Sedih bukan karena ditinggalkan.
Tapi saat melihat pemberi luka adalah orang yang teramat kita sayangi.
Ami dan Fiona sama-sama berasal dari Semarang. Hanya bedanya Ami memiliki Om dan Tante di kota Jakarta ini. Tapi ketika Ami bekerja di sebuah perusahaan distributor yang bergerak di bidang penjualan permadani, Ami lebih memilih kost daripada numpang di rumah familynya.
Tidak bebas dan banyak aturan yang ditetapkan Om dan Tantenya, sementara Ami tidak suka terkekang.
Ia tahu mana yang baik dan yang buruk.
Dan memastikan jika ia selalu pandai memilih teman.
Itu sebabnya persahabatan dengan Fiola langgeng hingga kini.
Fiola jika sedang tugas ke Jakarta, pasti menumpang di kost-kost an Ami jika hanya sehari-dua hari bertugas. Kalau seminggu atau dua minggu bertugas di Jakarta, Fiola lebih memilih kost-kostan yang dekat dengan kantor pusat. Supaya tidak terkena macet ketika berangkat bekerja.
Sore ini, Fiola tak menyangka akan kedatangan sahabatnya di kantor pusatnya di Jakarta.
Fiola yang sedang berjalan ke lobby kantor, mendadak berhenti.
"Ami?" tanyanya tak percaya.
Biasanya Ami memberi kabar sebelum datang. Atau mungkin kebetulan lewat saja?
"Laaaaa." Ami memeluk sahabatnya tak percaya. Rasa rindunya semakin besar.
Mungkin lebay, tapi kali ini saat memeluk sahabatnya hati Ami ingin menangis. Sebisa mungkin ia menahan matanya untuk tidak berkaca.
Ami, dengan segala kerapuhan hatinya jika mengingat hal yang sedih, pasti langsung banjir air mata.
"Kamu sengaja kemari?" tanya Fiola heran. Pasalnya Fiola tak memberitahu jika ia mendapat tugas di kantor pusat.
Ia memang lama di sini, dan tak sempat memberi tahu.
"Bisa aku bicara?" Ami menatap sahabatnya.
"Ke kantin yuk." Fiola meraih lengan sahabatnya.
"No." Ami menolak, dan menggeleng.
"Aku traktir kamu," usul Fiola lagi.
Melihat kembali gelengan kepala Ami, membuat Fiola mengernyit heran.
Ada apa dengan Ami? Tampaknya sahabatnya ini ada masalah. Ami dan Fiola sudah lama bersahabat dan berbagi keluh kesah.
"Kita bicara di kost-kostan aku ya," pinta Ami.
"Please."
Ami meminta dengan wajah memelas, ketika sahabatnya terdiam.
Tampaknya mereka perlu tempat yang tidak ramai untuk bicara.
Melihat raut wajah sendu sahabatnya, Fiola mengangguk.
Seketika wajah Ami tersenyum bahagia.
**
Setengah jam, taxi online yang membawa mereka sudah sampai di rumah kost-kost an Ami. Mereka menyempatkan diri untuk makan malam bersama.
"La, gimana hubungan lo sama Dewa?" Ami menuang air dingin ke gelas mereka berdua. Kali ini mereka makan malam dengan menu bebek panggang.
Mendengar pertanyaan Ami, membuat Fiola mengerjap.
Fiola pikir, Ami memiliki masalah. Tapi mengapa justru Ami balik bertanya.
"Gimana apanya?" Mata Fiola menyipit.
Mereka bertatapan.
"Kalian baik-baik saja?" tanya Ami ragu, apakah ia akan bicara sekarang tentang kelakuan kekasih sahabatnya ini.
Fiola menunduk.
Baik-baik? Ia sendiri bingung untuk mendeskripsikan kisahnya dengan Dewa.
Mereka bertengkar? Tidak.
Berselisih paham? Juga tidak.
Tapi hati Fiola yang paling dalam merasakan ada sesuatu yang berbeda pada kekasihnya.
Entah, ia sendiri juga bingung. Biasanya Dewa selalu protes jika ia tidak memberi kabar. Atau marah jika ia sering tugas luar kota terus. Ini sepertinya Dewa nyantai, dan ia merasa semakin jauh dari kekasihnya.
Fiola mengenyahkan pikiran buruk tentang kekasihnya. Mungkin Dewa sibuk, hingga lupa memberi kabar, atau sekedar chatt. Tapi ia cukup senang, kekasihnya tak lupa menjemput Fiona.
Paling tidak, Dewa tidak melupakan permintaannya. Jadi Fiola mengambil kesimpulan Dewa sibuk, seperti dirinya.
"Kenapa lo tanya tentang hubungan gue sama Dewa?"
Kembali mata Fiola menatap sahabatnya sambil menyuap makanannya.
Helaan napas terdengar dari mulut Ami.
"La, kita sahabatan kan?"
Anggukan lemah terlihat dari Fiola.
"Lo bisa cerita apapun sama gue. Gak usah lo pendam sendiri."
Seolah melepaskan beban dalam dadanya, Fiola bangkit berdiri. Ia menuju kamar mandi, dan mencuci tangan.
Lalu kembali dan melangkah menuju sofa. Mendudukkan tubuhnya di sana.
"Gue gak tahu, Mi."
"Gue sempat merasa Dewa berubah."
"Maksudnya?" Ami semakin penasaran.
"Mungkin ini feeling gue aja kali ya. Mungkin dia sedang sibuk seperti gue juga. Tapi yang selalu gue bingung, dia mengulur waktu untuk melamar." Fiola menunduk.
Keluar juga apa yang menjadi ganjalan di hatinya. Harusnya bulan lalu lamaran itu berlangsung, tapi kekasihnya kembali mengulur waktu.
"Dulu memang gue yang meminta kita mengulur waktu, karena gue gak mungkin bahagia di atas tangisan kesedihan Fiona atas kematian Dafa."
Fiola melirik ke arah luar rumah Ami.
Pemandangan luar rumah Ami saat itu tampak lengang. Sorot mata Fiola mendadak sendu.
"Dewa sempat gak setuju saat dulu gue minta mundur. Tapi, sekarang. Justru sebaliknya. Ketika gue meminta lamaran dilanjutkan, dia justru terlihat tidak begitu antusias."
Fiola menghela napas.
"Apa Dewa mulai bosan sama gue?" Fiola seolah bertanya pada dirinya sendiri. Mengingat mereka menjalin kasih sudah terlalu lama. Dua tahun lebih.
"Lo masih cinta sama dia?" Ami balik bertanya.
"Kami sudah dua tahun menjalin kasih Mi."
"Oke." Ami mengangguk.
"La, gue mau ngomong. Tapi lo jangan marah ya," ucap Ami hati-hati.
Fiola menatap heran pada sahabatnya.
"Gue pernah liat Dewa sama Fiona."
Mendengar ucapan Ami, Fiola terkekeh.
"Ya ampun Ami, gue kira apa. Itu mah biasa kali. Dewa sama Fiona memang sering jalan berdua."
Kupikir mau ngomong apa.
"Bukan gitu La. Ini beda."
Fiola menggeleng.
"Mi, Fiona saudara gue. Gue mengerti jalan pikiran lo. Tapi gue yakin mereka gak mungkin begitu. Fiona berwajah sama dengan gue, kami mirip. Ya kali, Dewa bosan sama gue lalu pindah ke Fiona. Wajah kami kan sama," tutur Fiola.
"Ada baiknya kamu tidak terlalu percaya mereka."
Kini mata Fiola menyipit pada Ami.
"Mi, kamu nuduh Fiona merebut Dewa dariku?"
"Kamu pikir mereka selingkuh dibelakang aku gitu?"
Jika sudah begini, bahasa lo-gue hilang dari diri Fiola. Menandakan ia sedikit emosi.
Nada bicara Fiola mulai naik.
"La, aku cuma ...."
"Cukup Mi, lebih baik aku pulang sekarang."
Entah mengapa perasaan Fiola meradang mendengar ucapan sahabatnya.
Bagaimana mungkin Ami menuduh Fiona?
Ya memang Ami tidak begitu menyukai Fiona, tapi haruskan menuduh setega itu.
"La dengar dulu penjelasan aku."
"Enggak Mi. Kalau kamu bilang sama aku melihat Dewa dekat sama wanita lain, mungkin aku percaya. Tapi ini Fiona?"
"Astaga. Dewa gak mungkin suka sama Fiona. Fiona itu berisik, Mi. Dewa gak suka."
"Dan Dewa pun buka tipe Fiona banget. Kamu kalau ngarang yang bener dong. Jangan buat aku dan Fiona akhirnya ribut."
Dengan jengkel Fiola meraih tasnya.
"Aku pulang dulu."
Tanpa banyak bicara Fiola melangkah keluar.
Ami memandang kepergian sahabatnya.
La, aku tahu kamu gak akan percaya sebelum aku kasih bukti.
**
Fiola memijat pelipisnya. Sekarang ia ada di taxi online. Perkataan Ami beberapa hari lalu mengganggu pikirannya. Semula ia akan menambah jadwal tugasnya, tapi sepertinya ia tak enak badan. Ia memutuskan pulang ke Semarang.
Beberapa saat lagi, ia akan sampai ke rumahnya. Ponselnya baru saja berbunyi.
Pesan masuk dari Lisa teman kantornya yang di kota ini.
Yang kangen ama calon suami, gercep malam mingguan.
Kening Fiola mengernyit. Maksudnya?
Lalu pesan bergambar masuk.
Sayang, gue lagi buru-buru ditunggu yayang beib di XXI. Kalau gak, gue samperin dah, double date kita Cin, kapan lagi.
Jantung Fiola berdegup kencang.
Foto Dewa sedang makan di restoran, dan bersama sosok yang mirip dengannya.
Lisa teman kantornya pasti mengira Dewa bersamanya. Tidak mungkin Fiola bisa ada di dua tempat. Ini Fiona.
Fiola men zoom gambar itu. Dan detak jantungnya kali ini makin bertalu.
Tangan Dewa dan Fiona saling terjalin.
Ada lagi gambar yang masuk.
Dewa merangkul bahu Fiona, saat mereka antri di depan restoran siap saji. Entah di mall mana ini.
Apa maksudnya ini Ya Tuhan?
Perkataan Ami terngiang di telinga Fiola.
Ada baiknya kamu tidak terlalu percaya pada mereka.
Fiola menggeleng.
Gak mungkin, gak mungkin Fiona setega itu. Ia harus membuktikannya sendiri.
Gak mungkin Dewa selingkuh dengan Fiona.
Jauh dari dasar hati, Fiola menolak keras apa yang ia rasakan kini.
Tapi melihat kenyataan di layar ponselnya, ada yang teremas tangan tak kasat mata di relung hatinya yang paling dalam.
**
Fiona tersenyum bahagia, karena kembali menghabiskan malam minggu bersama Dewa, apalagi kedua orang tua mereka sedang keluar kota dalam rangka kondangan ke rumah family dan menginap di sana.
Dan Fiola tidak pulang juga. Jadi, setelah menghabiskan waktu berdua di luar, Dewa biasanya langsung pulang. Kali ini Fiona mengundangnya masuk ke dalam rumah. Dari pada mereka menghabiskan waktu di rumah Dewa yang jauh dari sini, kenapa tidak memadu kasih saja di rumah? Toh tidak ada siapa-siapa di rumah hanya mereka berdua.
"Sayang ya Mas, padahal aku mau banget lho nonton filmnya?" Terdengar suara Fiona terkikik sambil merangkul Dewa. Padahal sepasang mata sudah menatap kemesraan mereka dengan hati tercubit.
"Nanti kita bisa lanjut kapan-kapan." Dewa membelai kepala Fiona dengan sayang.
Fiona membuka pintunya, dan terheran ketika pintu itu tak terkunci.
Lho kok?
Lalu saat ia membuka pintu, jantungnya nyaris berhenti berdetak, melihat Fiola duduk manis di sofa.
"Fi-Fiola?" lirihnya dengan d**a berdebar. Dewa yang berjalan dibelakang Fiona nyaris copot jantungnya mendengar suara gadis di depannya.
"Hai, kalian baru pulang?"
Fiola tersenyum pada keduanya.
Mengabaikan bagaimana wajah sepasang manusia di depannya menjadi pias. Mirip seperti pencuri yang ketahuan mencuri. Sama-sama berwajah cemas, dan kalut.
Dewa segera tersenyum.
"Kamu sudah pulang?" Ia berusaha menetralkan perasaannya yang kacau. Tak mengira kekasihnya mendadak duduk manis di sini. Bukankah Fiola memberi kabar, jika ia akan menambah masa tugasnya di Jakarta?
Fiola bangkit dan mendekati Dewa.
"Iya Mas, aku kangen banget sama kamu. Jadinya aku cepat pulang. Memangnya kamu gak kangen sama aku?" tanya Fiola sambil menatap bolak-balik Fiona dan Dewa.
"Oh tentu, aku kangen banget sama kamu." Dewa memeluk Fiola. Fiona menatap tubuh Fiola yang tenggelam dalam pelukan Dewa. Wajah Dewa yang menghadap ke arahnya memberi kode pada Fiona.
Fiona mengangguk walau hatinya teriris melihat Dewa memeluk Fiola.
"Kalian kok pulangnya malam sih? Siapa yang lembur?"
Fiola berbalik menghadap Fiona.
"Ng ... a- ...."
"Aku yang lembur. Aku lupa beritahu Fiona. Jadi Fiona lama nunggu aku di depan kantornya tadi. Lalu kita kena macet deh pulangnya." Ucapan Dewa mengalir lancar seperti jalan tol.
"Oh." Fiola mengangguk.
Kembali menikmati kekikukan keduanya.
"Ng, kalau begitu aku mandi dulu."
Fiona berbalik masuk ke dalam rumah. Gagal sudah rencananya dan Dewa menghabiskan waktu berdua.
Sementara Fiola mengajak Dewa duduk di sofa.
Setelah Dewa duduk, Fiola menatap wajah kekasihnya.
"Kamu kenapa? Kok tatap aku kaya begitu?" tanya Dewa yang merasa risih ditatap seinten itu oleh Fiola. Fiola menunduk. Lalu tersenyum walau harus menahan rasa di dalam d**a. Ia tidak salah lihat, melihat sisa lipstik di sudut bibir kekasihnya. Walau itu hanya sedikit, Fiola yakin itu sisa lipstik.
Ya Tuhan, apa sebenarnya yang terjadi selama ini. Sudah sejauh mana ini semua?
Fiola mengulas senyum.
"Sepertinya aku mau kasih tahu kamu sesuatu. Kalau tugas aku ke luar kota sudah berakhir."
"Maksudnya?" Dewa bertanya dengan nada tersentak.
"Yah aku sudah tidak akan bertugas lagi ke Jakarta, aku hanya akan kerja di sini. Jadi kita gak perlu lagi berpisah."
"Oh."
"Lho kok cuma bilang Oh. Kamu gak suka aku lebih banyak di sini? Atau kamu lebih suka aku kerja di Jakarta?"
Dewa gelagapan.
"Ya gak dong. Aku pasti lebih suka kamu di sini, aku kan kangen kamu terus kalau kamu pergi jauh-jauh."
Dewa merangkul bahu Fiola. Meraih dagu gadis itu, menatapnya sebentar. Menyelami mata Fiola.
"Kamu tahu, aku kangen banget sama kamu," bisik Dewa lirih sambil menatap wajah Fiola, dan tatapannya turun mendarat ke bibir Fiola.
Fiona yang baru saja hendak keluar, menghentikan gerakannya, melihat Dewa mendekatkan wajahnya ke wajah Fiola. Fiona berbalik menutup mulutnya. Hatinya terasa teriris melihat apa yang akan Dewa lakukan pada Fiola. Pasalnya, apa yang Dewa lakukan kini, baru saja lelaki itu lakukan padanya beberapa menit lalu di dalam mobil.
Belum juga bibir Dewa mendarat, Fiola menjauhkan wajahnya, menahan bibir Dewa dengan jarinya.
"Maaf, aku gak bisa. Kita belum resmi Mas," tolak Fiola.
Dewa menghembuskan napasnya.
Itulah bedanya Fiola dan Fiona. Mau berapa lama pun mereka menjalin kasih, Fiola banyak menolaknya, sementara Dewa mudah mendapatkannya dari Fiona.
Terkadang Dewa bertanya apakah Fiola tak mencintainya seperti Fiona yang mudah memberikan apapun yang dia mau?
"Sorry," bisik Dewa.
"Aku terlalu kangen sama kamu La."
Dewa menggenggam telapak tangannya erat.
Fiola berdecak dalam hati.
"Aku ingin lamaran kita dimajukan dua minggu lagi Mas."
Dewa terperangah.
"Tap-tapi kamu bilang sebulan lagi kan La?" Dewa gelagapan. Begitupun Fiona yang mendadak khawatir, dia menguping pembicaraan Dewa dan Fiola di ruang tengah.
"Aku ingin dipercepat Mas, gak apa-apa kan?"
Mengapa kau ganti cintaku dengan duka?
Manis yang kusuguhkan, sanggup kau tukar dengan luka.