bab 8

1194 Kata
Menjalani kehidupan rumah tangga yang sebenarnya itu seperti apa? Maira tidak tau. Ia hanya menjalani harinya seperti biasa, menjalankan tugasnya sebagai seorang istri. "Selamat pagi." Jonathan datang menyapa. Lelaki itu masih menggunakan pakaian rumah, karena hari ini mereka berdua libur. "Masak apa?" Jonathan menghampiri Maira yang masih berdiri di dekat kompor tengah membalikan roti panggang. "Roti, mau?" Jonathan menganggukan kepalanya, "Baunya sangat harum." Ucapnya. Posisi Jonathan saat ini berada persis di belakang Maira, bahkan satu tangannya menyentuh pinggang Maira. "Aku mau dua, sama kopi hitam. Aku tunggu di balkon luar." "Baik." Maira menahan suaranya yang bergetar akibat gugup yang dirasakannya. Bagaimana tidak, lelaki itu bicara dengan begitu dekat, hingga Maira bisa merasakan hembusan nafas di pundaknya. "Mau nonton? Sudah lama rasanya tidak pergi nonton." Ajak Jonathan disela sarapan pagi bersama. Maira tidak langsung menjawab, ia melirik ke arah Jonathan seolah memastikan ajakannya. "Mau?" Tanya Jonathan lagi. Dengan ragu Maira menganggukan kepalanya. "Cepat selesaikan sarapannya, setelah itu kita berangkat." Ajak Jonathan. Waktu masih menunjukan pukul sembilan pagi. Terlalu pagi untuk berangkat ke Mall, dimana bioskop berada. Tapi Maira butuh waktu untuk mempersiapkan diri, apalagi untuk pertama kalinya mereka pergi berdua. Maira mungkin terlalu berlebihan kalau menganggapnya sebagai kencan, tapi rasanya sungguh mendebarkan. Maira mempersiapkan diri dengan mengenakan pakaian terbaik miliknya. Tidak banyak jenis model pakaian yang dimiliki Maira. Ia bukan tipe wanita yang menggilai dunia fashion. Maira hanya membeli pakaian sesuai kebutuhannya saja dan hari ini ia menuruti kebiasaannya itu, sebab Maira kesulitan mencari pakaian yang cocok digunakan. "Sudah siap?" Tanya Jonathan yang sudah lebih dulu siap dengan setelan santai. Tidak seperti biasanya yang selalu mengenakan pakaian formal. Apapun yang dikenakan lelaki itu nyatanya tidak mengurangi kadar ketampanan yang dimilikinya. Jonathan justru terlihat semakin tampan sana. Sial! Bukannya segera bersiap, Maira justru terus memuji penampilan Jonathan. Maira pun akhirnya memutuskan untuk mengenakan pakaian yang sering digunakannya. Kemeja oversize dengan celana jeans biru. Tidak lupa Maira pun memakai sepatu kets untuk mempertegas kesan casual. Awalnya Maira hendak mengenakan dress berwarna kuning muda, tapi penampilannya akan terkesan aneh karena tidak biasanya ia berpakaian seperti itu. Bisa saja Jonathan akan menertawakannya nanti. "Aku sudah siap." Maira menghampiri Jonathan yang tengah menunggunya di sofa, dekat TV. "Ayo, kita pergi sekarang." Mereka berdua pergi bersama menuju sebuah pusat perbelanjaan yang letaknya cukup jauh. Sekitar tiga puluh menit perjalanan. "Mau beli sesuatu?" Tanya Jonathan setelah mereka membeli dua tiket dan cemilan. Film akan dimulai sekitar satu jam lagi, mereka masih memiliki waktu untuk berkeliling menunggu film dimulai. "Nggak." Maira menggelengkan kepalanya. "Kamu boleh beli apa saja yang kamu butuhkan. Misalnya pakaian, tas atau sepatu." Jonathan memberikan sebuah kartu berwarna hitam pada Maira. "Pakai saja. Beli semua keperluanmu dengan ini." "Aku punya sendiri." Maira menunjuk tas yang dibawanya. "Aku tau, Maira." Jonathan menghentikan langkahnya dan menatap Maira kesal, membuat Maira menyesal telah mengatakannya. Tapi hanya sebentar, karena Jonathan kembali tersenyum lembut. "Kamu istriku, sudah sewajibnya aku memberimu nafkah. Pakailah." Jonathan meraih satu tangan Maira dan meletakan kartu tersebut di telapak tangannya. "Mulai hari ini semua keperluanmu pakai ini, jangan pakai uangmu. Simpan saja uangmu." Maira menatap Jonathan ragu, tapi sepertinya lelaki itu serius dengan ucapannya. "Kita sepakat untuk bersikap seperti pasangan menikah sungguhan bukan? Aku sudah memulainya dari sekarang." Jonathan menarik satu tangan Maira yang lain dan menggenggamnya dengan erat. Lantas keduanya melanjutkan jalan-jalan melihat isi Mall tersebut. Akhirnya Maira membeli sebuah sepatu dengan brand ternama. Maira akan memakainya untuk pergi ke kantor. Awalnya Jonathan menyuruh Maira membeli beberapa jenis sepatu lainnya untuk acara pesta atau acara penting lainnya, tapi Maira menolak. Ia tidak membutuhkan sepatu sebanyak itu. "Film horor, kalau kamu takut boleh peluk aku." Ucap Jonathan, jahil. Maira tau, lelaki itu hanya bercanda, tapi entah mengapa ia justru merasakan wajahnya memanas dan bisa dipastikan warnanya semerah buah tomat. Maira tersipu malu. Nonton bersama seperti saat ini bukan pertama kalinya untuk mereka. Maira pernah nonton bersama Jonathan beberapa kali, tapi waktu itu mereka tidak hanya berdua melainkan bertiga. Saat itu Maira hanya sekedar menemani kegabutan Maya yang selalu melibatkan dirinya saat mereka kencan. Film berjalan hampir setengahnya, hati Maira mulai berdetak tidak karuan. Bukan karena film horor yang saat ini ditontonnya, tapi karena genggaman tangan Jonathan yang begitu sempurna menempel di setiap jemari Maira. Maira merasa dirinya tengah berada dalam dunia mimpi, sebab apa yang terjadi padanya seperti di dunia mimpi. Jika benar ini mimpi, Maira rela ia tetap tertidur agar bisa selamanya berada di dunia mimpi. Tapi Mimpi Maira buyar seketika, ketika ia melihat seseorang yang berada di ujung kursi. Jarak antara orang tersebut tidak terlalu jauh, tapi Maira tetap tidak bisa melihat dengan jelas wajahnya. Saat pantulan cahaya menerangi area bioskop, Maira melihat sosok tersebut tersenyum ke arahnya. Senyum mengerikan yang membuatnya merasa tidak nyaman. "Kenapa? Kamu takut?" Tanya Jonathan. Maira menoleh ke arah Jonathan, lalu kembali menoleh ke arah sosok itu. Maira kembali dibuat terkejut karena sosok itu sudah menghilang hanya dalam hitungan detik. Apakah sosok itu sejenis hantu, atau vampir? Sehingga bisa dengan cepat berpindah tempat. "Takut? Kalau kamu nggak nyaman, kita bisa keluar sekarang." Jonathan melihat raut wajah Maira berubah yang membuatnya khawatir. "Aku hanya sedikit ketakutan saja." Balas Maira. Ia tidak bohong. Ia memang sedang ketakutan. "Jangan takut. Ada aku," tanpa ragu, Jonathan langsung memeluk Maira, dan mengusap punggungnya dengan sangat lembut. "Kamu aman bersamaku." Bisiknya. Pelukan Jonathan hangat, usapan tangannya begitu lembut dan menenangkan. Ketakutan Maira perlahan menghilang, hingga film berakhir. "Makan dulu, setelah itu kita ke Rumah sakit." Maira mengangguk setuju dan setelah makan, keduanya pun segera bergegas menuju Rumah sakit untuk menemui Maya. Di dalam kamar, dimana Maya dirawat, Maira melihat beberapa petugas medis tengah berkumpul memenuhi ranjang dimana Maya berbaring. Maira terkejut dengan pemandangan yang tidak biasa itu. Mair segera bergegas mendekat untuk memastikan keadaan Maya. "Kak Maya, kenapa?" Tanya Maira. "Dia nggak apa-apa kan, Dok?" Tanya Maira lagi pada salah satu Dokter yang berada disitu. "Kondisinya memang tidak mengalami banyak perubahan, tapi kesempatan untuk pulih masih sangat besar." Jelas Dokter. "Berdoa saja, semoga Maya bisa segera siuman." Lanjutnya. "Tapi, kenapa semua alat-alat ini dilepas?" Maira melihat beberapa alat yang selama ini menempel di tubuh Maya mulai dilepas satu-persatu. Hanya menyisakan jarum infus yang masih menempel di punggung tangannya. "Pasien akan dipindahkan." Jelas salah satu perawat yang berdiri tak jauh dari Maira. "Kemana?" "Ke Singapura." Jawab Jonathan yang sejak tadi berada di belakang Maira. Sontak, Maira pun menoleh. "Kenapa?" "Karena Maya tidak kunjung menunjukan tanda-tanda kemajuan, akhirnya aku dan Mamah Tara memutuskan untuk memindahkannya hari ini." Jelas Jonathan. Maira benar-benar tidak tau akan hal tersebut, sehingga ia begitu terkejut dengan kenyataan bahwa Maya akan dipindahkan. Maira mungkin dianggap orang lain di dalam keluarganya, tapi Maira merasa ia perlu tau apa yang akan dilakukan pada Maya. Maya adalah Kakaknya, meski berbeda Ibu. Tapi Maya sudah menganggap Maya sebagai Kakak kandungnya sendiri. Bagi Maira kepergian Maya ke Singapura sangat mendadak, tapi sebenarnya Jonathan dan Tara sudah merencanakannya dengan sangat baik. Malam itu juga Maira mengantar Maya pergi ke Singapura, tapi hanya sampai bandara saja. Begitu juga dengan Tara, wanita itu sudah siap untuk menemani Maya di sana. "Jangan pernah kecewakan Mamah, Jo. Mamah percaya kamu mencintai Maya." Ucap Tara, sebelum ia menyusul rombongan perawatan yang sudah terlebih dulu membawa Maira masuk kedalam pesawat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN