12. menyesal

1346 Kata
“Aku punya kejutan untukmu, lebih tepatnya untuk kita.” Nadia tersenyum, menghampiri Nendra. “Apa?” Lelaki itu menoleh, membalas senyum manis kekasihnya. “Ini,” Nadia memberikan sebuah kotak berukuran sedang pada lelaki itu. “Bukan kejutan sih tapi lebih tepatnya investasi untuk kita nanti.” Nadia memberikan kotak tersebut pada Nendra. “Apa?” “Buka aja sendiri.” Dengan senyum penuh harapan, Nadia menunggu kekasihnya membuka kotak pemberiannya. “Mobil?” Kedua bola mata Nendra berbinar. “Iya.” “Tapi, Nad. Aku nggak butuh ini, masih ada motor yang bisa kita gunakan bersama, meski kamu sering kepanasan dan kehujanan.” “Kita butuh ini, untuk masa depan kita.” Nendra memeluk Nadia. “Gimana ceritanya kamu bisa beli ini?” Nendra penasaran. “Nggak beli,” Nadia menggelengkan kepalanya. “Aku menukarnya dengan motor matik milikku, selebihnya ada uang tabungan dan aku akan mencicilnya setiap bulan.” “Kamu pasti berat menanggungnya.” Tatapan lelaki itu penuh kekhawatiran. “Nggak apa-apa, setidaknya kita sudah punya investasi untuk masa depan kita.” “Kenapa kamu melakukan ini, Nad?” “Karena aku sayang kamu.” “Aku juga.” Nendra mencium lembut bibir Nadia. Percakapan penuh cinta yang pernah mereka lewati dulu. Memori indah itu terhapus seketika dan hancur menjadi keping-keping duri yang menusuk dan mengoyak hati Nadia. Tidak cukupkah hari ini sial untuknya? Setelah banyak insiden yang menguji kesabarannya kini Nadia pun kembali dihadapan dengan kenyataan lelaki itu masih memakai mobil itu. Mobil yang sampai saat ini masih digunakannya tanpa rasa bersalah sedikitpun. Senyum mengembang di wajah lelaki itu jelas menunjukkan bahwa ia tidak memiliki sedikit saja rasa bersalah pada Nadia. Langkah Nadia semakin cepat, tatkala matanya menangkap sosok lelaki yang belum ditemuinya lagi setelah hari pernikahannya. Emosi kian membakar tubuhnya, membuat Nadia tidak sanggup bersabar hingga akhirnya ia memutuskan untuk berjalan lebih cepat usai membuka heelsnya. Tidak hanya satu, tapi Nadia pun melepas kedua heelsnya. Jarak kian menipis sampai akhirnya Nadia pun memukul mobil tersebut dengan membabi-buta. “Lelaki tidak tahu diri! Dasar kamu mata keranjang! Penghianat! Umpan api neraka!” Umpat Nadia, sambil terus memukul mobil milik Nendra dengan heelsnya. Pukulan keras itu menghantam mobil berulang kali hingga menimbulkan suara keras. Tidak hanya itu, beberapa bagian mobil pun terlihat penyok. “Kamu memang pantas hidup di neraka! Atau di makan beruang!” Nendra menatap dengan tatapan terkejut, “Nad,” Nendra mendekat. “Apa yang kamu lakukan?” “Menghancurkan mobilku!” Jawabnya sambil terus memukul mobil tersebut dengan penuh emosi. Tidak hanya merusak bagian samping, tapi Nadia juga menaiki bagian depan mobil dengan posisi dirinya menaiki kap mobil, ia memukul-mukul kaca mobil hingga kaca tersebut pecah dengan ujung heelsnya. Kaca pecah,dimana Nadia melihat sosok wanita yang begitu ketakutan menjerit dari dalam mobil. Rupanya di dalam mobil masih ada seseorang. Mengenal siapa yang berada di dalam sana, Nadia pun semakin brutal memukul kaca mobil hingga membuat si wanita di dalam sangat berteriak ketakutan. “Nadia, berhenti!” Nendra menarik tubuh Nadia dengan kasar. “Kamu bisa melukai istri dan juga anakku!” Teriaknya. “Apa kamu gila?!” “Anak? Kalian punya anak?!” Sorot mata tajam tertuju pada Nendra. “Kamu bisa mencelakainya!” Nendra menepis tangan Nadia mendorong wanita itu hingga ia terjatuh ke lantai. “Anak istriku dalam bahaya karenamu!” Sentaknya, dimana Nendra langsung membuka pintu mobil dan membawa Sinta keluar. “Sayang, kamu nggak apa-apa?” Nendra terlihat khawatir. “Sayang.” Lelaki itu mengelus perut Sinta yang terlihat membesar. Dengan besar perut Sinta saat ini bisa dipastikan wanita itu hamil lebih dari usia lima bulan. Perutnya sudah terlihat sangat besar. “Dia hamil? Anakmu?” Nadia kembali bangkit, “Kalian memiliki anak?” Rasanya kembali seperti disiram air garam di atas lukanya yang belum juga kering. “Kalian melakukannya sebelum menikah? Jauh-jauh hari sebelum menikah? Saat kita berpacaran?” Jika tadi emosi begitu menguasai hatinya, kini rasa sakit pun ikut menghampiri. “Kalian berselingkuh, bukan dijodohkan?” “Aku minta maaf untuk semua kesalahan yang telah aku dan Sinta lakukan di belakangmu, tapi aku tidak akan memaafkanmu jika terjadi sesuatu pada anakku.” Tegas Nendra. “Dan untuk mobil.” Nendra melempar kunci mobil tepat di hadapan Nadian. “Ambil!” Ucapnya dengan kasar “Aku tidak butuh mobil rusak seperti itu!” Nendra mengusap punggung Sinta. “Sayang, ayo.” Ajaknya, meninggalkan Nadia yang tengah menangis. Melihat bagaimana Nendra merangkul pinggang Sinta dengan lembut dan penuh kasih sayang, bahkan tatapan lelaki itu pun terlihat begitu khawatir membuat hati Nadia seperti di tusuk pisau ratusan kali. “Nendra! Aku benci kalian!” Teriak Nadia, diiringi tangis. Kekecewaan dan sakit yang dirasakannya tidak mampu menghilangkan rasa malu dimana kejadian hari ini kembali jadi bahan tontonan orang banyak, termasuk Arik. Nadia menangis menumpahkan segala kekesalan dan kesedihan yang dirasakannya. Memukul-mukul bagian d**a dimana sesak dan sakit itu bersumber. “Nadia,” panggil Arik. Lelaki itu memberanikan diri menghampirinya. “Pak Arik pulang aja.” Balas Nadia, dengan tangan mengusap lelehan air mata yang tidak kunjung berhenti. “Hidup saya benar-benar kacau hari ini, mending Pak Arik pulang aja. Nanti ketularan sialnya.” Sebisa mungkin Nadia menghentikan tangisnya, mengumpulkan sisa tenaga yang akan digunakannya untuk melangkah meninggalkan tempat itu. “Ikut saya.” Ajak Arik. “Pergi, Pak. Saya nggak punya tenaga lagi kalau Bapak mau ngajak berantem.” Nadia menepis tangan Arik. “Siapa yang mau ngajak kamu berantem. Saya mau nolong kamu.” Arik kembali menarik tangannya. “Tangan kamu terluka,” tunjuk Arik pada telapak tangan. “Sepatu saya juga rusak.” Balas Nadia. “Ayo, ikut saya. Mobil kamu biar orang sini yang urus.” Arik menghampiri beberapa petugas yang sepertinya sudah mengenalnya dengan baik. Lelaki itu menitipkan mobil Nadia yang sudah tidak berbentuk itu, dengan penyok dan kaca pecah di mana-mana. Nadia menatap kedua tangannya saat ia sudah berada di dalam mobil. Luka sayatan kaca dan terkena aspal akibat dorongan Nendra terlihat jelas, tapi anehnya Nadia tidak merasakan sakit sedikitpun. Tubuhnya tidak mati rasa, tapi rasa sakit hati yang dirasakannya jauh lebih sakit dibandingkan luka di lengannya. Nadia mengambil tisu banyak-banyak untuk mengusap lelehan darah yang tanpa sengaja mengenai jok mobil Arik. “Jangan potong gaji saya, Pak. Saya akan membersihkan semuanya, tanpa meninggalkan bekas sedikitpun.” Nadia kembali mengambil tisu dengan jumlah yang lebih banyak. Mengusap apapun yang bisa menimbulkan kekacauan di dalam mobil Arik. Lelaki itu pernah mengatakan, ia tidak pernah mengizinkan seseorang masuk kedalam mobilnya. Atau mungkin lebih tepatnya orang asing, seperti dirinya. Nadia tahu diri, ia pun mengusap tetesan darah yang keluar tidak hanya dari tangan tapi juga kakinya. “Kamu memang harus bertanggung jawab untuk semua kekacauan ini.” “Saya akan bertanggung jawab, Pak. Asal jangan potong gaji, tanggungan saya banyak.” Keluh Nadia. “Cicilan mobil, belum lagi biaya servisnya. Pasti mahal. Kalau harus benerin mobil Pak Arik yang mahal ini juga, saya nggak sanggup, Pak.” Keluhnya lagi. Sesekali Arik menoleh ke arah Nadia, dimana sembab dan kesedihan masih terlihat jelas di wajahnya. Lelaki itu mungkin menjadi sumber kesedihan Nadia, tapi Arik pun ikut menambah kekesalan yang dirasakannya. Tiba-tiba saja sesal muncul dalam hatinya. “Sudah dibersihkan, tinggal dikasih pewangi aja biar nggak bau amis.” Nadia mengumpulkan tisu kotor di tangannya. “Jangan marah gitu dong, pak.” Lanjutnya dengan nada jahil. “Jangan banyak bicara, sekarang turun dan obati luka kamu!” Mobil Arik berhenti di depan sebuah klinik umum, Arik memaksa Nadia turun untuk mengobati lukanya. “Tolong obati Cegil ini!” Ucap Arik pada seorang perawat. Seharusnya Arik bersikap acuh saja dan tidak perlu menolong Nadia sampai sejauh ini. Tapi melihat bagaimana wanita itu terluka, Arik merasa seperti kembali diingatkan pada kejadian beberapa waktu lalu saat ia mengalami hal yang sama. Kejadiannya memang tidak sama persis tapi kekecewaan yang dirasakan Nadia jelas sama dengan yang dialaminya dulu. Saat melihat tatapan terluka Nadia, Arik merasa seperti bercermin. Lukanya yang sama dengan sakit yang sama juga. Wanita yang sangat ingin dihindarinya, bahkan tidak masuk dalam kriteria wanita idamannya akhir-akhir ini justru meresahkan. Ia kerap mengganggunya, dengan hal-hal aneh yang sulit dimengerti.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN