16. Potong burung

1303 Kata
Arik mengabaikan panggilan Isyana, langkahnya terus melaju ke arah pintu keluar. “Arik, aku bilang berhenti!” Teriak Isyana, tapi seolah acuh dan tidak peduli pada wanita itu, Arik tetap meninggalkannya. “Buka!” Tegas Arik pada dua lelaki bertubuh tegap, yang menghalangi pintu keluar. “Buka atau saya pakai cara lain untuk membukanya?” Ancam Arik. Kedua lelaki itu tidak langsung membuka, menunggu perintah dari Isyana. “Aku belum selesai bicara.” Isyana masih berusaha mengejar lelaki itu, berharap ia mau mendengarkan penjelasannya. “Aku sibuk,” bala Arik. “Sebentar saja,” “Aku tidak punya waktu untuk hal-hal sepele seperti ini.” Arik menatap tajam ke arahnya. “Aku punya kesibukan lain dan aku juga punya banyak pekerjaan yang jauh lebih penting menyangkut masa depanku.” Isyana merasa tidak asing dengan kalimat itu. “Jadi, kamu balas dendam?” Selidiknya, setelah ia menyadari kalimat yang diucapkan Arik saat ini adalah kalimat yang pernah diucapkannya beberapa waktu lalu, saat menolak lamaran Arik. “Tidak, aku hanya membicarakan fakta.” “Kamu tidak mengerti posisiku waktu itu, Rik. Aku sudah terlanjur tanda tangan kontrak dan aku tidak mungkin membatalkannya.” Arik menganggukkan kepalanya, “Aku mengerti.” Senyum di wajah Isyana kembali mengembang. “Sekarang semuanya sudah berubah,.kita bisa kembali bersama seperti dulu lagi. Aku nggak akan minta kamu sembunyi-sembunyi lagi saat menemuiku, aku akan mengumumkan hubungan kita.” “Seperti yang baru saja kamu ucapkan, semuanya sudah berubah. Termasuk perasaanku untukmu.” Arik melepas tangan Isyana dari lengannya. “Bohong! Kamu masih mencintaiku, kan?” “Jangan terlalu percaya diri,” Arik tersenyum samar. “Aku bukan lelaki bodoh, yang hanya mencintai satu wanita dalam waktu yang sangat lama.” “Kamu sudah punya kekasih? Yakin mencintainya?” “Apa yang membuatku tidak yakin? Kami saling mencintai kalau kamu mau tahu dan kami akan segera menikah.” “Bohong!” Isyana menggelengkan kepalanya. “Kamu pasti berbohong.” “Buktikan saja nanti, saat kamu menerima undangan pernikahan dariku. Tidak akan lama lagi,” ucap Arik dengan penuh keyakinan. Sementara Isyana menatapnya dengan tatapan sedih. “Aku tidak punya waktu untuk hal-hal sepele seperti ini, jangan memintaku atau memaksaku datang lagi. Kekasihku pasti tidak akan menyukainya.” Arik mendorong dengan kuat pintu, hingga akhirnya terbuka. Ia lantas pergi mengabaikan panggilan Isyana yang terus memanggil namanya berulang kali. Hal serupa yang dilakukan wanita itu dulu, saat Arik begitu menginginkannya. Seperti kaca yang dilempar dari atap gedung berlantai empat puluh, jatuh berkeping-keping tanpa sisa, hancur seperti debu. Begitulah kondisi hatinya saat itu, saat Isyana menolak lamaran yang sudah disiapkannya dengan penuh kejutan romantis. Kandas dan berakhir menyakitkan, itulah yang dirasakan Arik setelah penolakan itu, dimana ia tidak lagi memiliki keinginan untuk menjalin hubungan dengan wanita manapun. Seolah enggan hatinya kembali terluka atau mungkin saja Arik masih menyimpan luka itu sampai saat ini hingga meninggalkan trauma yang begitu dalam. Apakah patah hati itu membuatnya berpaling menyukai sesama jenis? Tentu saja tidak. Ia masih sangat normal, tubuhnya masih bereaksi pada lawan lawan jenis hanya saja Arik tidak mau terlibat hubungan rumit yang berkemungkinan membuat hatinya kembali patah. Oleh karena itu, pemulihan patah hati yang dilakukannya yakni dengan bekerja keras setiap harinya. Pelarian yang membuahkan hasil dalam waktu kurang dari satu tahun dimana perusahan keluarga Dirgantara berhasil mendongkrak popularitas. Tidak hanya di kancah sesama pebisnis dalam negeri tapi juga luar negri. “Muka Lo kusut banget, kenapa?” Tanya Dimas, saat melihat Arik. “Lo butuh sesuatu yang menyegarkan otak dan hati Lo? Gue punya solusinya.” “Nggak!” Arik segera menolak. Tawaran Dimas tidak lain dan tidak bukan adalah wanita penghibur yang mungkin saja sudah pernah dicicipinya. “Gue nggak doyan cewek bekas Lo! Jijik!” Tegas Arik. Dimas tergelak. “Sulit, kalau nyarinya di tempat ini. Udah gue cobain semua.” balasnya dengan raut bangga, sementara Arik dan Abi hanya menatap jengah ke arahnya. “Jangan sekali-kali nawarin cewek bekas Lo. Nggak sudi gue!” tegas Arik. “Oke, oke. Kalau mau stok baru dan masih segel, Lo pacaran aja adiknya si Abi. Di jamin besoknya Lo tinggal nama, abis di cincang si Abi.” Arik hanya mendengus lantas kembali mengambil minuman berisi cairan bening dalam gelas kecil yang langsung diteguknya hingga habis. Alkohol memang paling mengerti kondisinya saat ini, dimana ia bisa melupakan sejenak rasa kecewa yang kembali hadir dalam ingatan. “Jangan kelamaan jomblo, Rik. Lo harus buktiin sama si Isyana, Lo udah move on!” Abi sangat mengerti bagaimana kondisi temannya itu, hanya Isyana yang bisa membuat seorang Arik Dirgantara patah hati. “Lo bisa terima perjodohan yang direncanakan keluarga Lo tempo hari, kalau soal cinta gue yakin akan tumbuh dengan sendirinya setelah kalian dekat apalagi punya anak.” Arik menghela. “Nggak bisa, gue nggak mau di jodohkan. Hidup bersama seseorang tanpa rasa cinta itu mengerikan.” Balasnya, sambil menyandarkan tubuh pada sandaran sofa. “Kelamaan jomblo juga mengerikan, Lo bisa dianggap penyuka sesama jenis.” Saat kalimat itu terlontar, tiba-tiba saja Arik teringat akan tuduhan Nadia padanya. Wanita itu menuduhnya menyukai sesama jenis hanya karena Arik terlihat dekat dengan kedua sahabatnya. “Udah ada yang nuduh gue kayak gitu,” balas Arik dengan senyum samar “Karyawan Lo itu?” Dimas ikut menimpali. “Iya. Dia dan Ibu gue, ibu Ina Sulastri.” “Dia cantik juga, cuman kelakuannya sedikit aneh dan nggak banget dijadikan pacar apalagi istri. Nggak ada anggun-anggunnya.” Arik hanya tersenyum samar. Nadia memang tidak seanggun Isyana. Nadia ibaratnya seperti petasan banting, sementara Isyana adalah wanita yang terkontrol dengan baik. Entah dari sikap ataupun tutur katanya. Mungkin karena isyana selalu dituntut sempurna hingga sudah menjadi kebiasaan, baik di depan layar kaca maupun di kehidupan nyata. Berbanding terbalik dengan Nadia yang selalu bersikap spontan dan sulit di tebak. Tapi keduanya tidak bisa disamakan, mereka memiliki kelebihan masing-masing. “Lo jangan sampai jatuh cinta sama wanita seperti itu, Rik. Ibu Ina akan sangat murka, dari level Isyana jatuh ke level Masha and the bear.” Dimas bergidik, sementara Arik hanya tertawa. Ibu Ina Sulastri adalah sosok wanita yang selalu merecoki hari Arik dengan pertanyaan yang sama. “Kapan punya pacar?” “Kapan bawain mamah menantu?” “Kamu masih suka wanita kan?” “Jangan-jangan kamu suka cowok? Kamu masih lelaki tulen, kan? Awas aja kalau kamu menyukai sesama jenis, Mamah potong burungmu sampai habis tidak tersisa!” Todongan bernada ancaman itu hampir setiap hari didengar oleh Arik. Bahkan setiap kali mereka bertemu, pertanyaan sama akan kembali terlontar. “Mamah kemarin ketemu seseorang.” Pembukaan di pagi hari yang damai. Tapi kedamaian itu sudah dirusak Ibu Ina, hingga nasi goreng kesukaannya pun terasa hambar. Arik menoleh ke arah Albert, ayahnya. Lelaki itu segera mengambil koran lama, berpura-pura tidak mendengar. Sial! Ayahnya itu tidak bisa diminta tolong saat Ibu Ina kembali menodongnya dengan pertanyaan yang sama. “Ketemu siapa, Mah?” Tanya Arik. Mengabaikan ucapan wanita itu hanya akan membuat ceramah Ibu Ina semakin panjang lebar. Tapi menanggapinya pun tidak kalah buruk. Arik benar-benar berada dalam situasi yang buruk. “Mantan kamu, si isyana.” Arik segera menoleh. “Kapan?” “Respon kamu cepet banget. Masih cinta?” Sindiran bernada sinis itu terdengar jelas. “Gagal move on! Ya Ampun!” Cibirnya lagi “Jangan-jangan mau balikan, haduh anak kamu gagal move on, Pah.” “Iya?” Albert hanya menjawab singkat. “Kayak nggak ada cewek lain aja balikan sama mantan.” “Siapa yang balikan, Mah. Aku dan Isyana udah putus dari lama.” “Iya, tapi di hati kamu masih ada dia kan? Ngaku aja?” Arik menghela. Jika istrinya satu tipe dengan Ibu Ina, bisa dipastikan nasibnya akan lebih buruk dari Papahnya. “Nggak, Mah.” “Nggak ada harga dirinya banget kalau sampai balikan.” Arik menghela diam-diam dalam hati merapalkan doa agar istrinya kelak tidak memiliki sifat seperti ibu Ina.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN