bab 7

1055 Kata
"Maira," lelaki tua datang dengan menggunakan kursi roda ditemani oleh salah satu perawat yang selalu menemaninya satu tahun terakhir. Dia adalah Roy, Ayah Maira. "Papah," Maira mendekat dan berlutut dekat kursi roda. Maira menatap sendu ke arah Roy, "Papah kelihatan semakin kurus." Maira menatap lekat wajah lelaki yang kian kurus dan keriput itu. "Papah sudah tua, Nak." Roy mengusap puncak kepala Maira dan mengelusnya dengan lembut. "Bagaimana kabarmu?" "Baik, Pah." Maira beranjak dari tempat duduknya, lalu menggantikan si perawat yang bernama Bobi, mendorong Roy menuju salah satu ruangan. Lebih tepatnya ruang belakang, dekat kamar Roy. Saat ini Maira sedang berada di kediaman Tara, lokasi rumah utama dan rumah kedua memang berdekatan tapi dari arah depan tidak terlihat seperti bangunan terpisah. Padahal bangunan tersebut dipisahkan oleh taman kecil yang menjadi satu-satunya akses menuju rumah belakang yang saat ini di ditinggali oleh Roy dan dua asisten pribadinya. Semenjak lumpuh dan tidak lagi bisa berjalan, Roy memang lebih sering tinggal di rumah belakang yang lebih nyaman dan sepi. Tara masih merawat Roy dengan baik. Salah satu hal yang sangat disyukuri Maira, karena Tara tidak lantas membuang Roy saat lelaki sudah tidak seperti dulu. "Bagaimana dengan pernikahan kalian?" Tanya Roy. Saat ini Maira dan Roy berada di teras belakang yang menghadap langsung ke arah taman. "Baik." Jawab Maira singkat. "Kami baik-baik saja, Papah nggak perlu khawatir." Maira meyakinkan Roy, bahwa keadaan rumah tangganya baik-baik saja. "Sungguh?" Sepertinya Roy tidak mudah percaya begitu saja. "Sungguh. Jo memperlakukanku dengan sangat baik." Maira tidak berbohong, Jonathan memang memperlakukannya dengan baik, meski saat ini Jonathan terlihat menghindarinya. Mungkin karena ucapan Maira semalam, yang terkesan menggodanya. Roy menatap Maira dengan tatapan yang sulit diartikan. Maira sadar bahwa lelaki itu sangat mengkhawatirkannya. "Papah tidak perlu khawatir, aku baik-baik saja." Tegas Maira. "Apa yang akan aku katakan pada Ibumu, kalau sampai kamu terluka? Dia akan menyebutku tidak becus mengurus anak." Maira tersenyum. "Ibu tidak pernah berkata seperti itu. Dia justru sangat bangga karena Papah sudah merawatku dengan sangat baik. Begitu juga dengan Mamah Tara." Roy merupakan salah satu pebisnis sukses. Kekayaannya tidak bisa dihitung oleh jari. Tapi banyaknya kekayaan yang dimiliki Roy tidak lantas membuat Maira hidup bahagia. Hidup dibawah bayang-bayang Maya selalu berhasil membuatnya tidak percaya diri, karena Maya seperti sebuah tolak ukur di keluarganya. "Suatu saat Tara pasti akan menyadari betapa tulusnya hatimu ini." "Mamah Tara tidak perlu tau, karena aku tidak mau dia merasa berhutang budi padaku." Memiliki ibu tiri memang tidak semebyeramjan di dunia dongeng Cinderella. Tapi Maira mengalami fase yang cukup sulit saat ia harus berganti posisi menjadi Kakak untuk Maya. Maya dibesarkan dengan kasih sayang utuh, hidup mewah tanpa kekurangan apapun. Maya tumbuh seperti putri raja, sementara Maira tumbuh seperti seorang pelayan. "Maya masih koma, kondisinya belum stabil. Papah sangat prihatin padanya." "Rencananya malam ini aku akan menjenguk Kak Maya, sudah lama kami tidak bertemu. Dia pasti merindukanku." "Papah juga sangat merindukannya. Jaga diri baik-baik, Nak. Papah sangat khawatir." "Aku pasti baik-baik saja, Pah." Maira pamit pulang, setelah menemani Roy makan malam dan minum obat. Suasana rumah utama masih sepi, hanya ada beberapa pekerja saja yang terlihat berlalu lalang. Maira sempat menghentikan langkahnya, saat ia melewati kamar yang dulu pernah ditempatinya selama bertahun-tahun. Posisi kamarnya dan kamar Maya saling berhadapan. Memiliki pintu yang sama, tapi dengan isi yang berbeda. Tentu saja besarnya pun berbeda. Maira hanya tersenyum samar, lantas ia kembali melanjutkan langkahnya. Maira merasa lebih baik setelah meninggalkan kamar itu, meskipun kamar barunya saat ini tidak kalah dinginnya dengan kamar itu. Saat Maira sampai di rumah sakit, Tara dan Jonathan sudah terlebih dulu sampai. Maira melihat Jonathan tengah membersihkan kedua tangan Maya dengan menggunakan kain basah. Dengan sangat lembut, lelaki itu secara perlahan mengusap kulit Maya seolah Maya adalah benda paling rapuh di dunia ini. "Sudah datang?" Tanya Tara, yang terlebih dulu menyadari kehadiran Maira. Mungkin Jonathan pun menyadarinya, hanya saja lelaki itu seolah tidak peduli dengan kehadiran Maira. "Sudah." Balas Maira. "Sudah kamu temui Papah Roy?" "Sudah. Aku baru saja dari sana." Maira menaruh tas di salah satu sofa yang ada di ruangan itu dan menghampiri Maya yang masih terbaring lemah tidak berdaya. "Bagaimana keadaan Kak Maya?" Tanya Maira, kali ini Maya berusaha mencairkan hubungannya dengan Jonathan. "Belum ada perubahan, tapi Dokter mengatakan Maya masih memiliki kesempatan untuk sembuh." Jonathan hanya melirik sekilas, lalu kembali fokus pada Maya. "Syukurlah, aku sangat berharap Kak Maya segera sadar." Jonathan kembali melirik ke arah Maira dengan tatapan tidak mengerti. Tapi Maira hanya membalasnya dengan senyuman. Tepat pukul sepuluh malam mereka bertiga pulang bersama. Jonathan mengantarkan Tara terlebih dulu, sebelum akhirnya mereka menuju rumah. "Apa kamu sangat ingin Maya sadar?" Tanya Jonathan setelah keduanya sampai di rumah. Maira menoleh dan kembali tersenyum. Senyum yang membuat Jonathan merasa kesal melihatnya. "Tentu. Aku ingin dia segera sadar," "Untuk memberitahukan padanya kalau kita menikah?" Selidiki Jonathan. "Kenapa kamu berpikir seperti itu? Apakah aku terlihat seperti seseorang yang sedang merencanakan sebuah kejahatan?" Jonathan terdiam. Ia memalingkan wajahnya menatap ke arah lain. "Hanya karena ucapan semalam bukan berarti aku merencanakan sesuatu hal buruk pada kalian. Aku hanya menjalankan tugasku sebagai seorang istri. Hanya itu." Jelasnya. Maira tetap bersikap tenang, meski ia sedang bertarung melawan hatinya karena sikap Jonathan. Mungkin Jonathan menganggapnya seperti seorang penggoda, hanya karena ucapannya semalam. Sikap waspada Jonathan semakin membuat harga diri Maira terinjak-injak. "Aku bisa tidur dikamar lain kalau kamu merasa terganggu." Lanjutnya. Maira pun mengganti tujuannya yang semula hendak menuju kamar utama, kini menuju kamar satunya lagi. "Tidak perlu, kita akan tetap tidur di kamar yang sama." Jonathan pun menarik tangan Maira dan menariknya menuju kamar. "Aku minta maaf," ucap Jonathan saat keduanya sudah berada di atas tempat tidur. "Aku sudah menuduh," "Tidak apa-apa. Aku mengerti." Maira memotong ucapan Jonathan. "Kamu pasti sangat khawatir dan takut Kak Maya tau tentang pernikahan kita. Setelah Kak Maya sadar dan kita bercerai, aku tidak akan mengatakan apapun. Aku akan berusaha mengendalikan diri, tapi aku tidak bisa mengendalikan orang lain. Bisa saja Kak Maya tau dari orang lain." Maira melirik ke arah Jonathan dan memandangnya sesaat. "Aku akan mengatasinya," balas Jonathan. "Syukurlah. Kalau begitu, selamat malam." Maira menarik selimut dan menutupi tubuhnya. "Maira," panggil Jonathan. Maira hanya menggumam, tapi tidak merubah posisinya yang sudah membelakangi Jonathan. "Bagaimana kalau kita menjalani pernikahan ini sungguhan," Jonathan nampak ragu mengatakannya. "Maksudku," "Kita akan menjalani pernikahan seperti pada umumnya. Karena dimata negara dan agama kamu sah menjadi suamiku." Balas Maira.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN