PART 11 - RENCANA FIOLA.

2155 Kata
Sedih tak mampu kutahan. Aku mengalah sekalipun goresan luka terlalu dalam terasa. Seumur hidup Fiola, ia menjunjung tinggi sebuah kejujuran. Sejak kecil Ibu dan Ayahnya menanamkan keterbukaan di dalam keluarga. Apapun keinginan kedua buah hatinya, Eva dan Adam selalu menuruti, tanpa membedakan antara Fiola dan Fiona. Sejak mereka bayi hingga duduk di bangku Sekolah Dasar, Eva yang begitu bahagia memiliki putri kembar dan dua-duanya sama cantik, selalu memakaikan pakaian yang sama. Hingga ia sering di puji oleh beberapa tetangga di sekitar rumah. Eva sering berkreasi pada kedua putrinya, dengan memakaikan aksesoris pada rambut seperti jepit dan pita. Dan Adam sebagai kepala keluarga juga sama memperlakukan kedua putrinya dengan adil. Bukan hal yang aneh ketika ada orang yang baru mengenal mereka tidak bisa membedakan mana Fiola, dan mana Fiona. Setelah kepulangannya dua malam yang lalu, Fiola banyak merenung. Mengapa semua sampai terjadi? Apa yang sudah ia lewatkan selama ini? Hingga Fiola sulit memejamkan matanya. Ia meraba sejak kapan kekasihnya berubah. Seingatnya semua baik-baik saja. Tapi apa yang ia lihat dua malam yang lalu membuatnya merasa aneh. Inginnya semua ini hanya mimpi. Tapi bagaimana bisa ada noda lipstik di sudut bibir Dewa. Sedang selama ini, dua tahun mereka merangkai kasih, tak pernah sekalipun Fiola membiarkan Dewa menyentuh selain dari telapak tangan. Bukan Fiola sok alim atau tidak normal. Tapi ia memiliki prinsip. Seputar wajah dan bagian tubuh terdalamnya hanya akan ia persembahkan pada suaminya kelak. Fiola tidak tahu seperti apa rasanya bersentuhan antara bibir dengan bibir, tapi ia hanya tak ingin terbuai nafsu sesaat. Sebelum ijab kabul, masih akan ada hal yang bisa saja terjadi bukan? Seperti halnya yang sekarang ia alami. Aku harus mencari tahu. Harus. Seperti biasa Fiola sudah siap-siap berangkat kerja. Ia mengulas lipstiknya di bibir sambil bercermin Fiola melirik jam di lengannya. Beberapa menit lagi, Dewa akan segera sampai. Fiola menghembuskan napas, lalu meraih tas ditangannya dan beranjak keluar kamar. Di depan kamar, ia berpapasan dengan Fiona yang sama keluar kamar. "Baru aku mau tanya, kamu mau sarapan apa?" Fiona tersenyum ke arahnya. "Aku sarapan di kantor saja." Fiola membalas senyum Fiona. Lalu ia memandang Fiona. "Oh ya Fiona, ada yang mau aku tanya." Fiona yang sedang menutup pintu segera menoleh. Fiola menatap wajah saudari kembarnya itu dengan meneliti setiap detail wajah Fiona. Seolah Fiola baru saja melihat alien yang turun ke bumi. "Ng, ada apa ya La?" Kening Fiona melipat. Sepertinya sejak dua malam lalu, Fiola tidak begitu banyak bicara. Biasanya jika kembali dari luar kota, Fiola heboh cerita tentang pekerjaannya. "Selama aku ke Jakarta, apa Mas Dewa rutin menjemputmu?" Pertanyaan Fiola menghadirkan gugup yang terlihat di wajah Fiona. "Ya, bukankah kamu yang meminta Mas Dewa jemput aku?" Fiona terkekeh sambil menyelipkan rambut di belakang telinga. Fiola mengangguk. "Iya sih, aku memang yang meminta." Keheningan terjadi beberapa detik. "Hmm tapi sekarang aku berubah pikiran ya Na." "Berubah pikiran kenapa La?" Hati Fiona sudah ketar-ketir. "Mulai hari ini dan seterusnya, kamu naik taxi online aja ya Na." Fiona tersentak. "Tapi, kenapa La?" Astaga, Fiola menarik napas dalam-dalam. "Ya ampun Fiona. Aku kan sudah kembali dan aku kangen banget sama Mas Dewa. Ya kali kami mau bermesraan di depan kamu. Malu kali Na," ucap Fiola dengan tertawa sambil menutup mulutnya. Wajah Fiona memerah. Perkataan Fiola terasa menghantam dadanya. Lalu