Chapter 03: Perjalanan dan Pria Misterius

2225 Kata
“Satu, dua, tiga, empat …, sepuluh, oke pas.” Loka membuka amplop coklat berisi tumpukan uang yang menjadi gajinya bulan ini. Dia mengernyit kecil sembari menatap amplop miliknya yang lebih tipis daripada bulan-bulan sebelumnya. “Totalnya satu juta sembilan ratus ribu. Gila dipotong banyak banget gajiku bulan ini. Alamak, bisa sampai akhir bulan apa enggak, ya?” Desahan pelan meluncur mulus dari bibirnya. Dia hanya pekerja kantor asuransi biasa. Tidak bisa menuntut pada si botak pelit itu untuk menaikan gajinya yang sangat di bawah standar. Loka hanya bisa menerimanya dengan lapang d**a. Dia menatap langit sore yang nampak cantik, dengan warna jingga kemerahan terlukis di sana. Sekarang adalah hari Jum’at, yang mana artinya besok Loka akan mengikuti tur wisata bersama teman-teman sekantornya dengan tiket gratis dari Koh Taofeng. “Aaaah, benar. Aku harus beli mie cup, minuman dan lain sebagainya untuk bekal perjalanan.” Loka teringat jika ia belum menyiapkan apa pun untuk besok. Dia kemudian beranjak dari tempat duduk halte dan berjalan menuju minimarket guna membeli semua keperluan. Jarak minimarket dari kontrakan Loka tidak terlalu jauh, hanya saja ia perlu memutar gang yang cukup sempit demi mendapat jalan pintas. Minimarket berlogo merah, biru, dan putih itu sudah menjadi langganan Loka selama tinggal di sini. Terkadang saat dirinya kehabisan uang, Loka suka diberi beberapa makanan gratis yang akan dibuang karena mendekati tanggal kadaluwarsa. “Mas Raka, semuanya jadi berapa?” Loka meletakan keranjang yang berisi semua belanjaannya ke meja kasir. Pria dengan nametag Raka yang tersemat di seragamnya lalu mendongak, tersenyum cerah melihat wanita yang kini ada di depannya. “Ciye, habis gajian kayaknya, nih. Belanjaannya banyak banget, mau liburan apa gimana, Lok?” Raka mengambil satu per satu barang yang ada di keranjang Loka dan meng-scan kode bar di mesin penghitung harga. Loka hanya tertawa kecil. Dia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Bagaimana caranya mengatakan bahwa gajinya yang hanya tidak seberapa itu sudah banyak dipotong oleh si botak pelit penunggu kantornya? “Iya, nih, Mas. Koh Taofeng memberi tiket gratis pada kami untuk perjalanan ke Candi Trowulan. Katanya, sih, tiket hadiah karena ulang tahun agen perjalanan yang keberapa, gitu, lupa aku.” Raka tersenyum. Loka sedikit memerah melihat senyum manis pria tersebut. Ah, andai saja pria itu belum memiliki pacar. Namun, Loka juga paham bahwa Raka hanya memperlakukannya selayaknya kakak pada adik perempuannya. “Bagus, dong. Kamu, 'kan, suka banget sama tempat wisata sejarah kayak gitu. Aku lihat di postingan kamu semuanya tentang tempat atau benda-benda bersejarah. Mumpung gratis, udah nikmatin aja, Lok. Jangan lupa bawain oleh-oleh buat Mas, ya. Total belanjaannya jadi Rp. 135.000.” Loka merasa kehangatan menjalar di hatinya. Dia mengambil uang dari dompet dan menyerahkannya pada Raka dengan perasaan yang ringan. “Makasih, Mas. Bener apa yang kamu bilang, aku harus menikmati perjalanan ini dengan sepuas-puasnya. Kalau gitu nanti esensi tiket gratisnya bakal sia-sia, bener, 'kan?” “Bener, dong. Gitu baru namanya semangat. Udah sana pulang, tidur yang banyak di rumah jadi bisa menikmati pemandangan pas naik bis.” Raka menyerahkan kantong kresek yang penuh dengan belanjaan Loka dan melambaikan tangannya riang. “Makasih, Mas. Oh iya, Mas Raka mau oleh-oleh apa? Nanti biar kucatet jadinya enggak lupa pas di sana.” “Enggak usah. Aku cuma bercanda, Lok. Jangan dibawa serius gitu. Lagi pula, sabtu besok aku juga mau pergi sama Dera. Belakangan ini permohonan cutiku dikabulin sama atasan.” Wajah Raka terlihat begitu cerah saat membicarakan pacarnya, Dera—gadis kuliahan yang cantiknya bukan main. Selain cantik, Dera juga pintar, baik hati, rajin memasak, serta berasal dari keluarga yang berkecukupan. Loka tiba-tiba merasa dunia menjadi sedikit tidak adil untuknya. Mengapa ada orang yang ditakdirkan untuk memiliki segalanya seperti Dera? Bahkan dengan semua kemapanannya, dia masih mau bersama Raka yang notabenenya hanya pekerja minimarket biasa dan yatim piatu. Sudah tertutup jalan Loka untuk mendekati pria yang sangat ramah dan lembut tersebut. Kayaknya Loka bakal jomblo sampai umur empat puluh tahun, Mak. “Ehmm, kalau gitu, Loka pulang dulu.” “Hati-hati di jalan. Lagi banyak begal katanya.” Wanita tersebut mengangguk kecil dan ke luar dari minimarket dengan perasaan yang sedikit dongkol. Loka menggelengkan kepalanya cepat, ia tidak seharusnya cemburu seperti itu! Memangnya siapa kamu untuk Mas Raka, istri bukan, keluarga bukan, pacarnya juga bukan, tidak usah terlalu sedih saat melihatnya bahagia dengan orang lain. Kau sangat menyedihkan, Loka! Dug! Semua belanjaan Loka terjatuh ke halaman minimarket saat badannya tak sengaja menabrak orang lain. Loka menggigit bibirnya keras, ini akibat dia terlalu banyak melamun tidak jelas! Hal yang penting sekarang, minta maaf dulu! “Maafkan saya, tadi saya sedang melamun jadi tidak sengaja menabrak anda.” Loka menundukan kepalanya dalam-dalam. Ia hanya melihat celana jins berwarna hitam dan sepatu mengkilap yang dikenakan oleh orang yang Loka tabrak. Seorang laki-laki. Begitu yang Loka asumsikan tentangnya. Dia memilih untuk berjongkok dan memunguti belanjaannya kembali ke dalam plastik. “Tidak apa-apa. Apa kamu baik-baik saja?” Suara bariton pria tersebut membuat bulu kuduk Loka meremang lembut. Dia berjongkok dan ikut memunguti belanjaan Loka. Penasaran, Loka meluruskan wajahnya dan mencoba menatap pria di depannya. “Gan—” Oh, tidak! Loka hampir keceplosan mengatakan bahwa pria di depannya sangat tampan. Loka menutup mulutnya dan berteriak keras di dalam hatinya. Ganteng bangeeeet! Gila, tipikal wajah-wajah aktor atau idol! Emaaaak, kasih Loka pelet cepat! Loka mau kawin sekarang sama dia! “Maaf, kamu tadi bilang apa? Gan?” Dia memiringkan wajahnya, tidak paham dengan tingkah wanita yang kini salah tingkah sendiri di hadapannya. Loka mengerjap kaget, benar juga, tadi dia hampir keceplosan. “Gan ... ganti rugi!” “Saya harus ganti rugi, maksudnya?” Matanya yang kelabu dan bulu mata lentik setiap kali dia mengerjapkan kelopaknya membuat Loka tidak tahan jika harus berdekatan lama-lama dengannya. Bisa saja wanita berusia 25 tahun itu khilaf dan langsung mengarungi pria ganteng tersebut untuk dibawa pulang. Loka akan langsung membawanya ke KUA untuk mengurus pernikahan mereka. Kau gila, Loka. Wanita tersebut menghembuskan napas lelah, ia terlalu banyak mengkhayal tidak jelas. Tidak mungkin jika fantasi aneh itu akan terjadi, dia pasti dicap orang gila dan dimasukan ke dalam ruang isolasi di rumah sakit jiwa terdekat. Bam! Loka dianggap sebagai pasien depresi berat karena efek jomblo terlalu lama. “Bukan begitu. Maksud saya, karena saya yang tadi menabrak anda, saya pikir saya yang harus mengganti rugi pada anda.” Pria itu membuka mulutnya kecil. Loka langsung mengalihkan pandangannya ketika melihat bibir yang begitu merah dan menggoda tersebut. Menjaga kewarasan otaknya sangat penting di tengah malam yang dingin ini. “Tidak perlu mengganti rugi apa pun. Kau bisa pergi dengan tenang.” Loka mendongak lagi, pria tampan itu tersenyum tipis. Matanya melengkung indah seiring dengan senyumannya. Namun, dampak yang dikeluarkan sangat terasa bagi jantung Loka. Tolong, jangan tersenyum seperti itu, Tuan! Kau bisa membunuh jantungku yang masih perawan ini! “Pak Wana? Mengapa anda malam-malam datang ke sini?” “Eh?” Raka berdiri di luar minimarket dengan ekspresi terkejut. Apalagi saat melihat Loka dan atasannya itu berjongkok di depan halaman minimarket dengan belanjaan yang berceceran di sekitar mereka. “Raka, kamu ternyata. Sebenarnya, saya datang mau menyampaikan tentang adanya pekerja paruh waktu yang mau bekerja di sini. Tapi, saya pikir ada sedikit kecelakaan di sini.” Dia menoleh pada Loka yang masih membeku. Raka yang melihat wanita itu langsung turun dari depan pintu minimarket dan membantunya. “Loka, kamu enggak apa-apa?” Loka tersadar dari lamunannya saat suara Raka terdengar di sampingnya. Ia mengangguk cepat dan membereskan semua belanjaannya cepat. Loka berdiri dan menunduk lagi ke arah Wana. “M-maafkan saya, Pak Wana. Kalau begitu saya pamit permisi.” Dia langsung ngacir dari hadapan kedua pria tersebut. Siaaaal! Loka sangat malu karena bersikap seperti orang bodoh di hadapan mereka berdua. Dia tidak akan datang ke minimarket itu selama sebulan, tidak, dua bulan ke depan. Loka sampai ingin menenggelamkan wajahnya ke dalam tanah saking malunya. “Raka ... apa wanita itu temanmu?” Wana bertanya pada pria di sebelahnya. “Eh? Oh, iya, Pak. Namanya Pitaloka, biasanya saya memanggilnya dengan Loka. Memangnya ada apa, Pak?” Raka menoleh dan menatap Wana yang terlihat sedikit penasaran. Dia masih menatap punggung Loka yang semakin menjauh dari minimarket. Wana lalu menggeleng kecil. “Tidak apa-apa, ayo kita masuk. Ada hal yang perlu kubicarakan denganmu.” Dia masuk ke dalam minimarket dengan tangan yang berada di balik punggung, cara berjalannya pun persis dengan bangsawan keraton, tegap dan halus. Semua pembawaannya membuat Raka merasa segan dan menghormatinya. Terkadang Raka sendiri heran dengan atasannya itu. Apa dia benar-benar datang dari masa sekarang? *** “Dok! Dok! Dok!” “Loka, buka pintunya, woi! Cepet bayar semua tunggakan kontrakan atau gue usir lo dari kontrakan gue sekarang juga!” Loka mendengarnya. Ia sudah mendengarnya dengan sangat jelas. Itu adalah Bu Widya—pemilik kontrakan yang galaknya seperti kucing garong yang siap bertarung. Loka juga mau membayarnya, hanya saja teriakan Bu Widya membuat Loka malu untuk keluar. Ia pasti dicap penghuni tidak tahu diri oleh tetangga karena selalu telat membayar kontrakan. Dia menatap koper yang akan dibawanya ke perjalanan wisata kali ini. Loka menghela napas pelan. “Andai saja aku tidak perlu kembali ke sini lagi dan hidup dengan bebas.” Itu hanya keinginan kosong. Loka masih perlu bekerja untuk mendapatkan uang dan makan sehari-hari. Dia berdiri dan memberanikan diri untuk membuka pintu kontrakan. Di depannya sudah berdiri wajah Bu Widya yang sudah bersiap untuk mencakarnya sampai habis. Loka meringis kecil. Ia menyodorkan amplop cokelat ke hadapan Bu Widya dengan sangat hati-hati. “Monggo dicek, Bu. Sudah saya tambahin sedikit biar Ibu enggak ngambek lagi sama saya, hehehe.” “Hmph!” Bu Widya mengambilnya dengan wajah yang masih kesal. Namun, saat menghitung jumlah uang di dalam amplop, wajah merahnya mendadak kembali ke warna normal. Loka harus mengikhlaskan uang jajannya selama sebulan ke depan demi membuat nenek lampir ini tenang. “Gitu, dong. Bayar utang lamaaa banget, masa harus ditagih berulang kali baru dibayar. Awas aja, bulan depan jangan sampai nunggak lagi!” Loka mengacungkan jempolnya penuh semangat. Misinya dalam menenangkan kucing garong sudah berhasil. “Siap, terima kasih atas pengertiannya, Bu Widya yang paling cantik se kompleks Harapan Indah!” Dia hanya mendengus kecil seolah mengatakan bahwa ia memang layak mendapat pujian tersebut. Bu Widya akhirnya pergi dengan amplop coklat yang terjepit di ketiaknya dan Loka akhirnya bisa bersandar tenang di pintu. “Cobaan macam apa lagi ini, jantungnya rasanya hampir meledak setiap kali melihat wajahnya. Huft.” Loka menatap jam dinding dan mengetahui bahwa ia bisa terlambat jika tak berangkat ke kantor sekarang juga. Bis wisata mereka akan menunggu di depan kantor. Loka mengerahkan tenaganya yang tersisa untuk berdiri dan mengambil kopernya. Dia ke luar dari rumah serta tak lupa mengunci kontrakannya. “Waktunya liburan, jangan terlalu banyak berpikir, Loka! Semua pasti sudah ada waktunya. Percaya saja pada takdirmu.” Loka menggenggam kunci kontrakannya erat. Ia percaya pasti ada waktunya untuk bahagia nantinya. Loka menaruh kunci itu di saku celananya dan berjalan pergi menuju pangkalan ojek. Ia pasti akan membuat banyak kenangan indah di sana dan memotret semua candi untuk dokumentasi. Loka tidak menyadari apa yang mengikutinya ke perjalanan wisatanya kali ini. Sebuah asap yang lebih pekat dari jelaga dan lebih jahat dari fitnah saudara. Sosok jahat yang berusaha untuk menjebak Loka ke dalam pusaran takdir tak berujung dan menenggelamkannya di sana. *** “Lokaaaa!” Ayu melambaikan tangannya riang. Ia berdiri di samping pintu bis dengan koper besar dan seorang pria berkacamata di sampingnya. Itu Zuhdi, suami Ayu serta pemilik toko kelontong kecil-kecilan. Loka berjalan menghampiri mereka dan menyapa balik. Zuhdi adalah tipikal suami yang sabar dan pendengar yang sangat baik. Berkebalikan dengan Ayu yang kadang bisa sangat cerewet dan egois. Mereka pasangan yang sempurna, sampai terkadang membuat Loka iri dan merajuk sendiri karena ingin cepat punya pasangan. “Tolong jaga Ayu, ya, Lok. Dia ngidam pengin ikut tur wisata ini. Padahal usia kandungannya sudah masuk trimester akhir. Dia ngotot pengin ikut terus. Aku enggak bisa ikut gara-gara harus jaga toko.” Zuhdi merengut, Loka paham bagaimana rasanya menghadapi Ayu yang selalu ingin menang sendiri. Dia mengangguk singkat. “Tenang aja, Mas. Kupastiin Ayu enggak bakal bisa kabur ke mana-mana!” “Iiih, Loka. Jangan jahat gitu, deh. Bisnya udah mau jalan tuh. Aku berangkat dulu, Mas.” Ayu mencium tangan suaminya dan dia mendapat usapan lembut di kepalanya yang tertutup hijab. Ayu tersenyum jahil. “Loka, jangan iri, ya!” Loka mencibir kecil. Ayu benar-benar mengerjainya! “Enggak, aku sama sekali enggak iri, tuh. Dengan statusku yang jomblo imut ini, aku bisa hidup bebas tanpa ada siapa pun yang bisa mengaturku. Bebas. Free.” “Halah, denial aja terus. Kalau jomblo, mah, jomblo aja.” “Ayu—” “Bisnya mau berangkat! Kalian ngapain di luar terus? Ayo, masuk!” Salah satu teman sekantor Loka memanggil mereka berdua dari balik jendela. Mesin bis juga sudah dinyalakan. Loka dan Ayu buru-buru menarik kopernya dan naik ke dalam bis. Pertengkaran kecilnya ditunda untuk nanti lagi. Loka mendapat tempat di pinggir jendela, ia duduk manis di sana sambil menunggu Ayu yang masih mesra-mesraan dengan suaminya. Loka menatap ke luar jendela, ia melihat pemandangan jalanan pagi yang terlihat begitu segar untuk dipandang. Ayu naik ke dalam bis dan duduk di sampingnya, bis berjalan tidak lama setelahnya. Loka memilih untuk mengenakan earphone dan mendengarkan playlist kesukaannya di perjalanan panjang ini. Tidak lama, Loka pun tertidur lelap di tengah perjalanan. Ia melihat sebuah mimpi yang sangat aneh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN