Profesional, satu kata yang bisa Nadia definisi untuk Isyana. Wanita itu beberapa kali memperhatikan ponselnya, seperti tengah menunggu sesuatu. Bahkan saat Nadia dan Hasan menjelaskan konsep iklan secara bergantian, Isyana tampak kebingungan. Bukan karena wanita itu tidak mengerti, tapi karena ia tidak memperhatikan.
Fokusnya tidak berada di ruangan itu. Entah dimana, Nadia pun tidak tahu. Tapi Isyana bisa berkoordinasi dengan baik, beberapa kali wanita cantik itu mengutarakan saran dari sudut pandangnya.
Nadia merasa meeting kali ini berjalan dengan sangat baik, setiap orang mengemukakan pendapatnya masing-masing hingga terciptalah sebuah konsep iklan yang menurutnya sangat luar biasa. Nadia yakin, kerjasama kali ini akan kembali berjalan lancar, sukses dan tentu saja menghasilkan pundi-pundi rupiah yang sangat banyak untuk kedua belah pihak. Jika hal tersebut sudah terjadi, bisa dipastikan Nadia pun akan mendapat bagiannya, dalam artian wanita itu akan menerima bonus seperti yang sudah dijanjikan Arik.
“Gue ke kantor dulu, Lo mau langsung pulang atau gimana?” Waktu menunjukkan pukul empat, jam kantor sudah habis. Nadia tidak mempunyai alasan untuk kembali ke kantor.
“Nggak, gue mau ke restoran Sofi. Lo mau ke kantor?” Tanya Nadia.
“Iya. Barang gue ketinggalan disana.”
“Gue kira barang Lo nempel aja di s**********n,” Nadia menatap jahil.
“Barang gue yang ini emang nempel Nad, setia sehidup semati sama gue.” Balas Hasan.
“Ya udah balik aja ke kantor, gue mau nongkrong cantik dulu.”
Hasan menganggukkan kepalanya, lantas pergi meninggalkan Nadia.
“Teman Lo mana?” tanya Sofi, saat menghampiri Nadia yang sudah terlebih dulu duduk di salah satu meja di cafe tersebut.
“Balik ke kantor,” balas Nadia. “Kenapa? Lo naksir dia?” Selidiknya. “Jangan deh, dia penjahat kelamin.”
Sofi terkekeh. “Lo tahu dari mana itu laki-laki penjahat kelamin?”
“Dia itu temen gue di kantor, Sof. Delapan jam lebih gue ngabisin waktu bareng dia, jadi gue hafal lah. Koreng di badannya aja gue tahu persis letaknya dimana, kecuali di bagian anunya.”
Tawa Sofi kian menggema. “Dasar Lo!”
“Tangan Lo kenapa? Jangan bilang Lo habis mukulin cowok.” selidik Sofi saat melihat bekas luka di tangan Nadia. Lukanya memang sudah terlihat mengering, tapi bekasnya masih terlihat jelas.
“Mukulin cowok? Mana main.” Balas Nadia sambil menunjukkan beberapa luka lainnya. “Mukulin mobil dong!” lanjutnya dengan tatapan jumawa.
“Ya Tuhan, Nad. Serius?”
“Memangnya kapan gue pernah bercanda? Hidup gue sebercanda itu dari kecil, jadi ngapain gue masih harus bercanda.” Balasnya sambil menikmati roti bakar coklat.
“Mobil siapa yang Lo rusak? Terus gimana sekarang?”
“Untungnya mobil gue dan sekarang masih ada di gedung Cakra, di simpen disana belom gue apa-apain.” Nadia menghela. “Kira-kira berapa biaya untuk renovasi mobil ya? Kalau mahal lebih baik gue diemin aja tuh mobil disana sampe bulukkan”
“Tergantung seberapa rusak, sih! Lo punya asuransi kendaraan, kan?”
“Nggak tahu! Selama ini Nendra yang urus, malah gue nggak tahu apapun soal mobil itu kecuali bayarnya doang.”
“Gila ya, tiga tahun loh Nad Lo di porotin tuh lelaki mokondo.” Sofia berdecak kesal. “Gue udah sering kasih tau Lo, tapi nggak percaya.”
“Itu dulu, Sof. Anggap aja gue khilaf.” Penyesalan memang tidak akan merubah apapun yang sudah terjadi, oleh karena itu Nadia tidak ingin terus meratapinya. Lebih baik perlahan melupakannya dan memulai kembali kehidupan yang lebih baik. Meskipun sampai saat ini Nadia masih mengusahakan itu semua, karena ternyata lepas dari belenggu masa lalu dengan lilitan hutang tidaklah mudah.
“Untung aja cuman di porotin, gimana kalau sampai di plorotin celana dalam Lo, bisa hamidun!”
Banyak kerugian yang dirasakannya, selain dari waktu dan materi. Tapi satu hal yang patut Nadia syukuri sampai hari ini, yakni ia dan Nendra tidak pernah tidur bersama. Nadia masih bersegel. Bibinya boleh bocor dan otaknya mesumm tapi Nadia memastikan ia masih perawan ting-ting.
“Isyana cakep ya,” mata Nadia tertuju pada sosok wanita yang baru saja masuk ke cafe milik Sofi. Rupanya Isyana belum pergi dari tempat itu.
“Iya, ramah dan baik lagi.” Balas Sofi.
Keduanya membalas senyum ke arah Isyana yang juga tersenyum ke arah mereka.
“Pantes aja karirnya makin meroket aja, selain cantik ramah juga.” Balas Nadia. Diam-diam ia mengagumi sosok Isyana, sebagai seorang perempuan ia pun mengakui kecantikan yang dimiliki Isyana apalagi kaum laki-laki.
“Punya pacar belum sih?!” Tanya Nadia penasaran. Sampai detik ini memang belum ada rumor yang memberitakan siapa kekasih Isyana atau lelaki yang tengah dekat dengannya.
“Katanya sih dulu ada, tapi udah putus.”
Nadia menoleh dengan cepat. “Lo tau dari mana?”
“Dia sering mampir kesini, dan gue cukup dkeet dengan asisten pribadinya.”
“Wah,, Lo beruntung banget deket sama artis.”
“Bukan sama artinya, tapi asistennya. Beda, Nad.”
“Sama aja kalo, Sof.” Mata Nadia masih tertuju ke arah Isyana, “Kalau aja wajah gue secantik dia, mungkin nggak akan sulit dapat lelaki tajir melintir tujuh turunan dan gue nggak perlu lagi capek-capek kerja.” Keluhnya.
“Kita juga nggak pernah tahu apa yang dialami Isyana, yang gue denger sih dia pernah ninggalin cowok karena kontrak kerja. Pengorbanan dia juga nggak main-main, Nad. Dia rela ninggalin pacarnya hanya karena pekerjaan.”
Nadia tersenyum jahil. “Mungkin pacarnya kurang tajir.”
“Nggak lah! Yang gue denger pacarannya itu kaya raja, bukan cowok biasa-biasa.”
“Kalau cowoknya udah tajir tapi masih ditinggalin juga artinya ada kekurangannya, bisa aja kaya tapi jelek, atau kaya tapi barangnya nggak idup.”
“Sok tau Lo!”
“Bukan sok tau, tapi Lo harus waspada sama lelaki-lagi ganteng taunya nggak doyan apem.”
Tawa Sofi kembali menggema. “Lo dapat ilmu dari mana? Beberapa bulan nggak ketemu Lo banyak banget wawasan barunya.”
“Lo aja yang terlalu sibuk bikin kopi, sampai lupa cari Informasi penting.” Cibir Nadia.
“Gue tahu karena Bos di kantor gue juga guru, cakep tapi nggak doyan cewek. Mungkin doyan tapi untuk tameng aja, untuk menjaga nama baiknya aja.”
“Ya ampun! Beneran?”
Nadia menganggukkan kepalanya, “Asli. Gue nggak bohong. Tipikal cowok macho cakep tiada Tara tapi sayang aja nggak doyan cewek.”
“Sayang banget dong ya,”
“Hooh.”
“Lo juga harus hati-hati milih cowok,Nad. Jangan sampai salah pilih lagi kaya dulu. Baik dan romantis nggak jamin bakal setia, apalagi cowok yang masih belum kelar sama masa lalunya. Mending Lo jauh-jauh deh!”
Nadia menganggukkan kepalanya, “Sekarang sih gue fokus ke kerja dulu kali ya sambil tunggu cicilan mobil lunas. Berat banget ternyata punya cicilan ditambah biaya hidup yang semakin mahal.”
“Lagian siapa suruh ngutang, tau rasa kan sekarang.”
Nadia hanya menghela lemah, seperti yang sudah dikatakan sebelumnya kan, penyesalan tidak akan mengubah apapun.
Hampir tiga puluh menit lamanya, Nadia pun memutuskan untuk pulang.
Saat melewati meja yang ditempati Isyana, Nadia sempat menoleh dan kembali tersenyum pada wanita itu.
Selang lima belas menit setelah kepergian Nadia, seorang lelaki muncul dari balik pintu dimana raut wajah Isyana langsung berubah seketika. Senyum di wajahnya mengembang sempurna, dan beberapa lelaki bertubuh kekar langsung menutup pintu masuk, sementara satu petugas cafe lainnya membalikkan gantungan open menjadi close.
“Aku sudah menunggumu sejak tadi,” ucap Isyana saat lelaki yang ditunggunya duduk tepat di hadapannya.
“Aku nggak minta kamu nunggu, kamu bisa pergi kalau bosan.” Balasnya dengan nada datar.
“Aku tahu, kamu akan tetap datang.”
“Jangan terlalu percaya diri,” balasnya “jangan pernah menganggap aku lelaki yang sama.”
“Arik,” lirih Isyana, dengan tatapan sedih melihat lelaki yang dulu begitu mencintainya kini berubah.