ia memaksakan senyumnya. "Eh iya, aku lupa. Baiklah mulai hari ini aku naik taxi online saja." Lalu mereka berjalan ke ruang depan. "Mas Dewa itu kalau kangen ya ampun beringas banget tahu Na. Makanya aku mau cepat-cepat minta di halalkan. Aku takut kami kebablasan," bisik Fiola. "Oh ya?" Fiona menatap tak percaya. "Iya, apalagi kalau kami berdua saja di rumahnya sana. Waduh, kalau aku gak nahan-nahan bisa begini nih aku," bisik Fiola sambil membuat pola hamil di depan perutnya. Fiona menganga. "Serius La? Mas Dewa seperti itu?" bisik Fiona tak percaya. "Iya, makanya aku mau cepat-cepat nikah sama dia. Kemarin malam aja, ampun dah banyak banget maunya. Aku sampai gak bisa imbangin. Untung Ayah dan Ibu gak ada." Hati Fiona berdebar. Rasa cemburu dan sakit bercampur aduk menjadi satu. Telapak tangannya nyaris gemetar, namun berhasil ia sembunyikan dengan memegang tali tasnya. "Eh tapi ngomong-ngomong kamu gak intipin aku sama dia kan?" selidik Fiola sambil memasang wajah berseri. Seakan dia menikmati sekali pertemuannya dengan Dewa, karena melepas segudang rasa rindu. Fiona menggeleng pelan. Ia memang langsung masuk ke dalam kamar, ketika Dewa mendekatkan wajahnya pada Fiola. Fiona menangis di dalam kamar. Ia merasa Dewa mengkhianati dan justru memanfaatkan mereka berdua. "Ya gaklah. A-aku kan habis mandi langsung tidur." Fiona menunduk, tidak ingin melihat wajah Fiola yang berseri. "Bagus dah, makanya aku pake baju berkerah begini, hadeh banyak banget hasil kerjaan Mas Dewa semalam di leher aku." Fiola mengibas telapak tangannya dihadapan Fiona. Lalu Fiola berjalan ke ruang tamu. Meninggalkan Fiona yang berdiri mematung. Hasil kerjaan di leher? Apakah Mas Dewa melakukan hal yang sama pada Fiola juga. Apakah hanya di leher saja, atau justru lebih melebar kemana-mana? Segudang pikiran berkecamuk di kepala cantik Fiona. Kebetulan kedua orang tua mereka belum kembali dari luar kota. Tak lama mobil Dewa datang. Fiola dan Fiona segera bangkit serempak. Menyadari ada Fiola disampingnya, menyadarkan Fiona jika ia tak boleh menyambut Dewa seperti biasa. Dewa tersenyum pada Fiola. Dan ketika ia melirik Fiona, gadis itu membuang wajahnya ke arah lain. Membuat Dewa serba salah. Ia tidak mungkin mendahulukan menyapa Fiona bukan? Jelas-jelas Fiola kekasihnya sekarang. "Mas Dewa, mulai hari ini Fiona gak bareng kita lagi ya Mas." Fiola menggandeng lengan kekasihnya keluar, sementara Fiona mengunci pintu rumah. Dewa menghentikan langkahnya, kembali menoleh ke belakang. Ke arah Fiona yang memberikan tatapan emosi padanya. "Lho kenapa? Kan kantor Fiona searah dengan kantor aku?" Dewa berusaha mencari alasan, supaya Fiona tidak marah. "Ya ampun Mas, Fiona harus belajar mandiri. Ya kali kita nikah nanti, Fiona masih ngintilin kita. Apa kata orang? Nanti dikira kamu beristri dua, kembar pula." Ucapan Fiola serasa mengena di jantung Dewa. Dewa menelan kesat salivanya. "Ya terserah kamu aja sih." Dewa memasang senyum terpaksa. "Oke Fiona, kami duluan ya. Dah." Fiola tersenyum pada Fiona, lalu menoleh pada kekasihnya yang di ikuti senyum oleh Dewa. Dewa melirik sebentar ke arah Fiona sebelum masuk ke mobil. Dan dapat dia lihat Fiona membuang wajahnya dengan kesal. Lalu dengan menghela napas Dewa masuk ke dalam mobil. Dewa menjalankan mobilnya perlahan. Sesekali ia melirik ke arah kekasihnya. "Sayang, kamu ketemu Ami gak belakangan ini?" Dewa berusaha memancing pembicaraan dengan Fiola. Karena kasus ia dan Fiona yang bertemu Ami sudah berminggu-minggu, tapi tampaknya Fiola bersikap biasa saja. Seolah tak mengetahui pengkhianatan di antara