13. Berdebat

1173 Kata
“Dimana tempat tinggalmu?” Tanya Arik, usai Nadia mendapatkan perawatan. Beruntung tidak ada luka serius yang dialami wanita itu, hanya luka lecet dan beberapa bagian harus di perban. “Saya nggak kasih tahu alamat rumah sembarangan,” balas Nadia. “Takutnya nanti disalah,” Nadia tidak melanjutkan ucapannya saat mendapati Arik menatap tajam ke arahnya. “Oke, gini aja.” Nadia menoleh ke arah Arik. “Karena Pak Arik hari ini sudah sangat berbaik hati, saya ucapkan banyak-banyak terima kasih. Saya bisa pulang sendiri, saya cuman lecet-lecet bukan patah tulang.” “Terserah kamu! Saya cuman menawarkan tumpangan aja.” Nadia bicara Arik ketus. “Terima kasih banyak untuk semuanya, Pak. Saya pamit pulang,” dengan kondisi seperti itu tidak mungkin Nadia kembali ke kantor, lagipula waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore yang artinya jam pulang kantor akan segera berakhir. Untuk kesekian kalinya Arik menatap kepergian wanita itu dimana ia merasakan keengganan yang tiba-tiba muncul dalam hatinya. Bukan hanya itu, penolakan wanita itu pun meninggalkan kekesalan yang tidak bisa Arik jelaskan. Yang pasti ia benar-benar kesal saat ini untuk alasan yang tidak bisa dimengerti akal sehat. Seharusnya Arik mengabaikan wanita itu, tugas menolongnya sudah selesai bahkan Arik membayar semua pengobatannya tanpa meminta imbalan apapun. Yang dilakukannya atas dasar kemanusiaan, dimana ia melihat seseorang terluka dan sudah kewajibannya untuk menolong tapi realita sulit diajak kerja sama. Sekeras apapun ia menolak untuk tidak memanggil wanita itu lagi, nyatanya Arik justru mengikutinya dengan langkah cepat. Menahan satu tangannya dan menarik wanita itu tanpa menunggu persetujuan darinya. “Saya antar pulang,” tegasnya, seolah tidak ingin mendengar bantahan apalagi penolakan Nadia untuk yang kedua kalinya. Ia sudah menurunkan sedikit egonya, jika respon Nadia tetap seperti biasanya, Arik akan memastikan menjauhi wanita itu. Sejauh-jauhnya. “Bapak pemakaa ternyata,” ucap Nadia setelah ia kembali berada di dalam mobil. “Saya nggak suka penolakan.” Balas Arik. “Itu tandanya Pak Arik egois.” Lelaki itu menoleh dengan tatapan tajam, “Bercanda, Pak. Serius amat sih!” Nadia memasang senyum di wajahnya. “Marah-marah Mulu nanti cepat tua.” Arik tidak menjawab, ia memalingkan wajah dan memfokuskan pandangan lurus ke depan. Selama perjalanan Nadia memilih diam, ia tahu lelaki di sampingnya itu sedang dalam kondisi tidak bisa diajak bercanda. Salah sedikit, Nadia akan kembali mendapatkan tatapan tajam. “Kontrakan saja ada di depan sana, Pak. Mobil seperti ini nggak bisa masuk gang, nanti lecet. Lebih baik saya turun di sana,” Tunjuk Nadia mengarah pada belokan dimana tempat tinggalnya berada. “Kontrakan? Bukan rumah?” Arik cukup terkejut dengan fakta baru, bahwa wanita itu tidak tinggal di rumah seperti bayangannya melainkan di sebuah kontrakan yang mungkin saja luasnya tidak lebih besar dari kamar mandi miliknya. “Uang saya belum cukup atau mungkin nggak akan cukup untuk beli rumah. Harga sewa di Jakarta mahal, apalagi beli.” Jelas Nadia. Mobil Arik berhenti di depan sebuah ruko kosong, ia bisa leluasa menaruh mobil mewahnya di situ. “Terima kasih, Pak.” Ucap Nadia, sesaat sebelum ia turun dari dalam mobil itu. Tapi Nadia kembali dibuat terheran-heran, saat melihat Arik juga turun dari dalam mobilnya. “Pak Arik mau kemana? Nggak mungkin ikut saya ke kontrakan, kan?” Selidik Nadia. Berharap lelaki itu segera pergi dan tidak lagi merecoki harinya. Nadia ingin segera merebahkan tubuhnya, mengisi kembali tenaga yang sudah habis dan tersisa satu persen saja. “Saya haus, rumah kamu mana? Saya minta minum.” Kening Nadia mengerut menatap penuh curiga ke arah Arik. “Pak Arik bisa beli minuman disana.” Tunjuk Nadia ke arah sebuah warung yang lokasinya tidak jauh dari tempat mereka berada. “Kalau nggak ada uang, aku kasih.” Nadia mengeluarkan uang sepuluh ribu dari dalam tasnya. “Cukup untuk membeli sebotol air mineral dingin. Di warung sana murah, cuman lima ribu merek aqu,” “Saya nggak biasa jajan di warung, kotor dan gak higienis. Bisa juga barang yang mereka jual palsu.” Bibir Nadia kembali terbuka, hendak membalas ucapan lelaki itu. Tapi Arik sudah terlebih dulu mengangkat satu tangannya, “Sepertinya kamu punya hobi mendebat saya. Bukannya Terima kasih,” Cibirnya. “Saya udah bilang Terima kasih berulang kali, Pak. Bapak nggak dengar?” Kesal Nadia. “Nih, biar daya ucapkan sekali lagi.” “Terima kasih, Pak Arik!” Nadia sengaja mengucapkannya dengan suara lantang, lengkap dengan anggukan kepalanya sebagai bentuk rasa hormat. “Sudah dengar, kan?” Arik kian menatap kesal ke arah Nadia. “Bisa nggak sih setiap kali saya tanya jawaban kamu tuh jangan ngeselin?!” “Ngeselin? Emang saja ngapain, Pak? Perasaan dari tadi saya berusaha diem, bahkan nggak ngomong apapun selama di perjalanan. Saya tahu Pak Arik kesal karena harus ngurusin saya, waktu berharga Pak Arik kebuang sia-sia, kan? Saya minta maaf dan saya juga bilang Terima kasih dari tadi, tapi kayaknya Pak Arik punya pengendalian emosi yang nggak stabil deh. Bisa-bisanya marah nggak jelas kayak gitu!” Kesal Nadia. “Pak Arik boleh pulang, nggak harus tahu dimana rumah saya, kan?” Ya ampun, bisakah Arik membungkam mulut wanita itu agar tidak membantah dan menurut saja? “Saya juga capek, tunjukan dimana rumah kamu. Saya mau numpang istirahat. Apa di warung sana juga jual tempat untuk istirahat?” Nadia menatap bos nya itu dengan tatapan tidak percaya, lengkap dengan mulut terbuka. Hingga akhirnya dengan sangat terpaksa, Nadia pun mengizinkan Arik berkunjung ke rumahnya. “Kamu bilang mobil saya nggak bisa masuk, jalannya kecil dan sempit.” Protes Arik saat ia melewati jalan aspal yang cukup luas menuju rumah kontrakan yang ditempati Nadia. “Kamu juga bilang rumah kontrakan kamu nggak jauh dari tempat parkir mobil saya tadi.” Lanjutnya masih dengan nada kesal. “Pak Arik boleh kembali lagi kalau mau, masih belum terlambat.” Balas Nadia. “Saya nggak akan balik lagi, apalagi sudah melangkah sejauh ini.” Balasnya. “Yudah nggak usah ngeluh.” Nadia sengaja mengatakannya dengan suara pelan, tapi ia begitu yakin Arik mendengarnya. Akhirnya mereka berdua sampai di sebuah rumah yang letaknya cukup jauh dari jalan raya. Buka rumah kontrakan seperti yang ada dalam bayangan Arik sebelumnya, tapi rumah yang ditempati Nadia seperti rumah pada umumnya yang memiliki dua lantai. Dari arah samping terdapat tangga yang menghubungkan jalan dengan lantai dua secara langsung. “Saya tinggal di lantai dua.” Tunjuk Nadia ke arah rumah loteng yang ditempatinya selama beberapa tahun terakhir. “Capek banget.” Arik berjalan terlebih dahulu, meninggalkan Nadia yang justru tertatih karena sakit yang dirasakannya dibagian kaki. “Rumah kamu nyaman.” Ucap Arik saat ia Sampai di lantai dua. Tapi hanya sampai kedua kaki Nadia menginjak lantai dua saja, sebab setelahnya Arik justru kembali turun. “Saya mau pulang,” Ucapnya, kembali menuruni anak tangga. “Besok tetap masuk kerja, jangan sampai libur. Jika ingin bonusmu cair.” Ucapnya tanpa menoleh. Hanya suara decak kesal yang terdengar, Arik pun tidak berniat menoleh ke arah Nadia hingga akhirnya ia tidak lagi melihat bayangan Nadia di tanah yang artinya wanita itu sudah masuk ke dalam rumahnya. Arik menoleh, untuk beberapa saat ia kembali dibuat bingung dengan kelakuannya sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN