“Nad, Ibu butuh uang.”
Sebuah pesan singkat yang mampu membuat senyum Nadia hilang seketika.
“Nadia belum punya uang, Bu.” Balas Nadia, setelahnya Nadia pun memasukkan ponse kedalam tas untuk menghindari pesan lanjutan atau yang lebih parahnya lagi panggilan suara. Nadia memang sangat menghindari keluarganya, akan lebih baik tidak bertukar kabar atau saling sapa daripada kejadian tadi terus berulang-ulang tanpa bisa Nadia tolak.
Sebagai seorang wanita dewasa, tentu saja Nadia tahu tugasnya sebagai seorang anak. Saat ibunya dalam kondisi kesulitan, seharusnya Nadia bisa membantu. Gajinya memang tidak besar, tapi sangat cukup untuk membiayai hidupnya sendiri dan mungkin masih ada sedikit sisa uang untuk diberikannya pada Ibu. Tapi sayangnya, daripada harus memberikan uang tersebut pada Ibu, Nadia pasti akan lebih memilih menghabiskannya di kedai kopi, membeli banyak minuman berkafein itu hingga lambungnya terluka daripada harus memberikannya pada Ibu.
Kenapa Nadia bersikap demikian?
Tentu saja bukan tanpa alasan.
Kekecewaan dan sakit hati yang dirasakannya dulu, masih menetap permanen di hatinya. Berulang kali sang ibu meminta maaf padanya, tapi kecewa itu nyatanya masih tetap ada.
Satu Minggu berlalu, Nadia sudah kembali beraktivitas seperti biasanya. Luka di beberapa bagian tubuh khususnya bagian tangan sudah mulai mengering bahkan Nadia tidak lagi mengalami kesulitan saat bekerja.
Dari jarak cukup Jauh, Nadia menatap ke arah Arik berada. Lelaki itu kembali bersikap menyebalkan seperti biasanya. Kebaikan yang diberikannya tempo hari tameng untuk menutupi sifat aslinya. Nadia sempat berharap lelaki itu mulai merubah sikapnya, meskipun hanya sedikit nyatanya Nadia terlalu tinggi berekspektasi, Arik tetaplah Bos yang kerap menguji kesabarannya.
“Itu Nadia,” ucap Arik, sambil menunjuk ke arah Nadia. Rupanya Arik tidak sendiri tapi ada seseorang yang tengah berdiri di sampingnya.
Langkah Nadia kian dekat, ia pun mulai mengenali sosok lelaki paruh baya di samping Arik.
“Bapak taksi,” panggil Nadia, saat ia mengenali sosok itu.
Lelaki paruh baya itu pun langsung menghampiri Nadia dengan raut bahagia seolah menemukan harta Karun yang selama ini dicarinya.
“Bapak ngapain disini?” Nadia menggerakkan tangan agar lelaki itu mengerti maksud ucapannya. Nadia memang tidak fasih menggunakan bahasa isyarat, yang dilakukannya hanya sebatas upaya agar komunikasi keduanya sedikit lebih baik.
Lelaki itu menunjuk sebuah tas jinjing yang sangat dikenali Nadia, dimana beberapa waktu lalu ia memang sempat kehilangan benda itu dan sebagai imbalannya Nadia mendapatkan teguran keras dari Arik.
“Jadi benda ini tertinggal di mobil Bapak?” Tanya Nadia. Lelaki paruh baya itu langsung menganggukkan kepalanya.
“Bapak datang mau antara ini?” tanya Nadia lagi, dan lelaki paruh baya itu kembali menganggukkan kepalanya.
“Terima kasih banyak, Pak.” Nadia pun terlihat senang. Bukan karena benda itu kembali padanya tapi karena ia tidak perlu lagi menyalin pekerjaan yang sama. Nadia bisa menghemat sedikit tenaganya.
“Terima kasih banyak, Pak. Ya ampun, baik banget.”
Lelaki paruh baya itu juga menggerakkan bibirnya dengan perlahan. “Kamu juga baik,” begitu kira-kira arti dari ucapan Bapak taksi.
Usai memberikan barang milik Nadia yang tertinggal di dalam mobilnya lelaki itu pun lantas pergi meninggalkan Nadia. Rupanya dari banyak rentetan kesialan yang dirasakannya, Nadia masih ada orang baik yang menolong, contohnya bapak tua tadi.
“Pak, semua dokumennya sudah kembali, jadi saya tidak perlu menyalinnya lagi, kan?” tanya Nadia.
“Saya cek dulu, nanti saya putuskan.” Jawab Arik singkat. Seharusnya lelaki itu tidak perlu mengeceknya lagi, sebab dokumen tersebut sudah disetujui klien. Tapi Bos nya itu memang sudah disetel untuk mempersulit hidupnya.
“Nad, Lo dicariin bapak-bapak tua. Siapa? Nggak mungkin kan, g***n?” Selidik Hasan.
“g***n nggak gitu tampilannya, lelaki itu terlihat seperti sosok ayah dibanding gadun.” Lanjutnya. Nadia hanya menoleh singkat,.”Orang baik yang nolong gue.” Balasnya, lantas Nadia pun kembali fokus pada layar laptop di hadapannya.
“Berkat dia, gue mulai percaya lagi masih ada orang baik di dunia ini.” Nadia menoleh ke arah Hasan, dimana Mila dan Tanto pun ada di tempat yang sama. “Padahal sebelumnya gue udah nggak percaya orang baik itu masih ada,” Nadia menatap sinis ke arah Mila.
Sementara wanita itu berusaha untuk bersikap biasa saja, menghindari tatapan Nadia yang begitu mengintimidasi. Nadia pendedam, salah satu sifat yang dimilikinya dan siapapun tahu itu, Mila salah memilih tema.bercanda dimana Nadia langsung tersinggung dan hubungan mereka menjauh meskipun Mila sudah mengutarakan penyesalan.
“Orang baik memang masih ada, Nad. Hanya saja stoknya mulai menipis.”
“Iya, dan di kantor ini nggak ada tuh orang yang benar-benar baik.”
“Termasuk gue, Nad?” Tanya Hasan.
“Nggak tahu, kecuali kalau Lo merasa.” Balas Nadia.
Tentang pertemanan yang dimiliki Nadia saat ini tidak hanya ada di lingkungan kantor, tapi juga di lingkungan luar
Salah satunya Sofia, teman lama yang masih berhubungan baik dengannya.
Hasan dan Nadia bertugas untuk menemui klien, untuk membicarakan konsep iklan sebelum terjadi kesepakatan kerja sama yang hanya bisa dilakukan oleh Arik.
Kali ini lelaki itu tidak ikut dalam rombongan Nadia, ada urusan mendadak yang membuat lelaki itu absen hadir.
Hasan dan Nadia memutuskan untuk mampir ke restoran milik Sofi, kebetulan lokasi pertemuan dan restoran wanita bersebelahan.
“Tumben kesini nggak bilang dulu,” Sofi datang membawa nampan berisi dua minuman dingin dan satu piring kentang goreng. Nadia sengaja tidak memesan makanan berat, sebab saat meeting nanti selalu tersedia banyak makanan.
“Ketemu klien, dadakan.” Balas Nadia.
“Oh, pantesan. Nggak pesan makanan berat?” Tanya Sofi.
“Nggak, takut kekenyangan. Nanti pasti banyak makanan enak di sana.” Tunjuk Nadia ke arah gedung samping dimana ia dan klien akan bertemu.
Nadia dan Hasan hanya menunggu kurang dari sepuluh menit, bahkan minuman dan makanan yang dipesannya pun belum sempat habis tapi ponsel Nadia sudah terlebih dulu berdering.
Klien sudah menunggunya.
Saat Nadia dan Hasan memasuki area gedung, lebih tepat di bagian lobi utama, Nadia melihat sosok wanita yang begitu familiar.
“San, barang bening tuh!” Tunjuk Nadia ke arah wanita yang menjadi pusat perhatian itu. Sosoknya dikelilingi beberapa orang lelaki berbaju serba hitam, bisa dipastikan lelaki itu adalah bodyguard yang menjaganya. Memastikan wanita cantik itu aman dari serangan fans yang kerap menimbulkan kerusuhan.
“Isyana emang cantiknya nggak ngotak ya, unreal banget wajahnya.” Puji Hasan.
Sebagai seorang wanita, tentu saja Nadia pun mengakui kecantikan Isyana, salah satu model ternama ibu kota yang namanya kian bersinar dan popularitas nya menanjak tinggi. Setiap gerak-geriknya menjadi sorotan para pemburu berita. Apapun yang dikenakannya akan menjadi viral esok harinya. Oleh karena itu ia kerap mengenakan pakaian, sepatu, tas sampai aksesoris lainnya menggunakan brand terkenal. Dimana para wanita atau fans garis keras akan mengikuti gaya Isyana.
“Speak bidadari gitu, pasti pacarnya pengusaha tajir melintir tujuh turunan dan tujuh tanjakan.”
Nadia terkekeh. “Lo yang masih berstatus sebagai kuli nggak usah berkhayal, ketinggian!” Cibirnya.
“Gaji gue cuman cukup untuk membeli satu celana dalamnya doang, Nad. Gue tahu diri banget ko,” balas Hasan dengan senyum meringis.
“Selusin aja nggak cukup ya?”
“Hooh.” Tawa Nadia menggema.
Nadia dan Hasan akhirnya sampai di lokasi, dimana Tuan Nam sudah menunggunya.
“Pak Arik mana?” Tanya Tuan Nam.
“Pak Arik berhalangan hadir, beliau mewakilkan kami.” Balas Hasan.
“Baiklah. Tapi diskusi kali ini tidak hanya melibatkan dua perusahaan saja tapi juga bintang utamanya.” Tuan Nam tersenyum saat pintu ruangan itu kembali terbuka. Nadia dan Hasan ikut menatap ke arah pintu dimana beberapa orang lelaki berpakaian hitam muncul diiringi seorang wanita cantik.
“Isyana,” ucap Nadia dan Hasan secara bersama.
“Benar, dia yang akan menjadi bintang utama untuk produk kecantikan sekaligus iklan yang akan kita garap nanti. Proyek besar karena Isyana tidak pernah gagal mempromosikan sesuatu.”
Kehadiran Isyana disambut hangat oleh Tuan Nam. Respon wanita itu pun sangat ramah dan baik, sungguh diluar dugaan Nadia dan Hasan. Dimana banyak artis ibukota yang memiliki sifat sombong dan enggan berkenalan dengan orang yang dianggap tidak penting olehnya. Tapi Isyana berbeda, wanita itu bahkan menyapa Nadia dan Hasan dengan ramah.
“Arik mana?” Tanya Isyana setelah beberapa saat ia tidak melihat sosok yang sejak tadi ditunggunya.
“Pak Arik berhalangan datang,”
Raut wajah Isyana terlihat kecewa. “Kembali menghindar,” gumamnya pelan, tapi Nadia masih bisa mendengarnya dengan jelas.