dirinya dan Fiona. "Ami? Memang kenapa? Kamu ketemu dia akhir-akhir ini?" Fiola balik bertanya. Dewa gelagapan. "Oh eng-engga sih." Ia menggaruk pelipisnya, menguar rasa gugup yang menyerang secara tiba-tiba. "Gimana rencana kita, sayang. Jadikan lamaran di majukan?" tanya Fiola dengan manja. Dewa melirik sekilas. "Iya, aku sudah bicara sama kedua orang tuaku. Kita majukan dua minggu ini ya." Senyum sumringah terlihat di wajah Fiola. "Terima kasih sayang. Aku jadi makin cinta deh sama kamu." Fiola membelai telapak tangan kekasihnya. Dewa membalas dengan senyuman pula. Tak berapa lama, mobil yang mereka tumpangi sudah sampai di depan gedung kantor Fiola. "Sampai ketemu nanti sore ya." Fiola tersenyum sebelum keluar dari mobil. "Selamat bekerja sayang," ucap Dewa masih dengan senyum manisnya. "Hati-hati di jalan ya sayang." Lalu Fiola melambaikan tangan ketika mobil Dewa bergerak. Ia menunggu mobil kekasihnya agak jauhan dari tempatnya berdiri. Fiola melirik ke kanan, dan melangkah ke arah taxi yang baru saja menurunkan penumpang di depan kantornya. Fiola segera masuk. "Pak, tolong ikuti mobil itu. Segera pak," pinta Fiola pada supir taxi. "Baik bu." Fiola hanya berharap ini hanya firasat nya saja, dan semoga apa yang dikhawatirkan tidak terjadi. Demi Tuhan, ia hanya berharap Dewa khilaf karena tidak bisa memendam rasa rindu terhadapnya. Mungkin Fiola akan mencoba memaafkan. Tapi ternyata apa yang ia lihat di hadapannya membuat Fiola sadar, jika apa yang terjadi di belakangnya bukan hanya sebuah kekhilafan. Fiola meremas baju bagian depannya, saat mengetahui Dewa kembali pulang ke rumahnya. ** Fiona yang kesal, semakin bertambah kesal ketika melihat lelaki yang ia cintai kembali. Fiona memang sengaja belum berangkat bekerja. Ia mendapat chat dari Dewa supaya menunggu di rumah. Dan dengan kesal yang menggunung, Fiona menunggu. Tentu dengan wajah emosi. "Kenapa kamu kembali?" tanyanya saat melihat Dewa keluar dari mobilnya dan menghampiri teras rumahnya. Di sanalah Fiona menunggu Dewa. Duduk manis di kursi plastik. "Fiona maaf, aku ...." "Sudahlah Mas, kita akhiri saja hubungan bodoh ini." Mata Fiona berkaca. Demi Tuhan sudah dua malam ia menahan cemburu melihat kedekatan Dewa dengan Fiola. Ditambah lagi perkataan Fiola tadi pagi semakin memancing emosinya pada lelaki tampan ini. Bagaimana bisa Dewa memperlakukan mereka sama rata. Jangan bilang setelah menyambar bibirnya habis-habisan di mobil, lelaki ini menyambar bibir dan leher Fiola. Sungguh pintar sekali Dewa mengambil kesempatan pada dia dan Fiola. "Fiona!" teriak Dewa tak percaya. Dewa sungguh tak menduga, Fiona semarah ini. Seharusnya Fiona tahu jika posisinya sulit karena kehadiran Fiola yang mendadak. Merasa dibentak dan itu menyakiti hati Fiona, wajah Fiona sudah basah dengan air mata. Hati Dewa menjadi tidak tega. Ia menyesal telah berucap kasar. Dewa berdiri dengan lututnya, bersimpuh di depan Fiona. "Jangan bicara begitu, kamu tahu Mas cinta sama kamu." Dewa merangkum wajah Fiona yang mulai basah. "Tapi Fiola sudah kembali Mas, dan kalian pasti akan bersama, iyakan?" Fiona semakin frustasi. Frustasi akan ketakutan dan dosanya mengkhianati Fiola, juga akan cintanya pada Dewa. Demi Tuhan, Fiona sudah mencintai Dewa dan dia sangat takut kehilangan. Terlebih lelaki ini sudah sering mencicip sebagian tubuhnya, hanya tinggal satu yang Dewa tidak pinta, karena akan ia tagih saat malam pertama nanti. Dewa menggeleng. "Fiona, kamu percaya sama aku. Biar aku yang menyelesaikan semua ini. Tolong jangan pernah ucapkan perpisahan. Aku gak bisa pisah sama kamu Fiona." "Bohong, bahkan semalam kalian melepaskan rindu kalian bukan? Tega kamu Mas," isak Fiona. Membayangkan Dewa memperlakukan dan memesrai Fiola seperti yang lelaki ini lakukan padanya. Ya Tuhan, siapa yang bodoh di sini. "Apa maksud kamu Na, aku gak melakukan apapun bersama Fiola." Boro-boro melepas rindu, Fiola bahkan tak bisa tersentuh. "Puas kamu menciumi Fiola semalam Mas. Hebat kamu ya bisa menikmati kami berdua." "Fiona!" Dewa semakin emosi. "Fiola tak serendah itu." Dewa tidak sadar ucapannya sudah membuktikan pada dirinya apa perbedaan Fiola dan Fiona. Tapi sekali lagi, hati Dewa sudah tertutup nafsu sesaat. Hingga membiarkan hatinya menerima cinta lain, membiarkan hatinya berisikan nama lain, yang seharusnya hanya berisikan nama Fiola. Mendengar ucapan Dewa, Fiona semakin emosi. "Oh jadi kamu menganggap aku rendah Mas? Aku rendah begitu! Kamu tahu aku lakukan apapun yang kamu minta semua karena aku cinta sama kamu!" Mata Fiona semakin mengabur karena air mata. Dewa memeluk tubuh Fiona. Membiarkan gadis itu terisak dalam dekapannya. Bahkan mencium pelipisnya berulang kali. "Kita masuk ya ke dalam. Gak enak di lihat orang yang lewat." Walau Dewa yakin, tetangga pasti mengira yang ribut sekarang adalah Fiola, bukan Fiona. Fiona mengangguk dalam dekapan Dewa. Sepertinya ia tak akan bekerja, begitu juga Dewa. Mereka berdua masuk ke dalam, dan pintu tertutup rapat. Sudah. Sudah cukup bukti untuk Fiola kini. Ia hanya bisa menatap dari jauh interaksi keduanya. Ia menggeleng tak percaya. Ya Tuhan. Kenapa jadi seperti ini? Air matanya makin banjir. Ingin rasanya ia kesana dan mendobrak pintu rumahnya yang tertutup itu. Demi Tuhan di rumah itu tidak ada kedua orang tuanya. Selama menjadi kekasih Dewa, Fiola bisa menahan nafsu lelaki itu yang terkadang di luar nalar. Karena Fiola hanya ingin disentuh ketika mereka sudah resmi, dan selama ini Dewa menghormatinya. Tapi kini, lihatlah. Lelaki itu bahkan tak segan memeluk Fiona di luar rumah. Ya Tuhan, tidakkah mereka takut ada tetangga yang memergoki? Sudah sejauh mana hubungan mereka selama ini, dan bagaimana bisa? Bagaimana bisa kedua orang yang Fiola kasihi dan cintai tega melakukan ini semua di belakangnya. "Bu, kita mau sampai kapan di sini?" tanya supir taxi. Fiola menghapus air matanya. "Pak, kita ke jalan Jayanti no. 25 saja ya," pinta Fiola. Kini ia harus percaya semua perkataan Ami, sahabatnya. Kali ini ia akan mendengarkan apapun perkataan Ami. Tampaknya hanya Ami yang bisa ia percaya. Sementara di dalam rumah. "Aku takut Mas, aku merasa bersalah sama Fiola. Tapi aku juga gak bisa melepas kamu, aku cinta sama aku." Fiona masih dalam tangisnya. Dewa juga termenung. Tadi saat melihat Fiola, ia bingung. Sungguhkah yang ia cintai Fiona, bukan Fiola? Astaga. Dewa mengusap kasar wajahnya. "Aku takut Ayah murka, Mas." "Fiona dengar!" Dewa merangkum wajah Fiona. "Mas, apa kita akhiri saja semua ini? Ak-aku benar-benar takut." Fiona mengenal Ayahnya. Akan semurka apa Ayahnya nanti, jika mengetahui ia merampas calon suami Fiola. Fiona memeluk tubuh Dewa. Mereka berpelukan dalam kebingungan. Mereka memulai menyalakan api, kini ketika api mulai berkobar, mereka sendiri bingung cara memadamkannya. Ingin dipadamkan dengan sekuat tenaga, mereka juga tak mau, karena menyukai api yang memercik itu. Mereka hanya berharap tidak terbakar dan menjadi hangus nantinya. Jangan salahkan hati yang menuai benci. Jika kepercayaan yang kutanam, kau pupuk dengan dusta. Tak semua luka bisa terobati. Jika sakit yang ditinggalkan banyak bertabur luka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN