Ia tidak sadar jika dirinya kembali tertidur, anehnya ia tidak bermimpi apa pun kali ini. “Woooo! Udah sampai!” Euforia terdengar dari penumpang lain. Loka tahu, itu pasti suara Seno. Dia sangat berisik. Teriakan Seno disusul gelak tawa rekan kantor lainnya yang mulai turun satu-persatu menuju penginapan murah yang dekat dengan cagar budaya Trowulan—tempat tujuan wisata mereka. Loka dan Ayu turun sambil menyeret koper besar mereka. Ia akhirnya bisa menghirup udara segar setelah enam jam lebih duduk di dalam bus. Bokongnya sudah keram karena terlalu lama duduk. “Okeee! Rekan-rekan karyawan kantor Asuransi Harapan Bangsa! Silahkan masuk ke dalam dan jangan lupa untuk registrasi terlebih dahulu di resepsionis. Uang penginapan akan dipotong dari tabungan bersama.” Loka teringat sesuatu perihal tabungan bersama yang baru saja disebutkan oleh Fania—sekretaris sekaligus pengurus utama perjalanan kali ini. Dia mendesah pelan. “Jadi, uang kas yang dipungut paksa setiap minggu sejak setahun lalu dipakai untuk membayar hal-hal seperti ini, ya.” “Loka, ayo masuk. Aku udah nulis namamu dan namaku di lembar registrasi. Kamar kita ada di ruangan nomor tiga belas. Satu kamar ada tiga kasur.” Mendengar ajakan Ayu, entah kenapa Loka merinding. Mungkin mendengar kamarnya berada di nomor tiga belas—yang notabenenya nomor keramat, atau hal lainnya. Loka merasakan ada sesuatu yang menatapnya tajam dari suatu tempat. Namun, saat dia menoleh, Loka tidak dapat menemukan apa pun selain lorong-lorong penginapan yang hanya diberi penerangan lampu teplok. Selaras sekali dengan slogan yang tertempel di depan plang penginapan, 'Sederhana Adalah Kunci.' “Lok?” “Iya, iya. Aku datang.” Pintu kamar dibuka. Tidak semenyeramkan yang dibayangkan oleh Loka. Hanya ruangan kamar biasa dengan interior lokal menggunakan anyaman bambu serta lukisan batik yang membuat unsur kejawen sangat kental di sana. Tiga ranjang yang berjejer rapi dilapisi oleh selimut putih tipis dan diberi satu bantal kepala. Pemandangan yang nampak biasa-biasa saja, tidak ada yang perlu Loka khawatirkan. Semenjak mimpi aneh yang sama sekali tidak dapat Loka ingat dengan jelas—ia hanya sampai pada pemandangan sawah dan suara seseorang yang berdiri di belakangnya, Loka mulai merasakan sebuah perasaan buruk. Hati terkecilnya seolah mengatakan bahwa tidak seharusnya Loka datang ke tempat ini, seakan tempat ini hanya akan membawa kemalangan beruntun di dalam hidupnya. Jelas saja Loka merasa sedikit khawatir. Ia sangat percaya pada intuisinya sampai saat ini. “Loka, psst! Psssst!” Ayu mencoba memanggil Loka yang masih mematung di ambang pintu. Namun, wanita itu tidak mendengarnya dan tetap melamun sambil menatap kosong ke dinding ruangan. Ayu berdecak kesal melihat tingkah Loka yang seperti orang tak waras di malam hari. “Kamu ngapain, sih? Ada orang, tuh, di belakangmu!” “Permisi, Mbak. Saya mau lewat.” “Eh? Uh ....” Loka tergagap. Ia secara spontan menggeser tubuhnya, memberi jalan agar wanita di belakangnya bisa masuk ke dalam kamar. Loka melihat wanita asing itu dari atas sampai bawah. Gaya berpakaian retro dan ransel yang menempel di punggung. Wajahnya terlihat murung. Sepertinya dia kurang tidur. Loka tahu dari lingkaran hitam di bawah matanya yang sangat jelas. Ayu kesal pada Loka yang mendadak seperti orang bodoh. Dia menghampirinya dan menabok lengannya. “Hei! Jangan ngelamun mulu, emangnya ini kamar mandi? Ayo cepet beres-beres terus tidur.” “Ah, iya. Maaf, Yu. Kayaknya aku cuma lagi banyak pikiran aja. Emmm, kasurku yang mana?” tanya Loka. Mereka berdua lantas menoleh dan melihat penghuni lain yang baru saja masuk. Ini adalah penginapan campuran, di mana artinya satu kamar bisa diisi tiga orang berbeda. Hanya saja kamar untuk laki-laki dan perempuan dipisah di dua bangunan yang berbeda. Wanita yang baru saja masuk itu berada di ranjang paling kiri, dia sudah masuk ke dalam selimutnya dan tengah fokus membaca sebuah buku. Loka mengulum bibirnya singkat, ah, ia tidak suka pada golongan manusia yang terlalu cuek sepertinya. Loka berusaha menepis pemikiran buruknya dan kembali menoleh pada Ayu. “Kalau begitu, kasurku yang di tengah, ya. Kamu ke kamar mandi duluan saja, aku mau beres-beres sebentar.” “Oke!” kata Ayu setuju sambil berlalu pergi dan menuju ke kamar mandi umum yang ada di ujung lorong penginapan. Loka menarik kopernya dan duduk di ranjang tengah. Ia mulai mengeluarkan barang-barang penting yang akan ia gunakan seperlunya—seperti peralatan mandi, baju ganti, makanan ringan, dan lain sebagainya. Loka berusaha untuk fokus dengan urusannya sendiri dan mengabaikan wanita di sebelahnya. Sebenarnya tidak menjadi masalah jika wanita itu duduk dan membaca dengan tenang. Sayangnya, Loka mendengar gemeletuk gigi yang terus beradu dan membuat gendang telinganya berdenging ngilu. Selain itu, kakinya tidak bisa diam, membuat ranjang miliknya berdecit seperti terkena gempa. Loka bisa tidak tidur semalaman jika hal ini dibiarkan! “Anu, Mbak. Ada masalah apa, ya? Kok kelihatannya gelisah seperti itu.” Loka berbalik dan memilih untuk menyampaikan keluhannya. Dia tidak mau mengambil resiko tidur dengan ditemani irama gigi dan decitan ranjang yang sangat mengganggu. Wanita itu menatap Loka tajam, membuat Loka mendadak takut tanpa alasan. Ah, Loka tahu. Lingkaran hitam di mata wanita itu mungkin alasan utama mengapa ia terlihat seperti hantu menakutkan yang sering Loka tonton di televisi dulu. Wajahnya juga sangat celong, seperti orang yang tidak makan selama berhari-hari. Loka baru sadar betapa berantakannya penampilan wanita di sebelahnya ini. “Apa kamu mau membantuku, Mbak?” Dia tiba-tiba mengajukan permintaan dengan suara yang terdengar begitu ketakutan serta gelisah. Loka menegang. Dia mengeratkan genggamannya sendiri. “Eh? Bantu apa maksudnya, ya?” “Saya punya ... satu kelainan aneh saat tidur di malam hari.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN