2. pertemuan kedua

1347 Kata
“Nadia, karena tiba-tiba saja Nendra dan Sinta mengundurkan diri dari perusahaan secara bersamaan, sementara tenggang waktu untuk proyek baru sudah sangat dekat, jadi kamu yang ambil alih ya. Pekerjaanmu yang kemarin sudah selesai, kan?” Satu-satunya sosok lelaki yang diakui tampan oleh Nadia berbicara penuh wibawa lengkap dengan senyum manis menghiasi wajahnya yang sangat mirip dengan aktor Vino G Bastian itu. Paras dan bodinya yang aduhai kerap menjadi fantasi seksual warga kantor, termasuk Nadia. Daripada mendengar celotehnya, ia lebih bersemangat menatap wajahnya lelaki bernama Dion itu. Sayangnya Dion memiliki pelihara yah dikenal galak, dengan status sebagai istri. “Nad,” Panggil Dion lagi. “Kamu dengar saya?!” “Oh tentu.” Nadia menganggukkan kepalanya. “Jadi setuju, kamu menggantikan mereka berdua?!” “Mereka siapa?” “Nendra dan Sinta.” “Apa? Dua pecundang itu!” Nadia langsung menutup mulutnya, saat umpatan kasar itu akan terlontar deras dari bibirnya. “Maksudnya mereka.” Ralatnya. “Saya anggap setuju ya,” “Apa? Tapi,” “Oke rapat kali ini sudah selesai, dan Nadia akan kembali menjadi ketua tim untuk proyek terbaru minggu depan.” Semua bersorak gembira, terutama ketiga teman Nadia, yakni Hasan, Mila, dan Tanto. Mereka tersenyum dengan ekspresi bangga yang dibuat-buat. “Silan lo semua!” Umpat Nadia. “Oh iya, hampir saja saya lupa menginformasikan sesuatu. Minggu depan atau lebih tepatnya satu minggu dari sekarang kita akan kedatangan pemimpin baru di perusahaan ini. Seperti yang kita tahu Pak Albert sudah sangat sepuh dan beliau mempercayakan putra keduanya untuk memimpin perusahaan ini. Sambutan resminya masih satu minggu lagi, persiapkan diri kalian karena pemimpin kita yang baru ini sangat detail dan kritis.” Teman yang lain langsung membicarakan pergantian pemimpin yang memang sudah terdengar sejak satu bulan lalu, dimana pak Albert selaku pemimpin perusahaan akhirnya memutuskan untuk resign karena sudah terlalu sepuh. Penggantinya adalah putra bungsu yang belum diketahui namanya itu, tapi konon katanya si calon penggantinya itu memiliki paras tampan tapi juga sangat teliti dan kritis seperti yang dijelaskan Pak Dion tadi. Beberapa orang meributkan arti kritis yang diucapkan Pak Dion, tapi berbeda dengan Nadia yang tidak terlalu ambil pusing dan lebih memilih abai. Namanya juga pemimpin kalau nggak galak dan kritis ya apalagi? Mereka membayar karyawan untuk di suruh-suruh dan dimarahi bukan? “Katanya bos baru kita nanti sangat teliti dan di cap si kulkas dua pintu. Nggak ada kata salah dalam kamusnya.” Hasan memulai perbincangan absurd siang ini. Seperti biasanya mereka akan menghabiskan jam makan siang di sebuah cafe yang letaknya tidak jauh dari kantor. “Katanya ganteng. Itu sih yang paling penting.” Ganteng adalah sebuah keharusan untuk Mila, tapi sayangnya penjual siomay depan gang aja bisa disebutnya ganteng padahal wajahnya hanya sebatas mamang-mamang biasa saja. Mila memang memiliki obses ganteng, sayangnya standar yang dimilikinya jelas di bawah rata-rata. “Ganteng kalau horor percuma!” Serang Tanto. “Mana ada ganteng horor.” Sangkal Mila. “Yang namanya ganteng, ya enak di lihat dan enak di jadikan fantasi seksual si Nadia.” Nadia langsung menoleh saat namanya disebut. Sejak tadi ia memilih diam, meratapi keputusannya yang dibuat secara tidak sengaja tadi. “Ngapain bawa-bawa gue sih?!” Keluhnya. “Gue lagi anteng gini,” Mila terkekeh “Tumben lo nggak mau nimbrung, Nad. Biasanya kalau bahas lelaki ganteng lo langsung nyamber kayak petasan.” Sindir Mila. “Si Nad masih terkejut,” Sambat Hasan. “Cewek baik seperti dia patut kita apresiasi,” Senyum jahil Hasan benar-benar membuat Nadia ingin menyumpalnya dengan saus sambal yang ada di hadapannya. “Kurang gila apa coba si Nad ini, di putusin, di tinggal kawin eh gantiin kerjaan sang mantan. Luar biasa sekali bukan? Kalau ada satu lagi jenis wanita kayak dia, gue bakal maju paling depan buat daftar jadi calon suaminya.” Sindir Hasan. Tatapan Nadia bukan lagi tatapan maut, tapi tatapan malaikat pencatat dosa yang siap mencangkul wajah Hasan. “Gue unlimited, San!” Balasnya. “Gue nggak keberatan gantiin kerjaan si mantan sama bini nya, gue justru bangga dengan begitu gue bakal tunjukin ke mereka, bahwa gue jauh lebih baik!” Tegasnya. “Kalau lo mau nunjukin jadi yang terbaik, buktiin dong kalau lo nggak gagal move on! Setidaknya lo harus udah punya pacar baru yang levelnya jauh diatas Nendra.” “Gampang! Itu perkara kecil, gue akan tunjukan ke dia dan juga kalian,” Nadia menunjuk temannya satu persatu. “Gue pasti akan mendapatkan lelaki yang jauh lebih baik dari si Nendra.” Ketiganya bersiul dan bertepuk tangan “Wih, mari kita buktikan seberapa move on teman kita ini.” Nadia mengibas rambutnya memandang ke arah temannya dengan tatapan jumawa. “Lo semua bakal terkagum-kagum sama cowok baru gue nanti.” Ketiga temannya itu kian bersiul dan bertepuk tangan, layaknya seorang anak kecil yang baru saja mendapatkan undian. Di tengah kegaduhan yang terjadi, Nadia sebenarnya tengah mengumpat dirinya sendiri, bagaimana mungkin dia bisa sebaik itu pada dua penjahat yang sudah menghancurkan mimpinya. Mimpi yang dibangunnya dengan penuh kematangan dan perjuangan, tapi justru berakhir dengan sebuah perjodohan laknat. Nadia sangat dirugikan dalam banyak hal, dari mulai materi, dan tentu saja patah hati. Kerugian dalam bentuk materi dan sakit hati memang sama besarnya, terkadang ketiga teman sialannya itu masih saja mengungkitnya hingga Nadia benar-benar merasa seperti wanita paling bodoh di dunia ini. Tapi kenyataannya memang seperti itu. Nadia si wanita bodoh, ia pun mengakuinya. “Nad, coba tengok searah jam sembilan, lo bakal lihat keindahan dunia.” Ucap Mila. Nadia awalnya tidak tertarik, tapi Mila terus meyakinkannya. “Ganteng versi lo nggak bakal jauh-jauh dari si mamang somay gang depan.” Cibir Nadia. “Asli, Nad. Gue nggak bohong, cakep banget asli!” Mila kembali meyakinkan. “Ganteng, tapi kaya boti.” Balas Hasan yang diam-diam ikut memperhatikan. “Boti? Kayak lo bukan aja!” Balas Nadia yang membuat kedua wanita itu tertawa. “Asli, Nad guanteng poll!” Nadia menoleh ke arah Tanto, seolah minta pendapatnya. “Ganteng, tapi bener kata Hasan. Boti.” Nadia mengerlingkan kedua matanya. “Lelaki kalau ketemu cowok lebih keren senjata andalannya pasti ngatain boti.” Cibirnya, lantas Nadia pun menoleh dan melihat ke arah lelaki yang dimaksud. Disana ada tiga lelaki, ketiganya memakai pakaian rapi khas eksekutif muda. Penampilannya oke, tampang pun oke lah. Kali ini Nadia patut mengapresiasi penilaian Mila. “Ganteng, kan?” Nadi menganggukkan kepalanya. “Iya. Tumben lo!” Balasnya. “Mata gue emang jeli, Nad. Apalagi lihat barang bagus kayak gitu.” “Tapi nggak menutup kemungkinan mereka memang boti.” “Dari ketiganya mana yang menurut lo pasangn boti?” Tanya Hasan. Nadia kembali menoleh untuk memperhatikan. “Kayaknya yang pakai kemeja biru tua dan ijo mint deh. Mereka kelihatan akrab banget udah gitu si ijo lebih ke cantik nggak sih. Kulitnya putih banget.” “Wah, analisis lo keren, Nad.” Balas Tanto. Saat Nadia kembali menoleh kebetulan di hijau dan si biru terlihat lebih dekat, keduanya seperti tengah berisik satu sama lain dan setelahnya mereka tersenyum. “Tuh lihat, boti.” Tunjuk Nadia dengan dagunya. “Yah,, kenapa sih lelaki ganteng harus suka batang!” keluhan Mila. “Makanya jangan cari yang bening-bening bisa aja barangnya gak idup, udah jenis kayak kita ini aja. Udah ketahuan kami sehat lahir batin!” Hasan membanggakan diri. “Lo emang sehat tapi gue nggak nafsu sama lo, San!” Balas Nadia yang menimbulkan gelak tawa. “Lo belom coba, Nad. Sekali coba di jamin lo bakal. Ketagihan.” Hasan tidak mau kalah. “Bukan ketagihan tapi gue bisa trauma!” Saling sindir dan menjatuhkan sudah menjadi hal lumrah untuk mereka, hanya saja tidak semua orang memandang baik persahabatan mereka, tidak jarang orang-orang justru menang mereka sebagai kumpulan orang aneh. Begitu juga yang dirasakan Arik dan kedua temannya saat tidak sengaja kembali bertemu Nadia di tempat yang sama. “Dunia sempit banget ya, kita ketemu lagi cewek itu!” Tunjuk Dimas dengan dagunya. “Cewek yang waktu itu nggak mau diputusin pacarnya.” Balas Abi. “Dia salah satu karyawan gue,” Arik menimpali. “Asli? Cewek nggak punya malu itu karyawan di kantor lo?” Arik menggumam, mengiyakan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN