“Gosip baru!” Mila mendorong kursinya dengan kaki, mendekati Nadia yang baru saja tiba di kantor.
Mila tidak memperhatikan wajahnya Nadia yang lebih mirip koran lecek. Suasana hatinya belum membaik, usai perdebatannya dengan Arik kemarin. Bos sialannya itu benar-benar menyinggung ego Nadia.
“Nad, mau denger nggak?”
Merasa tidak ada sambutan dari Nadia, Mila mengamati wajah temannya itu dengan saksama.
“Lagi dapet, ya?” Tanyanya lagi.
“Nggak.” Balas Nadia singkat.
“Coba tebak gue punya gosip apa?”
Nadia menatap jengah ke arah Mila, yang tidak mengerti kondisinya.
“Apa sih?!”
Mila sepertinya memang tidak peduli dengan keadaan Nadia saat ini, baginya menyebarkan gosip adalah hal yang paling utama.
“Ini gosip yang baru diangkat dari penggorengan. Panas, Nad. Panas!”
Nadia hanya menghela lemah, sejujurnya ia tidak lagi bersemangat mendengar gosip apapun. Harinya benar-benar kacau setelah kedatangan Bos sinting itu.
“Ini tentang Pak Arik,” Mulainya tidak sabar. “Lo tahu nggak, dia jalan sama Bu Febi.” Mila membuat tanda kutip di udara pada kata jalan. “Kayaknya hubungannya sama si hijau mint benar-benar disembunyikan atau mungkin juga Pak Arik tidak hanya suka lubang matahari tapi juga kue apem.”
Nadia menopang dagu dengan satu tangannya, sambil menyesap kopi hitam di cangkir kertas yang sempat dibuatnya, di pantry.
“Lo tahu dari mana?”
“Dari anak-anak marketing, di tempat parkir. Kami sempat ngobrol gitu, salah satu dari mereka kebetulan tempat tinggalnya sama dengan Pak Arik. Katanya, semalam dia melihat Pak Arik mengantar Bu Febi ke lobi apartemen.”
“Terus?” Nadia kembali menyerap kopinya.
“Lo bayangin aja mereka berduaan di waktu seperti itu, di dalam apartemen pula. Kira-kira ngapain?”
“Mungkin aja mereka cuman mabar, Bu Febi kan pecinta fame sejuta umat mobile legends.”
Balas Nadia santai.
“Nggak mungkin, Nad. Mereka nggak bakalan cuman main mobile legends, bisa aja ML sungguhan.”
Apapun yang dilakukan dua manusia itu tentunya tidak ada hubungannya dengan Nadia. Pecinta sesama jenis atau pun penyuka semua jenis, bukan urusan Nadia hanya saja sikap sombongnya dan menyebalkan yang menjadi masalah untuk Nadia.
“Lo sarapan apa tadi pagi? Tumben banget kelihatan loyo dan nggak bersemangat gitu?”
“Gue malah belum sarapan apa-apa, kecuali kopi ini.” Nadia mengacungkan gelas kertas yang sudah tidak ada isinya itu.
“Pantesan aja loadingnya lama.”
Nadia hanya menghela lemah, “Tenaga gue habis di pake berantem kemarin.”
“Hah? Sama siapa? Lo ketemu lagi sama di Nendra?” Selidik Mila.
Belum sempat Nadia menjawab, ekor matanya melihat Arik berjalan menuju ruangannya. Lelaki itu memanggil Nadia, sebelum sosoknya menghilang dibalik pintu.
“Oh, gue tahu!” Mila kembali bersuara, sesaat sebelum Nadia beranjak menuju ruang Pak Arik.
“Kemarin, kalian pulang terpisah dan raut Pak. Arik nyeremin banget. Gue yakin persentasi kalian gagal. Iya, kan?”
“Lo ngeremehin bakat gue? Persentasinya sukses besar dan Bos tantrum itu nggak tahu terima kasih.”
“Terus kenapa kalian bertengkar?”
“Gue ngajuin ide sampah gue sama klien, dan mereka milih yang itu. Dia pasti sebel banget sama gue,”
“Ya ampun! Kenapa lo nekat banget sih, Nad. Lo pasti diamuk dan dipecat. Gimana dengan cicilan mobil Nendra yang masih satu tahun itu?”
Mila kembali mengingatkan fakta dimana Nadia masih memiliki tanggungan melunasi mobil yang kini dipakai oleh Nendra dan Sinta.
“Gue nggak bakal di pecat!” Nadia memastikan.
“Proyeknya bakal sukses besar, masa iya gue dipecat. Kalau cuman di omelin wajar aja sih.” Nadia mengusap wajahnya dengan kedua tangan.
“Kalau dia masih marah hari ini, artinya sama Bu Febi semalam nggak berhasil. Nggak terbiasa pake apem.”
“Sialan lo!” Umpat Mila, di waktu yang bersamaan, Arik pun kembali memanggil Nadia untuk yang kedua kalinya.
Nadia yakin, Bos besarnya itu tidak akan sampai hati memecatnya hanya karena presentasi kemarin. Jika hanya sekedar kesal, tentu wajar.
“Masuk.” Nada bicaranya tidak bisa dibilang ramah, saat Nadia mengetuk pintu ruang kerjanya. Nadia menghela lemah sebelum menguak pintu dan masuk.
Arik masih menekuri laptop saat langkah Nadia kian mendekat. Nadia sudah tahu apa yang harus dilakukannya saat ini, ia akan memilih diam mendengarkan lelaki itu kembali mencurahkan kekesalannya. Seperti Nadia tidak dibuat kesal saja.
Hampir dua menit berlalu dan lelaki itu belum juga mengangkat kepalanya sama sekali.
Lelaki itu selalu berhasil memancing kemarahan Nadia.
“Bapak manggil saya?” Nadia membuka percakapan terlebih dulu. Sengaja ia membuat suaranya terdengar manis, padahal Nadia sudah mulai dongkol.
“Iya,” Jawabnya dengan kepala masih menatap layar laptop di hadapannya.
“Bapak kelihatan sibuk,” Kata Nadia lagi. “Bapak mau saya kembali lagi nanti?”
Kali ini pancingan Nadia membuahkan hasil. Lelaki iri akhirnya mendongak. Tatapannya masih tersiar kekesalan yang begitu kental, mengapa lelaki itu begitu pendendam?
“Duduk!” Tunjuknya ke arah kursi.
Nadia menurut, duduk sopan dengan muka polos.
“Kamu pasti tahu kesalahan kamu kan?” ucapnya.
“Karena kesalahanmu itu juga yang membuat saya bersikap tidak profesional bahkan melibatkan masalah pribadimu kemarin.”
Akhirnya lelaki itu mengakui kesalahannya. Jika saja bukan Bos besar, mungkin Nadia sudah membalasnya dengan pukulan, seperti yang selalu dilakukannya pada Hasan. Tapi lelaki menyebalkan yang kini duduk di hadapannya adalah salah satu pemegang kelangsungan gaji Nadia dimana ia sangat menggantungkan hidup dari penghasilannya.
“Saya tidak merasa perlu meminta maaf, sebab kamu pun menuduh saya sebagai lelaki penyuka sesama jenis. Bahkan dengan sengaja sering membicarakan hal tersebut bersama ketiga temanmu.” Rupanya dia tahu sering menjadi bahan gosip Nadia dan teman-temannya.
“Anggap saja kita impas.”
Nadia hanya menganggukkan kepalanya saja, ia tidak mau kembali berdebat dengan lelaki itu.
Ingat, Nad! Cicilanmu masih satu tahun lagi.
Nadia kerap merapalkan itu dalam benaknya saat menghadapi masalah di kantor.
“Saya nggak suka atas apa yang terjadi pada persentasi kemarin dan saya tidak mau hal tersebut kembali terulang.”
“Itu tidak akan terjadi kalau Bapak tidak mengatakan jika ide yang saya ajukan itu sampah.” Kali ini Nadia tidak lagi diam.
“Saya nggak pernah membawa ide sampah pada atasan.”
“Kalau nggak terima, kamu bisa protes, kan? Kita bisa diskusi sehingga peristiwa seperti kemarin tidak akan terjadi. Kamu membuat saya terlihat bodoh di hadapan klien.”
“Seingat saya, Bapak nggak terlihat ingin membuka ruang diskusi ketika melemparkan pekerjaan saya dan menyebutnya sampah.”
Arik menghela lemah dan mengusap wajahnya. “Baiklah, untuk kedepannya kita akan melakukan diskusi terlebih dulu untuk setiap keputusan. Jadi tidak ada yang merasa dirugikan, bagaimana?”
Tentu saja Nadia mengerti dan paham betul standar operasional yang kerap dipakai di setiap perusahaan. Hanya saja lelaki arogan itu terlalu menganggap remeh kemampuannya.
“Dimengerti, Pak.”
“Saya akan memberikan kamu kesempatan sekali lagi dan masih toleran sama kamu. Tapi lain kali saya tidak akan selunak ini. Mengerti?”
“Iya, Pak.”
“Ya sudah, kamu boleh keluar sekarang.”
“Baik, Pak.”
Untuk kedua kalinya Arik melihat kepergian wanita itu hingga sosoknya menghilang di balik pintu. Menghadapi banyak karyawan dengan berbagai sifat sudah pernah dirasakan Arik, ia pun terkenal kejam dan tidak akan memberikan kesempatan kedua bagi siapapun yang melakukan kesalahan apalagi ada unsur kesengajaan seperti yang dilakukan Nadia kemarin. Tapi kali ini justru ada pengecualian. Arik tidak langsung memecat Nadia seperti yang kerap dilakukannya selama ini, ia justru memberikan kesempatan kedua untuknya. Entah kasihan atau mungkin merasa bersalah karena ia telah menyinggung wanita itu kemarin. Tatapan Nadia terlihat sangat terluka saat Arik melibatkan masalah pribadinya. Seharusnya Arik tidak mengatakan itu dan menjadikan senjata untuk menyerang Nadia. Ia merasa tidak bersikap gentle.
Tapi wanita itu pun menuduhnya penyuka sesama jenis, kan?
Lelaki tulen, malah dituduh boti.