bab 6

1164 Kata
Panas, gatal dan perih. Ketiga hal tersebut yang kini tengah dirasakan Maira. Obat dioleskan di seluruh permukaan kulit yang memerah dan berbintik, tidak langsung meredam sakit yang dirasakan. Maira harus mengompresnya dengan kain yang sudah dicelupkan kedalam air dingin. Alergi yang membuatnya gagal mirip dengan Maya. Karena kenyataannya Maira bukan Maya, begitu juga sebaliknya. Maira meraih strip tablet obat yang dianjurkan penjaga apotek. Pil berwarna itu langsung ditelannya, disusul oleh tegukan air putih. Maira berharap pil tersebut bisa bekerja dengan cepat, agar bintik merah dan rasa gatal di tubuhnya segera hilang. Masih dengan kain lap dingin yang menempel sempurna di salah satu wajahnya. Maira menatap pantulan wajah di cermin, ia lantas tersenyum samar. Hampir saja ia mengalami keracunan, hanya gara-gara seekor udang goreng tepung. Beruntung kali ini ia hanya mengalami alergi saja tidak sampai sesak nafas seperti beberapa waktu lalu. Jika diingat kembali, beberapa orang hampir saja membuatnya mengalami alergi parah. Orang tersebut adalah Mamah Tara dan Jonathan. Maira kembali mencelupkan kain tersebut, lalu mengusap wajah satunya. Rasa dingin dan segar terasa menyebar di seluruh wajah. Kondisinya mulai membaik. Saat ia merasa tidak memerlukan lagi kompres dingin, Maira segera menuju dapur untuk menaruh wadah dan kain yang sudah digunakan. Saat Maira sedang menutup salah satu jendela, ia melihat seseorang tengah berdiri tak jauh dari rumahnya. Sosok itu berdiri mematung dengan Hoodie menutupi hampir seluruh wajahnya. Maira tidak bisa melihat dengan jelas, apakah orang tersebut berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. "Maira," namanya dipanggil dan Maira pun segera menoleh ke arah sumber suara dimana Jonathan sudah berada di dekat pintu masuk.Lelaki itu menepati janjinya. Maira hanya menoleh sekilas, lalu kembali melihat ke arah orang misterius itu. Sayangnya orang tersebut sudah tidak ada, bahkan Maira tidak melihatnya dimanapun. "Kenapa? Kamu lihat sesuatu?" Tanya Jonathan yang juga ikut menghampirinya. "Ada apa? Kamu kayak habis lihat sesuatu," tanya Jonathan penasaran. "Nggak apa-apa, cuman mau nutup jendela aja." Balas Maira. Ia pun segera menutup jendela dan menurunkan tirainya. "Jangan sering-sering buka jendela, apalagi tidak ada aku di rumah." Ucap Jonathan. "Meskipun sudah terpasang besi penghalang, tapi kita tidak pernah tau niat seseorang diluar sana. Kalau aku tidak ada di rumah, tutup semua jendela dan pintu dengan rapat." "Iya." Maira menganggukan kepalanya. "Sudah makan?" Tanya Jonathan. "Belum." "Aku juga belum, kalau begitu kita makan malam bersama." Maira kembali menganggukan kepalanya. Jonathan memilih masuk kedalam kamar untuk membersihkan tubuhnya terlebih dulu, sementara Maira menuju lemari pendingin untuk mengeluarkan beberapa makanan yang sudah dimasak sebelumnya. Maira merasa begitu penasaran dengan sosok yang tadi sempat dilihatnya, oleh karena itu ia pun sering melirik ke arah jendela secara berkala. Rasa penasaran Maira perlahan surut saat melihat Jonathan begitu menikmati hidangan makan malam yang tersaji di atas meja. Beberapa kali lelaki itu mengucapkan kata pujian yang membuat Maira hatinya berbunga. Meski begitu, apa yang diucapkan Jonathan tidak pernah lepas dari rasa bangganya terhadap Maya, karena wanita itu berhasil mengajarkan banyak hal padanya. Maira hanya perlu mengiyakan, sebab Maira tidak punya alasan untuk mengelak. Karena Dimata Jonathan Maya merupakan segala kebaikan yang ada di dunia ini. Wanita itu sempurna di matanya. "Mau langsung istirahat?" Tanya Jonathan saat Maira masih duduk di meja makan, sambil membaca buku. Maira memang hobi membaca. "Nanti saja. Kamu bisa istirahat duluan." Balas Maira. Jonathan tidak meninggalkan Maira, ia justru memilih duduk tepat di hadapan Maira. Merasa Jonathan tidak kunjung pergi, Maira pun menoleh dari balik buku yang menutupi separuh wajahnya. Jonathan nampak serius tengah memperhatikan ponselnya. "Sudah malam, sebaiknya kita istirahat." Ajak Jonathan. "Aku masih ingin disini." Balas Maira. "Aku tidak akan masuk ke kamar dan meninggalkanmu sendirian disini." Tegas Jonathan. "Baiklah," akhirnya Maira pun menutup bukunya dan beranjak dari tempat tidur. Mereka berdua berjalan beriringan menuju kamar, hingga saat Maira membuka pintu Jonathan menahan pundaknya. "Kita seperti pasangan pengantin baru sungguhan." Ucapnya sambil tersenyum. Maira tidak bisa mengartikan senyum Jonathan. Entah senyum penyesalan atau bukan. Entahlah, Maira tidak pandai membaca ekspresi seseorang dengan baik. "Kita memang pasangan pengantin baru. Kita baru menikah dan," Maira menjeda ucapannya, "Dan kita tidur di satu kamar yang sama. Sudah seperti pengantin baru, bukan?" Lanjutnya. "Kita memang tidur disatu kamar yang sama, tapi hanya tidur yang sebenarnya. Bukan tidur seperti," Jonathan meringis dan menggaruk kepalanya. "Ayo masuk!" Ajaknya. "Tidur seperti pasangan lain? Kita bisa melakukannya kalau kamu mau." Kalimat yang terlontar dari bibir Maira membuat langkah Jonathan terhenti. Ia menoleh dengan dahi berkerut. "Aku tidak menawarkan diri, tapi jika kamu menginginkannya aku tidak akan menolak. Karena sudah menjadi kewajibanku sebagai seorang istri." Maira tetap tersenyum, meski jantungnya mulai memompa dengan cepat. Apalagi setelah Jonathan kembali mendekat ke arahnya. "Apa kamu sedang menggodaku?" Tanya Jonathan. "Atau kamu mulai lupa siapa aku?" Maira tetap menjaga sikapnya, padahal raut wajah Jonathan mulai berubah. "Aku calon suami Maya, Kakakmu. Tidak pantas kamu menggoda atau menjebakku hanya karena kita sudah menikah. Sekarang aku tau mengapa Mamah Tara sering membicarakan keburukanmu, ternyata casing mu saja yang terlihat baik. Tapi hatimu tidak." Maira tersenyum, "Perlahan kamu akan tau siapa aku." Balasnya. Jonathan hanya menyeringai, lalu ia kembali berjalan menuju tempat tidur. Maira sudah memberanikan diri dengan mengatakan hal di luar nalar, tapi reaksi Jonathan sungguh di luar dugaan. Lelaki itu mengira ia sedang menggodanya, bahkan Jonathan dengan sangat tegas menolak dan menekankan bahwa ia adalah calon suami Maya padahal saat ini Jonathan berstatus sebagai suami Maira. Maira memiliki hak atas diri Jonathan dibanding Maya, meski begitu Maya masih unggul dalam memiliki hati Jonathan. Esok paginya Jonathan pergi terlebih dulu ke kantor, bahkan tanpa menyentuh sarapan yang sudah dibuatkan Maira. Rupanya lelaki itu masih marah dengan kejadian semalam. Maira hanya tersenyum sambil menikmati sarapan paginya sendirian. Mungkin ia terlalu terburu-buru untuk mendapatkan perhatian Jonathan, sehingga lelaki itu merasa Maira terlalu berani menggodanya. Ponsel Maira berdering, nama Tara muncul di layar ponselnya. Maira enggan menerima panggilan dari Tara, sebab tidak pernah ada obrolan baik-baik yang terjadi diantara mereka berdua, kecuali saat Tara meyakinkan Maira untuk menerima ajakan menikah Jonathan. "Iya, Mah." Akhirnya Maira menerima panggilan Tara, setelah dua kali wanita itu menghubunginya. "Kenapa kamu tidak menghubungi Mamah? Apakah setelah menikah, lantas kamu tidak peduli lagi denganku?" Maira hanya tersenyum samar. Tara memang pandai bersandiwara. "Papah ingin bertemu denganmu. Dia selalu menanyakan keadaanmu," "Aku baik-baik saja." Maira memotong ucapan Tara. "Tolong sampaikan, Maira akan akan menemui Papah nanti sore." Lanjut Maira. "Baiklah. Bagaimana dengan pernikahan kalian?" Tanya Tara. "Baik. Kami pun baik-baik saja." "Kamu harus tetap ingat, meskipun saat ini Jonathan adalah suamimu, tapi dia tetap calon kakak iparmu. Jonathan calon suami Maya." "Aku tau, Mah." "Jangan pernah berniat menggodanya." Tara dengan terang-terangan memperingati. "Aku tidak akan menggodanya, kecuali kalau dia yang meminta duluan." Maira membalas ucapan Tara. Kali ini ia tidak akan tinggal diam seperti sebelumnya. Setelah menikah Maira merasa mulai mempunyai sedikit keberanian untuk membalas atau menjawab ucapan Tara yang selalu memojokkannya. "Jangan macam-macam, Maira! Mamah memperingatkan!" "Oke, Mah. Sampai ketemu nanti." Maira pun menutup terlebih dulu sambungan dan tersenyum samar saat menatap layar ponselnya yang sudah kembali berwarna hitam. Sepertinya menyenangkan bisa membuat Tara khawatir setiap harinya. Seperti yang dialami Maira selama ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN