10. Lelucon murahan

1196 Kata
Nadia menatap layar ponsel dengan seksama menyamakan tanggal yang ada di ponsel dan juga kalender kecil yang berada di samping meja kerjanya. Tanggal tersebut sudah dilingkari Nadia sejak beberapa waktu lalu, dimana ia harus kembali membayar cicilan mobil yang kini dipakai oleh Nendra dan istrinya. Nadia menghela lemah, lelaki itu benar-benar keterlaluan, bahkan tidak ada inisiatif untuk mengembalikannya padahal hubungan yang mereka jalin sudah kandas sekitar tiga bulan lalu. Dengan tidak tahu malunya Nendra masih menggunakan mobil tersebut tanpa merasa bersalah sedikitpun. Nadia pun membuka aplikasi bank online untuk memastikan jumlah uang yang masih tersisa di rekening pribadinya. Jumlahnya masih cukup untuk membayar cicilan bulan ini, tapi Nadia tetap merasa senang keberatan jika harus membayar mobil tersebut tanpa memakainya. “Ayo, Nadia! Kerja!” Proyek yang digadang-gadang akan menghasilkan keuntungan dalam jumlah besar untuk perusahaan ada di depan mata, dimana Nadia pun akan mendapat bonus tambahan di luar gaji bulanannya. Mendapatkan uang lebih bisa menolong siklus keuangan Nadia. Harapan satu-satunya dari bonus itu. “Mau makan siang bareng nggak?” Hasan menghampiri. “Dimana?” Nadia mematikan ponselnya, menaruh kembali benda tersebut kedalam tas. “Cafe depan.” “Nggak ah, duit gue pas-pasan.” Memang tidak harus menghemat sampai mengurangi jatah makan, tapi jika ia tidak bisa mengaturnya dengan baik, uangnya tidak akan cukup untuk membiayai hidupnya selama satu bulan. Nadia memang tidak memiliki tanggungan apapun kecuali cicilan mobil, tapi selama ini ia tinggal sendirian dimana semua kebutuhan hidupnya ditanggung sendiri. Tidak ada yang namanya keluarga, Nadia tidak memiliki hubungan seperti itu dengan siapapun. “Ya elah, Lo bisa pakai duit gue dulu kali.” “Nggak ah, ujung-ujungnya jadi utang.” “Nggak lah, ayo! Gue udah laper banget.” Hasan menarik tangan Nadia, menyeret wanita itu keluar dari gedung kantor dimana Tanto dan Mila sudah terlebih dulu disana. “Lo boleh pesen makanan yang Lo suka.” Ucap Hasan. “Gue pesan yang paling mahal, ya?” Nadia tersenyum jahil. “Pesen aja! Gue nggak keberatan, lagian berapa sih biaya Lo makan sehari? Gue bisa tanggung.” Nadia mengerikan matanya, gaji pokok yang mereka terima semua sama kecuali bagian bonus yang mereka dapat tentu berbeda tergantung dari seberapa sukses proyek yang mereka kerjakan. “Belagu lu!” Cibir Mila. “Kalau cuman biaya makan sehari doang mah nggak usah Lo, si Nad juga sanggup kali! Coba Lo bayarin sebulan. Sanggup nggak!” Tantang Mila “Sanggup!” balas Hasan dengan percaya diri. “Asal si Nad jadi pacar gue dulu, semua kebutuhannya gue bayarin!” “Amit-amit, lebih baik gue jomblo seumur hidup daripada harus pacaran sama Lo!” “Kenapa?” Protes Hasan. “Gue cakep, macho, dan tentu aja gue suka perempuan.” “Lo emang suka perempuan, tapi perempuan nggak suka Lo.” Balas Mila yang membuat mereka tertawa bersama. Saat mereka berempat tengah asyik ngobrol, tiba-tiba saja Arik datang dari arah pintu masuk. Nadia menyadari kehadiran lelaki itu, diam-diam ia berharap Arik tidak menyadari kehadirannya dan memilih tempat lain. Naas, Tanto terlebih dulu melambaikan tangannya ke arah lelaki itu. “Pak Arik, sini.” Teriak Tanto yang membuat lelaki itu mengubah arah tujuannya menuju ke meja dimana Nadia berada. “Mau makan siang, Pak? Bareng kami aja.” Ajak Tanto yang langsung mendapatkan tatapan tajam dari Nadia. Dari keempatnya hanya Nadia yang terlihat tidak suka saat Arik ikut bergabung. “Saya boleh bergabung?” Tanya Arik basa-basi. “Boleh dong, Pak.” Balas Mila lengkap dengan senyum centil yang membuat Nadia kesal melihatnya. “Pak Arik sendirian aja? Maksudnya makan siang sendiri?” Tanya Mila. “Nggak. Lagi tunggu teman, tapi sepertinya dia terlambat datang.” “Oh gitu,” “Kalian pesan apa? Pesan aja sesuka kalian, saya yang bayar.” Hasan, Tanto, dan Mila bersorak. “Nadia, Lo boleh pilih makanan yang Lo mau, kalau perlu yang mahal sekalian. Pak Arik yang bayar!” Mila menepuk lengan Nadia. “Atau Lo bisa bungkus untuk makan malam nanti, jadi nggak usah beli makanan lagi.” “Silahkan kalau mau bungkus,” “Tidak pak, terimakasih. Ini aja udah cukup,” balas Nadia. Semiskin apapun kondisi Nadia saat ini ia tidak akan mau memesan makanan untuk dan dibawa pulang untuk dimakannya nanti malam. “Nggak apa-apa, Nad. Jangan malu-malu, Pak Arik udah berbaik hati loh. Daripada Lo nggak makan gara-gara harus bayar cicilan mobil si Nendra.” “Nggak lah! Gue masih punya uang.” “Cicilan?” Tanya Arik, rautnya terlihat penasaran. “Nggak, Pak. Mila ngarang.” Entah apa yang ada di dalam isi tempurung kepala Mila hingga ia menceritakan aib yang selama ini ditutupi Nadia dari orang lain kecuali mereka bertiga. “Nadia punya cicilan mobil mantannya, Pak.” Mila tertawa, tapi hanya dia sendiri. Tanto dan Hasan pun sama seperti Nadia, menatapnya dengan tatapan kesal. “Bayarin mobil mantan? Lucu sekali.” Arik tersenyum samar. “Bahkan saat kehidupan kamu masih seperti, kamu malah bayarin cicilan mobil mantan?” Arik tertawa meremehkan. Nafsu makan Nadia hilang seketika, dua manusia yang duduk tepat di hadapannya itu benar-benar merusak harinya. “Iya, saya membayar cicilan mobil mantan saya.” Nadia membenarkan. “Saya nggak keberatan dan saya juga nggak merasa rugi, kecuali kalau saya minta makan dan bantuan pada Bapak atau Mila. Itu namanya minta bantu berjamaah, tapi syukurnya saya bisa mengatasi itu semua dengan baik selama ini tanpa merepotkan orang lain.” Nadia mengusap bibirnya dengan tisu. “Saya sudah kenyang.” Nadia beranjak dari tempat duduknya. “Saya duluan, permisi.” ucapnya, lantas Nadia pun pergi meninggalkan tempat itu tanpa menyentuh makanan yang sudah dipesan. Suasana menjadi canggung, “Kalian pesan saja, saya yang bayar.” Ucap Arik. “Terimakasih, Pak. Saya mau nyusul Nadia dulu, lain kali aja minta traktiran lagi.” Hasan pun beranjak dari tempat duduknya, mengejar Nadia yang sudah terlebih dulu pergi. “Lo sensitif banget sih!” Hasan menemukan Nadia berada di kantin kantor tengah menikmati semangkuk bakso lengkap dengan saus sambal dengan warna merah merona yang begitu mengerikan. Nadia tidak menjawab, ia mengabaikan Hasan yang duduk sambil memperhatikannya. “Lo nggak ada kerjaan lain, selain merhatiin gue makan? Lo bisa balik ke cafe, dan nikmati traktiran Bos durjana itu!” Sindir Nadia. Hasan terkekeh, “Gue nggak tergiur traktiran Bos, apalagi temen gue lagi berduka kaya gini. Mana bisa gue makan dengan tenang.” “Lo suka sama gue, San? Sebaiknya Lo simpen deh perasaan Lo itu. Gue nggak tertarik sama Lo,” Hasan terkekeh. “Siapa juga yang suka sama Lo, gue cuman prihatin aja.” Balas Hasan. “Gue tahu bercandaan Mila keterlaluan, tapi Lo nggak usah melampiaskannya dengan makan pedas kayak gini. Yang ada Lo usus buntu dan Lo masuk rumah sakit. Biaya rumah sakit mahal, Nad. Sama mahalnya dengan cicilan mobil.” Nadia menghela. “Bercandaan Lo pada nggak lucu! Lo nggak tahu kan gimana sulitnya gue nyucio tuh mobil, apalagi gue nggak pernah pake mobil itu tapi diwajibkan bayar.” “Aper banget Lo pacaran sama si Nendra.” “Lebih apes lagi datap Bos kurang ajar kaya dia,” dagu Nadia menunjuk ke arah Arik dimana lelaki itu berjalan di arah seberang. “Jangan benci-benci, Nad. Nanti jadi cinta.” “Amit-amit!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN